Kuceritakan kembali kisah ini sebagaimana yang dapat kuingat dari cerita ayahku (alm), ditambah sedikit modifikasi.

kopi tongkat ali

Prabu Siliwangi dari kerajaan Pajajaran memiliki seorang putra yang sakti mandraguna. Namanya Kian Santang. Masih muda usianya, tapi konon di seluruh pulau Jawa bahkan Nusantara tak ada seorang raja maupun pendekar persilatan yang mampu mengalahkannya.

Kian Santang rajin berkelana untuk mencari orang sakti yang mampu membuat ia melihat darahnya sendiri. Suatu ketika seseorang menyampaikan berita bahwa di tanah Arab nun jauh di sana, ada seorang sakti bernama Sayidina Ali bin Abi Thalib. (Tentu sangat mengherankan bahwa tokoh dari abad ketujuh bisa hadir dalam kisah abad ke-14, tapi soal itu tidak relevan bagi sebuah dongeng).

Kian Santang pun segera pergi ke tanah Arab dengan berjalan menyeberang lautan. Bagi Kian Santang, lautan bukanlah penghalang. Karena setiap kali kakinya menginjak air, tanah dasar laut pun muncul ke permukaan menyediakan injakan bagi kakinya. Konon, sebagian dari bekas injakan kaki Kian Santang itu tidak surut kembali ke dasar laut, tapi menjadi pulau atau gunung di tengah laut. Di antaranya gunung Krakatau di Selat Sunda dan pulau Sabang di sebelah barat Aceh.

Sesampainya di tanah Arab, Kian Santang bertanya kepada orang-orang yang dia temui, di mana tempat tinggal Sayidina Ali. Di tengah perjalanan, ia berpapasan dengan seorang kakek tua yang berjalan sambil membawa tongkat.

“Kakek, apakah engkau tahu di mana aku bisa bertemu dengan Sayidina Ali?” tanya Kian Santang.

“Ada maksud apa engkau ingin bertemu dengan Ali?” tanya kakek tua itu seraya berdiri dengan bertumpu pada tongkatnya.

“Aku ingin mengadu kesaktian dengannya.”

“Siapa kamu, tiba-tiba mau mengadu kesaktian dengan Ali?”

“Aku Kian Santang, berasal dari tanah Pasundan di Nusantara, di sana tak ada seorang pun yang mampu mengucurkan darahku.”

“Hmm.. bagaimana kalau Ali mampu mengucurkan darahmu?”

“Aku akan berguru kepadanya.”

“Baiklah, anak muda. Bagaimana kalau aku mengantarkanmu menemui dia?”

“Baik, kakek, terima kasih atas bantuannya.”

Si kakek berjalan lebih dulu, Kian Santang mengikut di belakang. Belum berapa lama, si kakek berhenti. Katanya, “Maaf, anak muda, aku harus kembali ke tempat tadi, tongkatku ketinggalan di sana.”

Kian Santang berpikir, kalau kakek itu yang mengambil sendiri, perjalanan akan lebih lambat. “Biar aku yang mengambilkannya, Kek.”

Tanpa menunggu jawaban, Kian Santang langsung melesat ke tempat ia dan si kakek bertemu. Tongkat itu masih terpasak di sana, menancap tidak terlalu dalam ke tanah berpasir.

Kian Santang meraih tongkat itu dengan sebelah tangan. Namun anehnya, tongkat itu tak goyah sama sekali.

Kian Santang keheranan. Ia pun berdiri, lalu mencabut tongkat dengan kedua tangan. Hasilnya sama. Ditambahkannya sedikit tenaga, namun tongkat itu tak tercabut juga.

Terperanjatlah Kian Santang. Kali ini, dengan menambahkan seluruh tenaga pada kedua lengannya yang kekar, dicobanya mencabut tongkat itu sekali lagi. Masih gagal.

Keringat dingin mulai mengucur. Sang putra raja kembali berusaha. Kali ini ia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Namun bukannya tongkat yang terangkat, malah kedua kakinya yang terperosok ke dalam tanah. Di mata Kian Santang, tongkat itu tampak bagaikan puncak dari tiang pasak yang menghunjam dalam ke dasar bumi.

Kian Santang menyusut keringatnya yang semakin deras. Tatkala ia melihat tangannya, ternyata keringat itu berwarna merah. Darah.

Siapakah kakek tua itu? Satu kesadaran baru tiba-tiba memercik ke pikiran Kian Santang.

Adapun kakek tua itu, karena lama sekali menunggu Kian Santang tak juga kembali, akhirnya datang mendekat. Di depan Kian Santang, ia mengucapkan sebuah mantra asing lalu mencabut tongkat itu dengan mudahnya.

Prabu Kian Santang segera menjatuhkan diri dan berlutut.

“Kakek, maafkan aku yang tidak tahu tingginya gunung dalamnya lautan. Siapakah engkau? Izinkan aku menjadi muridmu.”

Sang kakek menepuk pundak Kian Santang. “Bangunlah, anak muda. Aku hanyalah seorang hamba yang daif dari Tuhan yang mahakuat. Namaku Ali bin Abi Thalib.”

Kian Santang menjadi murid Sayidina Ali dan diajari ilmu dua kalimat syahadat serta ilmu-ilmu lain. Setelah dirasa cukup, Sang Prabu Kian Santang atau yang kemudian dikenal dengan julukan Syekh Sunan Rohmat Suci, pulang ke Nusantara dengan membawa oleh-oleh sebatang tongkat dari gurunya. Ditancapkannya tongkat itu di tanah (entah tanah pulau Jawa atau Sumatera, atau pulau lain), dan tumbuhlah ia menjadi tanaman yang kini dikenal dengan nama “Tongkat Ali” atau “Pasak Bumi” (nama latin: Eurycoma longifolia). Tumbuhan tak bercabang ini dipercaya memiliki khasiat sebagai obat kuat bagi kejantanan pria. [Asso]

Tongkat Ali atau Pasak Bumi (Eurycoma Longifolia), tanaman berbentuk batang, banyak tumbuh di Indonesia, Malaysia, Thailand.
Tongkat Ali atau Pasak Bumi (Eurycoma Longifolia), tanaman berbentuk batang, banyak tumbuh di Indonesia, Malaysia, Thailand.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *