Esai ini saya tulis tahun 2005, sedianya untuk lomba Ahmad Wahib Award yang diadakan HMI Cabang Ciputat dan Freedom Institute. Saya tidak memenangkan lomba ini, tapi isi esai menunjukkan pergulatan pikiran saya.
“Manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan. Kepercayaan itu akan melahirkan tata nilai guna menopang hidup budayanya.”
Sampai di sini, dua kalimat pertama teks NDP (Nilai-nilai Dasar Perjuangan) HMI itu menunjukkan sifat pragmatis dari kepercayaan. Sesuai dengan teori kebenaran pragmatik, kepercayaan dianut karena berguna atau fungsional bagi kehidupan manusia. Kegunaan itu berupa tata nilai yang diperlukan untuk menopang keteraturan dalam hidup bermasyarakat dan, bagi individu, untuk memperoleh ketenangan.
Tentu ada kegunaan-kegunaan lain dari kepercayaan, atau lebih khusus lagi agama. Misalnya, ada orang yang menganut agama karena kekayaan, jabatan, atau kehormatan. Semua motif itu sah menurut teori pragmatik. Tetapi saya lebih suka menyebut agama sebagai pilihan etis, bukan pilihan pragmatis, karena isi dari kegunaan itu terutama adalah tata nilai, moral, atau etika. Istilah pragmatis terlalu luas cakupannya.
Teori kebenaran pragmatik tidak mempersoalkan kebenaran agama ditinjau dari esensi agama itu sendiri. Teori itu hanya menunjukkan bahwa sesuatu, termasuk agama, dinyatakan benar jika berguna. Jika tidak berguna, sesuatu itu salah dan karena itu boleh ditinggalkan. Jadi nilai kebenarannya bersifat ekstrinsik. Secara pragmatik, tampaknya tidak masalah jika kita menganut agama apa saja, toh semuanya menyediakan tata nilai. Namun untuk mencapai kebenaran yang sesungguhnya, teori pragmatik sangat tidak mencukupi.
NDP HMI sendiri melanjutkan bahwa “Selain merupakan kebutuhan, dalam waktu yang sama kepercayaan itu haruslah merupakan kebenaran”. Oleh karena itu diperlukan kriteria kebenaran yang lain untuk memilih suatu kepercayaan agar kita tidak jatuh kepada memilih kepercayaan yang salah.
Dalam filsafat ilmu, dikenal dua lagi teori kebenaran yang disebut koherensi dan korespondensi. Teori kebenaran koherensi menyatakan bahwa suatu pernyataan benar jika konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Metodenya menggunakan penalaran rasional (logika). Sedangkan teori kebenaran korespondensi menyatakan bahwa suatu pernyataan benar jika sesuai dengan kenyataan. Metodenya menggunakan pendekatan empiris (pengalaman). Berbeda dengan teori pragmatik, nilai kebenaran teori koherensi dan korespondensi bersifat intrinsik.
Dalam tulisan ini saya mencoba memeriksa kebenaran agama dengan kedua teori itu. Pembuktian koherensi diarahkan pada doktrin-doktrin teologis dari agama. Suatu agama dikatakan benar jika doktrin-doktrin teologisnya konsisten satu sama lain, tidak dihinggapi oleh kontradiksi-kontradiksi yang mengganggu akal.
Pembuktian korespondensi dilakukan melalui tiga tema, yaitu soal otentisitas kitab suci, pelaksanaan ajaran agama dalam sejarah, dan kesesuaian antara pernyataan-pernyataan agama dengan penemuan-penemuan ilmiah. Agama yang benar adalah agama yang lulus dalam kedua ujian ini.
Beragama sebagai Pilihan Etis
Pada umumnya manusia telah beragama sejak lahir. Orangtua atau lingkungannyalah yang memungkinkan itu. Jika ia tetap dalam agamanya sampai akhir hidupnya tanpa mempertanyakan secara serius kenapa ia menganut agama itu dan bukan agama lain; jika ia berusaha menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya dengan sebaik-baiknya karena masyarakatnya mengharapkan demikian; jika ia beragama karena ingin beroleh ketenangan dengan adanya jaminan keselamatan di hari kemudian; berarti baginya agama adalah pilihan etis.
Dalam pilihan etis rasionalitas tidak digunakan. Landasannya semata-mata pragmatis. Kalaupun digunakan, hal itu dilakukan setelah pilihan ditetapkan. Jadi orang yang beragama sebagai pilihan etis (karena keturunan atau kebutuhan) bukan berarti dia tidak dibekali dengan penjelasan rasional atas agama yang dianutnya. Hanya saja penjelasan rasional itu dilakukan setelah ia menganut agama dan dimaksudkan untuk memperkuat keyakinan agama. Sehingga yang terjadi sesungguhnya bukanlah penjelasan rasional, melainkan rasionalisasi atau justifikasi (pembenaran) atas iman agama.
Cara beragama seperti ini terdapat pada setiap agama, dan tampaknya merupakan motif awal ketika seseorang mulai menyadari bahwa ia menganut agama. Setiap orangtua akan memastikan bahwa agama anak-anaknya sama dengannya. Mereka menanamkan doktrin-doktrin agama kepada anaknya sejak kecil. Seiring dengan perkembangan daya pikir sang anak, mungkin mereka memberikan pula penjelasan-penjelasan yang bersifat rasional.
Ada beberapa argumen filosofis atas cara beragama semacam ini. Para teolog dan filosof Kristen telah mengembangkan rasionalisasi yang canggih atas cara beriman mereka. Bukan terhadap isi iman, tetapi terhadap cara beriman. Anselmus merumuskan sebuah metode yang berbunyi credo ut intelligam (aku percaya agar aku memahami). Percaya (iman) diletakkan lebih dulu, baru memahami (berpikir). Dengan kata lain, yang harus dilakukan dalam beragama adalah beriman, lalu berpikir.
Kaum beragama sering khawatir bila berpikir diletakkan terlebih dahulu, anak-anaknya akan menjadi kafir atau ateis (dalam arti tidak menganut agama yang sama dengan orangtuanya). Para agamawan dan pendeta khawatir umatnya akan jadi ateis bila mereka disuruh berpikir dahulu sebelum menganut agama. Apalagi tidak semua doktrin bisa dirasionalisasikan. Saya kira ini yang melatarbelakangi munculnya doktrin mengenai cara beragama semacam itu.
Pilihan etis dapat pula dilakukan setelah sebelumnya berpikir. Namun pada saat pilihan ditentukan, pikiran itu dibuang. Kierkegaard, dalam tahap ketiga cara bereksistensi manusia, yakni tahap religius, menganjurkan agar iman lebih baik dihayati sebagai pengalaman langsung manusia dalam berhubungan dengan Tuhannya. Ia tentu telah melakukan penyelidikan mendalam atas doktrin-doktrin ketuhanan Kristen, dan mungkin menyadari banyak kontradiksi yang tidak bisa diselesaikan dengan akal, maka ia memilih sebuah lompatan dalam kegelapan menuju iman.
Contoh lain dari pilihan etis dapat dilihat pada sikap Bertrand Russel yang menganggap bahwa membuktikan adanya Tuhan secara rasional sama mudahnya dengan membuktikan tidak adanya, dan ia memilih tidak bertuhan. Pilihannya itu sama sekali tidak didasarkan pada alasan bahwa tidak bertuhan lebih benar daripada bertuhan, melainkan semata-mata pragmatis: bertuhan tidak berguna baginya. Kalaupun ada, guna Tuhan itu hanya satu: membuat orang melihat ke langit sehingga memunculkan ilmu astronomi. Sebagai seorang filosof sekaligus ilmuwan, hal ini bisa dimengerti karena hidupnya lebih banyak berkutat dengan hal-hal empiris.
Beragama sebagai Pilihan Rasional
Beragama sebagai pilihan etis, dengan metode beriman lalu berpikir, tidak memadai untuk mencapai kebenaran yang sesungguhnya. Kegiatan berpikir seperti itu telah dibatasi sehingga tidak bebas lagi. Akal yang tidak bebas tidak akan mampu mencapai batas-batas maksimal dari kemampuan berpikir. Kesimpulannya sudah ditentukan lebih dulu, sehingga sehebat apa pun pikiran seseorang, pikirannya akan terarah untuk membenarkan kesimpulannya itu. Contoh, seandainya agama yang benar itu hanya satu, Islam misalnya, dan seseorang terlanjur mendapatkan dirinya berada dalam agama lain, lalu ia tetap berada di situ dan membenarkan dirinya dengan rasionalisasi, maka rasionalisasi itu tidak ada gunanya. Ia telah terkungkung dan akan tetap berada dalam agama yang tidak benar.
Beragama sebagai pilihan rasional berarti menggunakan rasio atau akal sebelum memutuskan memilih agama. Kebalikan dari kredo Anselmus, beragama sebagai pilihan rasional diawali dengan berpikir, lalu beriman. Dengan berpikir, kita menimbang-nimbang dengan akal untuk menentukan mana yang benar dan yang salah, dan mana yang harus diikuti.
Berpikir lebih dulu memang bisa berisiko sebaliknya, menjadi tidak beragama. Namun jika menurut akal tidak beragama adalah lebih benar daripada beragama, saya kira itu lebih baik daripada beragama dalam keadaan buta. Berpikir setelah beriman cenderung membutakan mata dari kemungkinan adanya kebenaran pada agama lain.
Dalam kenyataan, sangat jarang orang yang betul-betul tidak beragama sebelum memutuskan beragama. Seperti dikatakan di awal, sejak lahir kebanyakan manusia selalu sudah beragama. Namun konsep ini bukannya tidak dapat dilaksanakan. Jika kita mendapati diri kita sudah menganut agama, kita bisa menarik diri dari agama dan menatapnya dari ketinggian. Kita akan melihat bahwa ternyata yang ada bukan hanya agama kita, tetapi lebih banyak lagi agama lain yang berbeda.
Jika agama adalah sumber tata nilai, dan tiap agama menyediakannya, kenapa harus pusing-pusing memikirkan agama apa yang harus kita anut? Persoalannya bukan hanya itu. Di samping membutuhkan keteraturan dan ketenangan, manusia juga membutuhkan jaminan keselamatan setelah hidup di dunia berakhir. Setiap agama memberikan jaminan keselamatan, namun manusia tentu ingin memperoleh jaminan yang tidak diragukan. Menyadari bahwa ada banyak agama selain yang dianutnya, wajar jika timbul pikiran bahwa pasti hanya satu di antara agama itu yang jaminannya benar-benar membawa keselamatan.
Kesadaran semacam ini jauh-jauh hari sudah diafirmasi oleh logika Aristoteles yang menyatakan bahwa jika ada dua pernyataan saling bertentangan, hanya satu yang benar (hukum kontradiksi). NDP HMI juga mengadopsi logika itu dalam paragraf kedua, “Karena bentuk-bentuk kepercayaan itu berbeda satu dengan lainnya, maka sudah tentu ada dua kemungkinan: kesemuanya itu salah atau salah satu saja di antaranya yang benar.”
Dalam hal memilih agama, keselamatan yang dimaksud bukanlah keselamatan di dunia, tetapi keselamatan abadi di hari kemudian (akhirat). Tidak jarang manusia beragama rela mengorbankan keselamatannya di dunia demi memperoleh keselamatan di akhirat. Dunia adalah sementara, akhirat kekal selama-lamanya. Konsep pengorbanan semacam ini sepertinya terdapat pada semua agama, dan menjadi salah satu doktrin yang penting. Doktrin ini mendasari munculnya tindakan altruisme, voluntarisme, termasuk tindak bunuh diri di keramaian dengan bom yang bagi pihak lain terasa sebagai terorisme.
Saya percaya tidak ada manusia yang secara sadar dan sengaja dalam keadaan bebas memilih untuk hidup celaka, terlebih celaka selama-lamanya. Beragama adalah sebuah pertaruhan untuk memperoleh keselamatan abadi. Memang ada kasus di mana orang secara sadar mempertaruhkan keselamatannya di akhirat demi memperoleh keuntungan di dunia, misalnya mereka yang menjadi pencuri, pelacur, atau, dalam kepercayaan tradisional, menjadi babi ngepet. Mereka meyakini perbuatan itu dosa dan di akhirat mereka akan mendapat siksa, tapi mereka tetap melakukannya. Bahkan dalam kasus babi ngepet, seperti kita saksikan di film-film mistik, setiap orang yang mendatangi dukun atau siluman babi ngepet selalu diberi peringatan bahwa jiwa mereka adalah harga yang harus dibayar sebagai ganti kekayaan yang mereka peroleh. Jiwa mereka akan menjadi budak di alam siluman, disiksa dan sengsara selama-lamanya.
Namun kasus seperti itu terjadi hanya pada mereka yang tidak bebas. Mereka memilih jalan sebagai pencuri atau babi ngepet karena terpaksa, tidak kuat lagi menanggung himpitan ekonomi di dunia. Ini bukan kekecualian. Jadi intinya tetap, semua manusia ingin selamat, kalaupun tidak di dunia ya di akhirat.
Memilih agama tanpa memikirkannya terlebih dahulu mengandung bahaya besar. Kalau orang mengikuti Kierkegaard bulat-bulat, sangat mungkin dalam kegelapan itu ia keliru menentukan tempat berpijak. Kalau kebetulan orang itu melompat ke tempat yang benar, selamatlah ia. Tetapi untuk selamanya ia tidak akan tahu bahwa sasaran lompatannya benar, karena segalanya gelap baginya. Atau hanya tempat berpijaknya itulah yang terang setelah ia melakukan rasionalisasi. Di luar itu gelap, dan ia tidak akan tahu kemungkinan ada agama lain yang lebih benar.
Dengan menjadikan agama sebagai pilihan rasional, kita akan dapat melihat beberapa tempat berpijak. Kita jadi tahu ada tempat berpijak yang dasarnya dari batu, tanah keras, lumpur, atau kayu lapuk. Tinggal pilih. Segalanya terang bagi kita, tidak lagi gelap. Setelah itu barulah kita melompat.
Beragama sebagai Pengalaman Spiritual
Setelah melakukan pemilihan terhadap agama, entah dengan cara etis atau rasional, seseorang mungkin akan melaksanakan ajaran-ajaran agamanya dengan sungguh-sungguh, tidak sekadar kewajiban, baik terhadap ajaran yang bersifat sosial maupun ritual-individual. Ia menghayati dan menyerahkan segenap diri dan hidupnya ke dalam Tuhan, inti agama itu sendiri. Dengan latihan-latihan tertentu, jika berhasil, ia akan mendapatkan pengalaman spiritual yang otentik. Ia mungkin akan menyaksikan Tuhan dan merasakan kesatuan dengan-Nya.
Setiap agama mempunyai metodenya sendiri untuk mencapai pengalaman spiritual. Umumnya pengalaman ini membuat orang menjadi semakin yakin dengan kebenaran agamanya. Pada tahap ini, boleh dikatakan sangat susah menggoyang keimanan yang bersangkutan dengan bukti-bukti apa pun. Lha wong ia telah mengalami Tuhan. Seorang Kristen yang telah mengalami penampakan Yesus, misalnya, hampir tidak mungkin keluar dari agama Kristen.
Saya tidak akan menggambarkan pengalaman ini secara rinci. Yang menjadi perhatian saya adalah kenyataan bahwa siapa pun ternyata bisa mengalami pengalaman spiritual, apa pun agamanya, termasuk mereka yang tidak beragama secara formal. Orang-orang ini umumnya menyangka mereka telah menemukan kebenaran yang tak diragukan. Benarkah demikian?
Saya mempunyai dugaan kuat bahwa pengalaman spiritual selalu mengafirmasi keyakinan, yang nota bene berada di wilayah akal. Pengalaman ini tidak pernah membantah persepsi akal, malah selalu menyesuaikan diri dengannya. Orang yang meyakini Yesus sebagai Tuhan hanya akan mengalami penampakan Yesus, bukan Wisnu, Muhammad, atau Buddha; begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu saya menyimpulkan bahwa pengalaman spiritual tidak bisa dijadikan bukti kebenaran agama. Tidak bisa orang mengatakan, Kristen adalah agama yang benar, buktinya saya mengalami Bunda Maria. Atau Islam adalah agama yang benar, buktinya saya mengalami Allah. Pengalaman semacam itu dipengaruhi oleh keyakinan. Termasuk pengalaman Rumi dan Rabi’ah yang dahsyat saat bercinta dengan Allah, seperti terlukis dalam puisi-puisinya, bukanlah ukuran bahwa keyakinan mereka benar. Mereka mengalami Allah karena sebelumnya akal mereka meyakini Allah sebagai Tuhan. Spiritualis Anand Krishna mungkin pernah mengalami banyak “tuhan” dan tokoh-tokoh suci agama: Allah, Yahweh, Brahman, Yesus, Muhammad, Maria, Buddha, Rama, Kresna, juga Gandhi dan Soekarno. Kenapa? Karena ia memercayai semuanya.
Seandainya pengalaman spiritual adalah bukti otentik mengenai kebenaran agama, tentu setiap orang dari agama apa pun akan mengalami pengalaman spiritual yang sama. Kalau yang benar itu Kristen, seharusnya orang Hindu atau Buddha bisa mengalami Yesus. Kalau yang benar itu Islam, seharusnya Allah mengoreksi keyakinan orang-orang Kristen, Hindu, Buddha, Shinto, penganut pagan, dsb dengan membuat mereka hanya mengalami Allah, bukan mengalami Yesus, Brahman, Buddha, atau dewa-dewa. Tetapi ternyata tidak. Masing-masing hanya mengalami apa yang diyakininya.
Kenyataan lain adalah bahwa pengalaman spiritual bisa dicapai dengan banyak cara. Dengan meditasi bisa. Dengan salat bisa. Dengan misa bisa. Dengan yoga bisa. Dengan menari, musik, puasa, membaca quran, tahlil, dan menghitung nafas juga bisa. Syaratnya sederhana, lepaskan pikiran dan pusatkan hati pada obyek yang ingin dialami. Untuk bisa berhasil tentu memerlukan latihan dan ketekunan. Soal obyek, apa pun bisa sepanjang masih tergolong gaib dan kita memercayainya. Bukan hanya Tuhan, setan pun bahkan sesuatu yang tidak ada kalau dihayati dengan penuh percaya bisa membuat orang menemukan pengalaman serupa. Dari sini, saya bisa memahami kenapa tidak ada dukun santet yang sanggup memasukkan botol ke dalam perut presiden Bush atau Blair. Kenapa? Karena Bush dan Blair tidak percaya santet. Santet, seperti halnya pengalaman gaib lain, hanya berlaku bagi orang yang memercayainya, yang mempersepsi bahwa santet itu ada.
Apakah dengan demikian pengalaman spiritual itu tidak benar, eksistensinya tidak ada karena merupakan proyeksi atau harapan orang saja? Saya tidak ingin melangkah sejauh itu. Yang jelas, sangat banyak manusia yang telah mengalami hal-hal gaib. Sebagian besar mendapatkan pencerahan dan menjadi manusia yang lebih bijak. Sebagian kecil pulang membawa oleh-oleh berupa kalimat-kalimat ajaib yang tidak mungkin dibuat manusia.
Lalu?
Orang yang memutuskan untuk menjalani agamanya secara spiritual tidak mesti telah melewati pilihan rasional. Pada umumnya malah langsung dari pilihan etis ke pengalaman spiritual. Kata orang yang telah mengalaminya, pengalaman spiritual itu nikmat dan sangat mengasikkan. Siapa pun pasti betah di sana. Kalau saja perut tak butuh makan, seorang sufi tentu ingin selamanya tenggelam di pelukan Tuhan. Ibarat orang melompat dalam gelap, jatuh ke lumpur pun enak.
Memasuki pengalaman spiritual, pengalaman religius, pengalaman mistik, atau apalah namanya, tanpa didahului pemikiran rasional saya kira sama gelapnya dengan beragama sebagai pilihan etis. Sampai kapan pun ia tak akan tahu kebenaran atau kesalahan jalan yang ditempuhnya. Soal ini hanya akal yang bisa membedakan secara terang. Oleh karena itu, ketika hendak memutuskan suatu agama sebagai jalan spiritual, telitilah terlebih dahulu dengan akal, rasional atau tidak. Yang rasional itulah yang benar.
***
Lalu adakah agama yang benar itu? Agama apa? Mari kita lanjutkan. Pembahasan berikut ini mungkin terasa lebih teknis dan konkret. Tapi di sinilah inti dari judul tulisan ini.
Pembuktian Koherensi atas Agama
Sekarang saya akan menerapkan pembuktian koherensi atas agama-agama yang ada. Tentu tidak semua agama, karena akses saya tidak cukup. Seperti disebut di awal, pembuktian koherensi diarahkan pada doktrin teologis, yaitu doktrin yang berhubungan dengan konsep ketuhanan. Saya akan melakukannya secara deduktif. Saya mulai dengan mengajukan dua postulat ketuhanan yang benar menurut penalaran akal, lalu mencocokkan keduanya dengan konsep-konsep ketuhanan dari berbagai agama.
Pertama, Tuhan itu ada
Sebelum masa pencerahan di Barat, tidak ada orang yang meragukan keberadaan Tuhan. Menurut Karen Armstrong, sebutan ateis waktu itu tidak ditujukan kepada orang yang meragukan eksistensi Tuhan, tetapi kerap ditujukan kepada orang yang beda keyakinan. Orang Yahudi, Kristen, dan Islam pernah dituduh ateis oleh kaum pagan (Armstrong, 2003: 22). Anehnya, usaha rasional untuk membuktikan adanya Tuhan sudah jauh-jauh hari dilakukan para filosof dan teolog sejak zaman Yunani kuno; entah kepada siapa argumen itu diarahkan.
Secara umum, argumen-argumen itu tidak jauh dari lima dalil sebagaimana dirangkum oleh Thomas Aquinas, yakni Tuhan sebagai Penggerak Pertama yang tidak digerakkan, Tuhan sebagai Penyebab Pertama, Tuhan sebagai Wujud Wajib, Tuhan sebagai Puncak hirarki kesempurnaan, dan ketidakmungkinan segala keteraturan yang ada di alam ini sebagai kebetulan.
Bagi saya sendiri, adanya Tuhan itu sudah sangat terang dan sama sekali tidak diragukan lagi. Argumen-argumen itu memang membantu, tetapi lepas dari semua itu, akal saya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika Tuhan tidak ada. Betapa banyak kontradiksi yang terjadi dalam pemikiran manusia, dan semua itu selesai hanya dengan satu jawaban: Tuhan ada. Kontradiksi-kontradiksi yang banyak menghinggapi pemikiran Sartre dan para pemikir reduksionis lain tidak akan timbul jika Tuhan dimasukkan. Membuktikan adanya Tuhan mungkin sulit, tetapi membuktikan tidak adanya Tuhan jauh lebih sulit.
Kedua, Tuhan itu esa
Siapa pun yang mencoba menggunakan akalnya untuk membuktikan Tuhan, pasti akan mendapati bahwa Tuhan itu esa atau satu. Ini jelas. Semua argumen yang dikemukakan pemikir Yahudi, Kristen, maupun Islam menyimpulkan esa-nya Tuhan. Bahkan pada agama-agama politeis-pagan pun, para penganutnya meyakini adanya satu dewa tertinggi yang mengatasi dewa-dewa lainnya.
Dua postulat itu terangkum dalam satu kata: monoteis. Bagi saya itulah konsep paling fundamental dan benar mengenai ketuhanan. Konsep yang tidak sesuai dengan itu adalah tidak rasional, salah, dan karenanya harus ditinggalkan. Berikutnya kita tinggal memeriksa agama manakah yang paling memenuhi kriteria itu, dan seperti apa perkembangan konsep ketuhanan itu dalam sejarah. Namun saya hanya akan mengemukakannya secara ringkas.
Dalam Islam, Tuhan itu ada dan esa. Cukup. Dalam Kristen, Tuhan itu ada dan esa, namun monoteisme itu terganggu oleh doktrin trinitas dan inkarnasi. Dalam Yahudi, Tuhan itu ada dan esa. Cukup juga. Dalam Hindu dan Buddha, Tuhan tidak bisa dikenal (agnostik). Dalam praktik sejarahnya, kaum Hindu tercemari politeisme, ada dewa dan dewi yang banyak. Begitu pula dalam Buddha. Pola-pola penyembahannya pun mirip dengan agama pagan, ada patung dan berhala. Dalam Shinto saya tidak tahu. Tetapi seperti terjadi di Jepang, kaisar yang manusia biasa itu diyakini sebagai Putra Langit. Jadi pagan juga. Lalu agama-agama pagan yang lain jelas tidak monoteis.
Dalam hal ini, yang memenuhi kriteria berarti hanya Islam dan Yahudi. Manakah di antara keduanya yang benar, kita lihat pembuktian berikutnya.
Pembuktian Korespondensi
Saya menempatkan korespondensi sebagai jalan terakhir bukan berarti menganggap pembuktian ini sebagai metode terbaik. Alasannya pragmatis saja, yaitu bahwa pembuktian koherensi lebih sederhana, lebih mudah dilakukan, dan berkemampuan lebih besar untuk menggugurkan “para peserta”. Pembuktian korespondensi lebih sulit karena harus menyertakan penelitian-penelitian ilmiah dan empiris mengenai banyak aspek.
Ada tiga aspek yang ingin saya perbandingkan di sini. Karena yang tersisa hanya Islam dan Yahudi, saya tidak akan repot-repot menyinggung agama lain.
Pertama, otentisitas kitab suci. Tidak ada perbantahan bahwa kitab suci Islam, al-Quran, adalah yang paling otentik di antara yang lain. Meski konon ada beberapa versi, mushaf yang dipegang umat Islam sekarang sama persis dengan yang ada pada masa Nabi. Perbedaan hanya terletak pada penambahan titik dan garis (syakal) sebagai bentuk perkembangan huruf Arab. Kitab suci Yahudi, Taurat atau Perjanjian Lama, disusun beberapa abad setelah Nabi Musa wafat, oleh banyak penulis, dalam waktu sekurangnya tiga abad (Armstrong, 2003: 72-119, dan Bucaille, 1996: 21-33).
Kedua, pelaksanaan ajaran agama dalam sejarah. Islam pernah merajai dunia, Yahudi baru setengah abad lalu memperoleh tempat tinggal. Doktrin umat pilihan dengan daerah pilihan yang mereka yakini membuat agama ini tidak universal sehingga mereka tidak pernah berusaha membangun kerajaan Yahudi di sembarang tempat. Dalam beberapa dekade ke depan, kaum Yahudi mungkin masih akan menguasai kebijakan pemerintahan negara-negara besar. Namun hal itu belum cukup untuk menandingi kejayaan yang pernah dicapai imperium Islam. Ditambah lagi, saat ini umat Islam pun sudah menyadari keterpurukannya dan mulai menunjukkan tanda-tanda kebangkitan. Perbandingan ini mungkin agak terasa apologetik sehingga sangat mudah diperdebatkan.
Sekadar menambahkan, kemajuan yang ada di Barat sekarang ini mungkin akan dianggap bukti kejayaan umat Kristen karena agama tersebut mayoritas di sana. Begitu pula kemajuan Jepang, Cina, dan Korea akan dihubungkan dengan etika Konfusianisme yang dipegang mayoritas rakyatnya. Hal ini memang perlu diteliti lagi. Namun sampai saat ini saya tidak melihat adanya hubungan lurus antara kemajuan Barat dengan Kristen. Yang terjadi malah sebaliknya. Barat maju karena umatnya meninggalkan Kristen. Kemajuan di kawasan Asia Timur juga sulit dihubungkan dengan Konfusianisme atau agama apa pun yang ada di sana; tiga negara itu maju justru setelah mengadopsi sistem-sistem Barat khususnya dalam ekonomi dan politik.
Ketiga, kesesuaian pernyataan-pernyataan kitab suci dengan sains modern. Banyak ilmuwan Muslim yang memperbandingkan al-Quran dengan penemuan sains modern, misalnya Harun Yahya, Maurice Bucaille, atau di negeri kita Ahmad Baiquni dan Dadang Hawari. Lepas dari berbagai kritik yang ditujukan terhadap pendekatan jenis ini, misalnya soal kekhawatiran berubahnya al-Quran jika penemuan sains mengalami perubahan, usaha yang dilakukan mereka patut diapresiasi secara positif.
Ketika membahas Perjanjian Lama, Maurice Bucaille dalam buku Bibel, Quran, dan Sains Modern, menunjukkan banyak pernyataan mengenai beberapa soal yang oleh sains sudah terbuktikan salah. Contoh paling nyata adalah soal tahun penciptaan alam semesta, yakni abad ke-37 sebelum masehi atau hampir 6000 tahun lalu. Betapa jauhnya dengan penemuan sains yang menyebutkan usia tata surya saja sekitar 4½ milyar tahun. Al-Quran tidak terjangkiti kekeliruan semacam ini.
Selain tiga aspek ini sebetulnya masih bisa ditambahkan perbandingan-perbandingan lain. Namun tentu tidak akan cukup kalau diuraikan di sini. Pengalaman spiritual, misalnya, bisa dikategorikan bukti korespondensi. Namun karena baik orang Islam maupun Yahudi dan juga penganut agama-agama lain bisa mengalaminya, hal tersebut tidak membuktikan apa-apa.
***
Sampai di sini, saya tiba pada kesimpulan bahwa agama yang paling benar adalah Islam. Apa yang harus saya lakukan sekarang? Saya telah berpikir, dan sekarang tinggal memutuskan: berislam. Saya memang telah menganut Islam sejak lahir. Namun saya yakin bahwa meskipun sekarang saya tetap Islam, pilihan saya tidak sekadar alasan etis, apalagi pragmatis. Saya memilih Islam lewat jalan rasional, dengan rute seperti digambarkan di atas.
Kristen dan Islam: Pertimbangan Tambahan
Ludwig Feuerbach, Nietzsche, dan Sigmund Freud adalah orang-orang yang telah berpikir sebelum akhirnya memutuskan tidak beriman. Waktu kanak-kanaknya mereka menganut agama. Seiring dengan perkembangan intelektualnya, mereka menyadari ada banyak hal yang tidak bisa dijelaskan secara rasional dalam agama mereka. Lewat penyelidikan rasional dan ilmiah, mereka berkesimpulan bahwa Tuhan hakikatnya hanyalah hasil proyeksi manusia.
Pilihan mereka tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial waktu itu. Sejak jaman pencerahan, agama Kristen seperti ditunjukkan pemuka-pemukanya menunjukkan tabiat yang mengecewakan. Perang sipil, parade inkuisisi ilmuwan, serta sifat doktrin Kristen yang irasional membuat mereka meninggalkan agamanya. Tampak bahwa Kristen ternyata tidak kuat menahan serbuan rasionalisme dan materialisme. Ketika didekati secara rasional, dengan berpikir dahulu, yang terjadi adalah orang-orang semakin jauh dari agama.
Dalam konteks semacam ini pula Martin Luther, Blaise Pascal, Immanuel Kant, Kierkegaard, dan beberapa teolog lain mengembangkan doktrin cara beragama yang menghilangkan akal sebagai alat pertimbangan. Tak perlu orang bersusah-susah membuktikan agama lewat penalaran logis. Agama adalah tindakan, postulat etis yang harus dibuktikan dalam perilaku sehari-hari. Menurut Luther, iman tidak membutuhkan informasi, pengetahuan, dan kepastian, … tetapi ketundukan dan pertaruhan sukarela atas kebaikannya yang belum pernah dirasakan, diuji, dan diketahui (Armstrong, 2003: 364). Mereka memang hanya mengenal Kristen. Terlepas dari sifat doktrin-doktrin Kristen, mereka merasa agama masih sangat dibutuhkan oleh manusia. Dengan menyingkirkan akal sebagai pendekatan pertama terhadap agama, pemikir Kristen mencoba menghindarkan umatnya dari sekularisme.
Saya belum membaca apakah dalam sejarah Islam ada orang yang merumuskan cara beragama semacam yang ada di Kristen, beriman lalu berpikir. Para sufi memang banyak yang mencela akal. Di kalangan fundamentalis, kebebasan berpikir dalam beragama juga dihalang-halangi. Namun sepanjang yang saya pahami, al-Quran tidak pernah melarang orang untuk berpikir. Al-Quran sendiri bahkan merupakan tantangan kepada orang yang berpikir. Rasanya saya tidak usah menerangkan betapa mulianya orang-orang yang berpikir itu dalam pandangan Islam. Iqra (bacalah), afala tatafakkarun (apakah engkau tidak memikirkan), ulil albab (ahli ilmu), ‘ulama (ahli ilmu), dll adalah konsep-konsep yang menggelorakan semangat rasional, dan ini sangat mengagumkan untuk sebuah kitab suci. Barangkali seandainya para pemikir Barat itu mengenal Islam, saya kira mereka tidak perlu bersusah payah membuat kredo aneh yang bagi pencari kebenaran terasa sangat melecehkan akal.
Saya setuju bahwa dalam hal apa pun kita tidak boleh menerimanya begitu saja, melainkan menerimanya setelah memastikan kebenarannya. Termasuk dalam beragama. Kalau sekadar demi nilai, sebagai pilihan etis, agama apa pun bisa kita anut. Tetapi untuk kebenaran, kita harus mengadakan pilihan. Dengan akal. Jadi yang pertama harus dilakukan adalah berpikir, baru kemudian memutuskan untuk beriman atau tidak beriman. Ini bukan soal mana yang lebih utama, berpikir atau iman, akal atau wahyu, melainkan mana yang harus dilakukan lebih dulu. Saya yakin bahwa setiap proses berpikir yang benar pasti membawa kepada iman. Faktor-faktor eksternallah yang membuat akal tersimpangkan ke jalan lain.
Empat Tipe Manusia
Tidak semua orang mempunyai cukup waktu dan kemampuan untuk berefleksi tentang agamanya. Para buruh tani, buruh pabrik, kaum miskin kota dan desa pada umumnya lebih banyak disibukkan oleh urusan bagaimana mencari makan. Bagi mereka, sudah cukup rasanya jika beragama didekati sebagai pilihan etis. Asalkan mereka tidak jadi penjahat, tidak menyakiti sesamanya, berusaha untuk hidup teratur layaknya orang bermasyarakat, dan menjalankan ibadah seperti halnya anggota masyarakat yang lain atau tokoh agama yang dipercayainya, semua itu sudah memadai untuk menjadikan mereka tergolong sebagai orang baik-baik. Ini adalah cara beragama kaum awam.
Bagi mereka yang sudah selesai dengan kebutuhan dasariahnya, adalah sangat baik jika mereka menyediakan waktu untuk berefleksi tentang hidup dan agama yang mereka anut. Orang-orang ini akan tetap tergolong kaum awam jika waktu luangnya lebih dipakai untuk bersenang-senang. Tetapi jika mereka berpikir, bertanya kenapa saya beragama dan berusaha mencari jawabannya, mereka bisa digolongkan sebagai kaum pemikir. Contohnya adalah para filosof.
Atau jika mereka melakukan lompatan ke jalan spiritual tanpa didahului oleh refleksi pemikiran, berusaha menemukan langsung pengalaman perjumpaan dengan Tuhan, mereka bisa digolongkan sebagai kaum spiritualis. Contohnya para sufi.
Jika lompatan ke jalan spiritual ini didahului oleh refleksi pemikiran, mereka berusaha memperoleh jalan yang benar secara rasional seraya mencari penguatannya lewat perjumpaan dengan Tuhan, mereka bisa digolongkan sebagai kaum teosof. Istilah ini merupakan terjemahan dari istilah yang disebut oleh Suhrawardi al-Maqtul sebagai muta’alih. Suhrawardi sendiri adalah seorang filosof yang menempuh jalan spiritual.
Apa gunanya penggolongan ini? Tidak tahu. Mungkin saya sekadar mengikuti trend saja, seperti kerap dilakukan para pemikir. Apalagi umumnya orang psikologi (saya kuliah di psikologi) senang membuat tipologi. Begitu pula orang-orang yang mendatangi orang psikologi senang bertanya dan ingin tahu ‘saya masuk tipe apa?’.
***
Selesaikah pergulatan saya? Apakah bagi saya Islam sudah merupakan pilihan yang final? Sepertinya saya harus meremukkan beberapa kerikil yang masih terselip dalam akal.
Argumen Keberadaan Tuhan Saat Ini
Tampaknya metode pembuktian adanya Tuhan secara rasional tidak mengalami perkembangan sejak abad pertengahan. Pada umumnya bukti-bukti itu juga telah terbantah oleh sains modern. Sejak paruh abad 20, nyaris tidak ada filosof atau teolog yang dengan penuh percaya diri dapat mengatakan bahwa mengemukakan dalil yang tidak terbantahkan mengenai eksistensi Tuhan adalah hal yang mungkin (Soroush, 2002: 100).
Para pemikir jaman sekarang hanya mengulang-ulang argumen itu. Semuanya tidak beda jauh dari lima dalil sebagaimana dirangkum Thomas Aquinas. Dan kebanyakan argumen itu tidak memadai untuk konteks jaman sekarang, dimana perkembangan sains alam sudah sedemikian pesat. Misalnya tentang Tuhan sebagai Penggerak yang tidak digerakkan, argumen itu melemah sejak Newton merumuskan teori gerak. Menurut Newton, keadaan asali benda-benda bukanlah diam, melainkan bergerak. Perubahan bukan terjadi dari diam menjadi bergerak, tetapi dari bergerak menjadi lebih cepat, lebih lambat, atau berubah arah. Karena keadaan asali adalah bergerak, tidak diperlukan lagi Penggerak Pertama.
Begitu juga dengan teori emanasi yang mengimplikasikan Tuhan sebagai Sebab Pertama. Mengibaratkan Tuhan dan ciptaan-Nya sebagai matahari dan cahaya, sama saja dengan memposisikan Tuhan sebagai tidak berdaya untuk tidak mencipta, seperti halnya matahari tidak berdaya untuk tidak bercahaya. Adanya alam ini adalah keniscayaan yang Tuhan sendiri tidak bisa menghindarinya. Teori emanasi juga lemah karena didasarkan pada kosmologi abad pertengahan yang jelas-jelas terbukti salah berkat penemuan kosmologi modern.
Kelemahan lain dari bukti-bukti rasional itu adalah hadirnya Tuhan sebagai wujud yang jauh, transenden, dingin, cuek, dan tak terjangkau oleh manusia. Argumen tentang keteraturan alam bahkan menjadikan Tuhan sebagai pensiun (deus otiosus) begitu selesai mencipta. Ini memang persoalan etis, namun saya tidak mau mempunyai Tuhan yang tidak bisa saya hubungi lagi.
Lalu bagaimana saya bisa memastikan bahwa adanya Tuhan adalah kenyataan yang sudah terang dan tidak diragukan?
Saya pun dihadapkan pula pada persoalan epistemologis berikut.
Paradoks Akal
Hasil pemikiran akal berbeda-beda pada tiap-tiap orang. Apa yang masuk akal bagi orang tertentu, belum tentu masuk akal bagi orang yang lain. Kita mendapati perbedaan-perbedaan di antara para filosof, termasuk ketika mereka membicarakan hal yang sama. Kaum Muktazilah dan Asy’ariyah berbeda tajam soal sifat kalam al-Quran. Kaum rasionalis bertentangan pendapatnya dengan kaum empirisis mengenai pengetahuan. Dan sebagainya dan sebagainya. Berarti akal itu relatif. Bisakah kita mempercayakan kebenaran kepada yang relatif?
Relatifnya akal itu disebabkan perbedaan tiap-tiap manusia dalam banyak hal, konteks, lingkungan, kebutuhan, buku yang dibaca, dll. Sebelum ini saya mengatakan bahwa pengalaman spiritual selalu mengikuti persepsi akal. Nah, akal itu pun, menurut Arthur Schopenhauer, selalu mengikuti kehendak (will) yang buta dan tak sadar. Ketika akal kita menyelidiki sesuatu, sebenarnya kita digerakkan oleh kehendak untuk menyelidiki sesuatu itu.
Intinya, akal itu tidak obyektif. Ia relatif.
Pukulan berikut lebih telak. Menurut Immanuel Kant, akal mengetahui sesuatu selalu melalui kategori. Ada 12 kategori yang diperkenalkan Immanuel Kant, yang utama di antaranya adalah substansi, kualitas, kuantitas, dan relasi. Karena penangkapan akal selalu sudah terbingkai oleh kategori, maka akal tidak pernah bisa mencapai pengetahuan yang sebenarnya tentang sesuatu itu sendiri (das ding an sich). Akal hanya menangkap fenomena, bukan noumena. Akal di-KO oleh Kant.
Menangkap benda fisik saja akal tak mampu, apalagi benda-benda non-fisik. Apatah lagi Tuhan? Oleh karena itu Kant menyodorkan akal praktis (practical reason) sebagai jaring untuk menangkap Tuhan. Meskipun disebut akal, ia tidak berpikir seperti lazimnya akal murni (pure reason). Akal praktis tidak lain adalah tindakan etis.
Tuhan, menurut Kant, bukanlah kenyataan yang harus ditalar secara logis oleh akal. Tuhan adalah kenyataan yang harus diterima begitu saja.
Pukulan terakhir berikut ini pasti menjengkelkan para penonton. Sudah KO kok masih dipukul. Persoalannya terletak pada bahasa: bisakah pengetahuan diutarakan. Georgias telah mewanti-wanti kita 2½ milenium yang lalu: “Sesungguhnya sesuatu itu tidak ada. Kalaupun ada, ia tidak bisa diketahui. Kalaupun diketahui, ia tidak bisa disampaikan kepada orang lain.” Kenapa tidak bisa disampaikan? Karena sarana kita terbatas. Kita menyampaikan sesuatu kepada orang selalu lewat bahasa, dan tak bisa menghindar darinya.
Sesuatu yang berupa benda fisik lebih mudah dibahasakan. Tetapi sesuatu yang tidak fisik, apalagi di balik yang fisik (metafisik), tidak selalu bisa dibahasakan. Pada zaman dulu, persoalan metafisik umumnya dibicarakan dengan pengandaian bahwa suatu kata diartikan secara sama oleh kedua pihak yang berbicara. Namun apakah bahasa benar-benar mewakili realitas yang ditunjuknya? Apakah kata “batu” benar-benar menunjuk kepada realitas batu itu sendiri atau sebutan saja? Itu baru batu, sesuatu yang memang empiris dan bendanya bisa ditunjuk oleh jari. Bagaimana dengan sesuatu yang non-empiris? Bagaimana membuktikan bahwa kata “Tuhan” itu benar-benar menunjukkan Tuhan itu sendiri? Lagi-lagi, penangkapan akal ternyata hanya baru pada sebutan saja.
Jangan-jangan, desis kaum positivis logis, semua perdebatan tentang Tuhan pada waktu dulu itu omong kosong belaka!
Bahasa dapat pula dipandang sebagai salah satu kategori akal. Akal selalu mengetahui sesuatu lewat bahasa. Bahasa, seperti kategori-kategori yang lain, menghalangi akal untuk sampai pada das ding an sich.
Inilah paradoks itu. Dengan akal manusia menaklukkan dunia. Dengan akal manusia menjelajahi metafisika. Dengan akal manusia mengagungkan akal. Dengan akal manusia meragukan akal. Akal membunuh akal. Akal dibunuh akal. Akal bunuh diri.
Hebat sekali akal manusia! Saya harus tunduk!
Masuk akalkah ketundukan ini? Ataukah semua pernyataan dan pertanyaan ini omong kosong belaka?
Jika akal tidak pernah mencapai pengetahuan yang sebenarnya, berarti terbunuhnya akal pun bisa jadi bukan kejadian sebenarnya!
Lalu Bagaimana?
Pada akhirnya, sepertinya, banyak hal yang terpaksa harus saya terima secara etis. Termasuk mungkin soal keberadaan Tuhan. Tetapi itu adalah pilihan terakhir, setelah didahului kesungguhan berpikir. Saya tidak terima jika pertarungan baru dimulai kita langsung mengeluarkan aji pamungkas berupa akal praktis. Cara beragama semacam yang didoktrinkan tokoh-tokoh Kristen itu merugikan bagi usaha-usaha pencarian kebenaran. Hal itu mungkin dimaksudkan untuk menyelamatkan umat dari pengingkaran terhadap agama (sekular). Jika dalam beragama berpikir dilarang, tetapi dalam kehidupan sosial dan ilmiah dianjurkan, yang terjadi kemudian adalah cara berpikir yang terbelah. Dan itu sama dengan keluar dari sekularisme masuk ke sekularisme bentuk lain. Di Barat, baik yang beriman dahulu maupun yang berpikir dahulu keduanya sama-sama sekular. Bedanya yang satu beragama yang lain tidak beragama.
Tetapi saya masih penasaran. Akal saya belum mentok. Saya masih ingin menemukan argumen yang benar-benar memuaskan secara rasional. Argumen yang tersedia saat ini tentang adanya Tuhan mungkin begitu lemah. Tetapi itu tidak lantas memberikan kesimpulan sebaliknya. Argumen tidak adanya Tuhan juga lemah, dan umumnya hanya merupakan tanggapan balik terhadap argumen adanya Tuhan. Ada satu argumen yang bernada positif, misalnya seperti dinyatakan Feuerbach dan Freud, bahwa Tuhan hanyalah hasil proyeksi manusia. Ia hanya ada dalam pikiran manusia. Bukan Tuhan yang menciptakan manusia, melainkan manusialah yang menciptakan Tuhan.
Bagaimana membantah pernyataan ini? Mari kita ikuti lebih lanjut.
Analisis Kebutuhan Manusia
Kalau Tuhan adalah hasil proyeksi manusia, berarti manusia membutuhkan Tuhan. Kalau manusia membutuhkan Tuhan, berarti Tuhan itu ada. Lho?
Ya, begitulah. Tidak mungkin manusia mempunyai kebutuhan akan sesuatu, sedang sesuatu yang dibutuhkannya itu tidak ada. Itu sama saja dengan membunuh manusia. Sama seperti halnya kalau manusia membutuhkan makanan, makanan itu ada (tentu harus dicari dulu). Manusia membutuhkan pakaian, pakaian itu ada. Manusia membutuhkan kasih sayang, kasih sayang itu ada (padahal ini abstrak, hanya bisa dirasakan). Manusia membutuhkan harga diri, harga diri itu ada. Manusia membutuhkan aktualisasi diri, aktualisasi diri itu ada. Manusia membutuhkan Tuhan, maka Tuhan pun berarti ada.
Ini bukan hubungan sebab akibat, yang satu menimbulkan yang lain. Tetapi jika manusia membutuhkan sesuatu, hal ini hanya bermakna jika kebutuhan itu mungkin dipenuhi, karena sesuatu yang menjadi kebutuhan itu sudah tersedia sebelumnya. Seandainya tidak ada makanan di dunia ini, tidak mungkin manusia membutuhkan makanan. Seandainya tidak ada pakaian di dunia ini, tidak mungkin manusia membutuhkan pakaian. Seandainya Tuhan tidak ada, tidak mungkin manusia membutuhkan Tuhan. Kalau ada Tuhan itu hanya proyeksi, bukan kenyataan, berarti kebutuhan sebenarnya tidak pernah terpuaskan. Kalau manusia lapar dan makanan itu hanya dibayangkan, sampai kapanpun ia tidak akan kenyang. Matilah ia.
Menurut saya ini argumen yang rasional. Sebelumnya ada satu pertanyaan yang harus dijawab terlebih dahulu: Benarkah manusia membutuhkan Tuhan? Kita bisa melihatnya melalui fakta historis bahwa selama ribuan tahun manusia telah hidup dengan gagasan tentang adanya Tuhan. Manusia tidur dan terjaga, dan Tuhan masih ada di sisinya. Sekarang Tuhan telah mati, kata Zarathustra, kita yang membunuhnya. Kita bisa dan harus hidup tanpa Tuhan. Kalau hanya butuh nilai, mari kita buat sendiri.
Yeah, terserah sih. Tetapi bisakah kita memberikan nilai pada hidup orang yang selalu berbuat baik tetapi selalu diperlakukan jahat, kalau Tuhan tidak ada? Bagaimana rasanya dikhianati teman yang selama ini selalu kita perlakukan baik? Kaum anti-Tuhan itu barangkali tidak pernah mengalami hal-hal demikian.
Meski saya menganggap argumen rasional adanya Tuhan lebih kuat dibanding argumen sebaliknya, buru-buru harus saya akui bahwa pemihakan saya akan adanya Tuhan tetap tidak luput dari harapan tertentu, yaitu bahwa saya membutuhkan penjelasan mengenai banyak hal yang tanpa-Nya tidak akan terjawab, misalnya soal keterciptaan alam dan soal makna hidup manusia. Ada sifat pragmatis atau etis di sini. Saya membutuhkan penjelasan. Penjelasan itu ada.
Fakta adanya kebutuhan menunjukkan dua hal, obyek yang dibutuhkan dan instansi yang membutuhkan. Dua-duanya harus ada. Dalam kebutuhan akan makanan, yang menjadi obyek adalah makanan dan instansi yang membutuhkan adalah tubuh atau jasad fisik manusia. Dalam kebutuhan akan kasih sayang, obyeknya adalah kasih sayang dan instansinya adalah perasaan. Dalam kebutuhan akan pengetahuan, obyeknya adalah pengetahuan dan instansinya adalah akal. Dalam kebutuhan akan Tuhan, obyeknya adalah Tuhan dan instansinya adalah hati (qalb, intuisi).
Saya yakin Tuhan masih terlibat dalam perubahan-perubahan yang terjadi di dunia. Kalau Tuhan pensiun, bagaimana doa saya akan dikabulkan? Tetapi akan lucu jika keterlibatan Tuhan itu dibayangkan dalam bentuk bencana tsunami, gempa bumi, ledakan gunung api, jatuhnya komet atau gerhana. Dalam kejadian-kejadian di alam fisik, Tuhan sudah berhenti dan menyerahkan sepenuhnya pada hukum alam. Keterlibatan Tuhan dalam dunia adalah lewat manusia, yang di dalam dirinya ada instansi hati dan akal. Tuhan berperan dalam perubahan pikiran-pikiran manusia. Manusia berpikir, membaca, merenung, berkontemplasi, dan manusia mendapat ide, gagasan, ilham, wahyu. Lalu manusia membuat sejarahnya sendiri.
Dari analisis tentang kebutuhan manusia, saya berpendapat bahwa cara terdekat untuk sampai pada Tuhan adalah lewat manusia itu sendiri. Tuhan bisa dikenali dari pikiran manusia. Manusia mengenal dirinya, maka manusia mengenal Tuhannya. Bukan berarti Tuhan tidak bisa dikenali lewat alam, tetapi jalan lebih dekat adalah manusia itu sendiri. Lebih lanjut, manusia adalah satu-satunya ciptaan yang memiliki akses langsung ke alam ketuhanan karena ada unsur ilahiah dalam dirinya, yakni akal dan hati.
Dari mana saya mengetahui hal ini? Dari Tuhan! Saya berpikir dan membaca, lalu saya mendapat ilham. Tulisan ini hadir juga karena ilham. Dengan inilah saya mengubah hidup dan menyejarah. Dengan pikiran, saya bisa patuh atau tidak patuh pada aturan alam, juga aturan yang ada pada diri saya. Maka saya bebas. Maka saya berubah. Maka dunia pun berubah, lewat saya dan juga manusia-manusia lain. Tuhan tidak memberikan akal dan hati kepada alam. Maka alam tidak bisa berhubungan lagi dengan Tuhan, dan Tuhan pun tidak mau mencampuri alam. Tuhan telah meletakkan hukum pasti pada alam. Maka alam tidak bisa untuk tidak patuh. Ia tidak bebas. Ia tidak berubah. Itulah takdirnya. Determinasi ini memungkinkan manusia memahami alam. Merumuskannya dalam angka. Menaklukkannya. Mengubahnya. Merusaknya. Memperbaikinya.
Orang-orang positivis logis pasti akan menertawakan ini. What’s nonsens? Ngomong apa si luh? (Kebetulan penerjemahnya orang Betawi). Biarin. Toh mereka juga bicara dengan bahasa. Mereka menulis buku filsafat yang abstrak itu juga dengan bahasa. Sekilas, kaum positivis itu tampak seperti orang songong (lebih parah dari sombong). Tetapi di balik itu mereka orang yang rendah hati, rendah hati untuk mengakui keterbatasan kemampuan manusia.
Tetapi sampai saat ini saya masih berpegang pada akal. Lepas dari kelemahan-kelemahannya, akal adalah instansi terbaik untuk mencapai pengetahuan. Indera juga baik, tetapi mudah tertipu. Hati atau intuisi selalu menyesuaikan diri dengan persepsi akal, seperti tampak pada pengalaman spiritual. Betulkah demikian? Sialnya saya telah menegasi pengalaman spiritual sebagai bukti kebenaran agama. Tetapi sebetulnya saya belum melakukan falsifikasi atas pernyataan di atas. Saya belum memeriksa seluruh pengalaman spiritual yang dialami manusia. Satu saja saya menemukan pengalaman spiritual yang bertentangan dengan akal, maka pernyataan ‘semua pengalaman spiritual selalu menyesuaikan diri dengan akal’ bisa dikategorikan tidak benar.
Ini menjadi peer bagi saya. Tetapi kita juga punya cara terakhir jika akal sudah sampai di batas: ambil saja pilihan etis. Aneh sekali pilihan etis itu. Instansinya tidak jelas. Ia jadi tahap pertama ketika akal belum digunakan, sekaligus tahap terakhir ketika akal sudah mentok.
Bagaimana pun, manusia memang tidak mungkin mencapai pengetahuan yang sebenarnya. Manusia relatif. Tapi bukan berarti kita harus berputus asa. Dalam hal ini saya berpegang pada kearifan tradisional yang menyatakan bahwa tugas kita hanyalah mendekati Kebenaran, bukan mencapainya.
***
Inilah yang saya rasakan hingga akhir penulisan esai ini. Lepas dari persoalan epistemologi yang pelik itu, saya tetap meyakini bahwa di antara berbagai agama, Islam adalah yang paling rasional, dan karena itu paling benar. Soal adanya Tuhan, kalau argumen-argumen yang ada dianggap tidak mencukupi, bolehlah kita akui sebagai pilihan etis. Tetapi Islam tetap pilihan rasional.
Saya menyadari tidak ada agama yang sepenuhnya rasional. Islam pun demikian. Saya memang belum memeriksa semua agama yang ada di dunia. Sangat mungkin jika satu ketika saya menemukan ajaran yang lebih rasional daripada Islam, saya akan berpindah ke ajaran itu. Tetapi Islam adalah final, untuk saat ini.
Masih banyak memang yang belum terpecahkan. Tapi pergulatan belum selesai. Saya masih berpikir. Saya masih akan dapat ilham. Saya masih akan berubah. Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan, sebelum pada akhirnya kita menyerah. (Chairil Anwar, Derai-derai Cemara)
***
Persoalan selanjutnya berkisar di wilayah agama saya sendiri, yakni soal penafsiran atas sumber-sumber Islam (al-Quran dan hadis). Saya mendapati banyak model penafsiran yang kemudian menimbulkan pendapat dan cara beragama yang berbeda-beda. Bagaimana menentukan yang benar? Saya mencari Islam menurut Allah. Tetapi saya yang relatif ini tidak mungkin mampu mencapai Allah Yang Mutlak, kecuali Dia sendiri mau memberitahukannya langsung kepada saya.
Persoalan di dalam Islam ini sebetulnya lebih dahulu menghinggapi pemikiran saya sebelum persoalan yang ditulis dalam esai ini. Tetapi saya menganggap yang ada di esai ini lebih penting untuk dipecahkan. Suatu saat saya pun akan mencoba menjawab persoalan kedua, tetapi tidak sekarang karena judul tulisan ini mengingatkan saya agar berhenti sampai di sini.
Wallahu A’lam. []
Referensi Utama:
Al-Faruqi, Ismail Raji, Tauhid, penerjemah Rahmani Astuti, Bandung: Pustaka, cet.2, 1995
Amstrong, Karen, Sejarah Tuhan, penerjemah Zaimul Am, Bandung: Mizan, cet.VI, 2003
Bucaille, Maurice, Dr, Bibel Quran dan Sains Modern, penerjemah H.M. Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang, cet.12, 1996
HMI, Nilai-nilai Dasar Perjuangan, Hasil Kongres HMI, 2003
Soroush, Abdul Karim, Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, penerjemah Abdullah Ali, Bandung: Mizan, 2002