Cerpen Hamsad Rangkuti

Seorang wanita muda dalam sikap mencurigakan berdiri di pinggir geladak sambil memegang tali kapal. Dia tampak sedang bersiap-siap hendak melakukan upacara bunuh diri, melompat dari lantai kapal itu. Baru saja ada di antara anak buah kapal berusaha mendekatinya, mencoba mencegah perbuatan nekat itu, tetapi wanita muda itu mengancam akan segera terjun kalau sampai anak buah kapal itu mendekat. Dengan dalih agar bisa memotretnya dalam posisi sempurna, kudekati dia sambil membawa kamera. Aku berhasil memperpendek jarak denganya, sehingga tegur sapa di antara kami bisa terdengar:

“Tolong ceritakan sebab apa kau ingin bunuh diri ?” kataku memancing perhatiannya.

Dia tak beralih dari menatap ke jauhan laut. Di sana ada sebuah pulau. Mungkin impiannya yang telah retak menjadi pecah dan sudah tidak bisa lagi untuk direkat.

“Tolong ceritakan penyebab segalanya. Biar ada bahan untuk kutulis.”

Wanita itu membiarkan sekelilingnya. Angin mempermainkan ujung rambutnya. Mempermainkan ujung lengan bajunya. Dan tampak kalau dia  telah berketetapan hati untuk mengambil sebuah keputusan yang nekat. Tiba-tiba dia  melepas  sepatunya, menjulurkan ke laut.

“Ini dari dia,” katanya dan melepas sepatu itu. Sepatu itu jatuh mendekati ombak, kuabadikan dalam kamera.

Kemudian dia meraba jari tangan kirinya. Di sana ada sebentuk cincin. Sinar matahari memantul memancarkan kilaunya. Mata berliannya membiaskan sinar tajam. Dikeluarkan cincin itu dari jari manisnya. Diulurkannya melampaui terali. Ombak yang liar menampar dinding kapal. Tangan yang menjulurkan cincin itu sangat mencemaskan.

“Ini dari dia” katanya, dan melepas cincin itu.

“Semua yang ada padaku, yang berasal darinya, akan kubuang ke laut. Sengaja hari ini kupakai semua yang pernah dia berikan kepadaku untuk kubuka dan kubuang satu persatu ke laut. Tak satu pun benda-benda itu kuizinkan melekat di tubuhku saat aku telah menjadi mayat di dasar laut. Biarkan aku tanpa bekas sedikit pun darinya. Inilah saat yang tepat membuang segalanya ke laut, dari atas kapal yang pernah membuat sejarah pertemuan kami.”

Wanita muda itu mulai melepas kancing-kancing bajunya, melepas pakaiannya, dan membuang satu per satu ke laut. Upacara pelepasan benda yang melekat di tubuhnya dia akhiri dengan melepas penutup bagian akhir tubuhnya. Membuangnya ke laut.

“Apa pun yang berasal darinya, tidak boleh ada yang melekat pada jasadku, saat aku sudah menjadi mayat, di dasar laut. Biarkan laut membungkus jasadku seperti kain pembungkus mayat. Biarkan asin airnya menggarami tubuhku tanpa sehelai benang penyekat.”

Wanita yang telanjang itu mengangkat sebelah kakinya melampaui terali, bersiap-siap membuang dirinya kelaut. Kamera kubidikan ke arahnya. Di dalam lensa terhampar pemandangan yang fantastis! Wanita muda, dalam ketelanjangannya, berdiri di tepi geladak dengan latar ombak dan burung camar. Sebuah pulau berbentuk bercak hitam di kejauhan samudera terlukis di sampingnya dalam bingkai lensa. Sebelum melompat dia menoleh ke arahku. Seperti ada yang terbesit di benaknya yang hendak dia sampaikan kepadaku, sebelum dia melompat.

“Ternyata tidak segampang itu membuang segalanya,” katanya. “ Ada sesuatu yang tak bisa dibuang begitu saja.” Dia diam sejenak, memandang bercak hitam di kejauhan samudera. Dipandangnya lekung langit agak lama, lalu bergumam: “Bekas bibirnya. Bekas bibirnya tak bisa kubuang begitu saja.” Dia berpaling kearahku. Tatapannya lembut menyejukkan. Lama, dan agak lama mata itu memandang dalam tatapan yang mengambang.”Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu?” katanya dalam nada ragu.

Aku tersentak mendengar permintaan itu. Sangat mengejutkan, dan rasanya tak masuk akal diucapkan olehnya. Permintaan itu terasa datang dari orang yang sedang putus asa. Kucermati wajahnya dalam lensa kamera yang mendekat. Pemulas bibir berwarna merah tembaga dengan sentuhan berwarna emas, memoles bibirnya, menyiratkan gaya aksi untuk kecantikan seulas bibir.

“Tidak akan aku biarkan bekas itu terbawa ke dasar laut. Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu? Tolonglah. Tolonglah aku melenyapkan segalanya.”

Orang-orang yang terpaku di pintu lantai geladak berteriak kepadaku.

“Lakukanlah! Lakukanlah!”

Seorang muncul di pintu geladak membawa selimut terurai, siap menutup tubuh wanita yang telanjang itu.

“Tolonglah. Tolonglah aku menghapus segalanya. Jangan biarkan bekas itu tetap melekat di bibirku dalam kematian di dasar laut. Tolonglah.”

“Lakukanlah! Lakukanlah!”

Teriak orang-orang yang menyaksikan dari pintu lantai geladak.

Aku hampiri wanita itu. Orang yang membawa selimut berlari ke arah kami, menyelimuti kami dengan kain yang terurai itu. Di dalam selimut kucari telinga wanita itu.

“Masih adakah bekas darinya di bagian lain tubuhmu yang harus kuhapus dengan bibirku?” bisikku. []

 

Tentang Hamsad Rangkuti

hamsad rangkutiLahir di Medan, 7 Mei 1943, dengan nama asli Hasyim Rangkuti. Hamsad termasuk salah satu sastrawan penandatangan Manifes Kebudayaan tahun 1964, pernyataan para sastrawan yang menolak politik sebagai panglima. Bergabung dengan majalah sastra Horison tahun 1969 dan menjadi pemimpin redaksi pada tahun 1984.

Karya-karyanya mayoritas berupa cerpen, dihimpun dalam kumpulan cerpen antara lain: Lukisan Perkawinan (1982), Sampah Bulan Desember (2000), dan Bibir dalam Pispot (2003), dan Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu? (2016). Ada juga novelnya berjudul “Ketika Lampu Berwarna Merah” (1981).

Pernah meraih beberapa penghargaan antara lain: Penghargaan Khusus Kompas atas kesetiaan dalam penulisan cerpen (2001), Khatulistiwa Literary Award untuk Bibir dalam Pispot (2003), dan Sea Write Award (2008).

Hamsad Rangkuti meninggal dunia pada hari Ahad, 26 Agustus 2018 karena sakit.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *