4 brewok dari goa sanggreng

Tahun lalu saya membaca kembali serial cerita silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Setelah mengumpulkan hampir semua judul Wiro Sableng (bisa diunduh di SINI), saya bermaksud membaca kembali semuanya.

Saya pertama kali membaca Wiro Sableng saat kelas 5 atau 6 SD, tahun 90-an awal. Kalau tidak salah, cerita yang saya baca berjudul Rahasia Lukisan Telanjang. Setelah itu membaca cerita-cerita lainnya, tapi bersifat acak, tidak berdasar urutan tertentu.

Saya berhenti membaca Wiro Sableng saat SMA, ketika ceritanya mulai tidak jelas di serial negeri Latahansilam. Biasanya satu buku selesai ceritanya, ini bersambung terus. Dan kebetulan saat itu saya sudah beranjak ke cerita Kho Ping Hoo yang menurut saya ceritanya lebih seru dan berbobot.

Kali ini saya ingin mengenang kembali kisah petualangan Wiro Sableng dalam memberantas kejahatan di dunia persilatan. Dari semua buku yang berhasil saya kumpulkan, ternyata lebih banyak yang belum saya baca.

Buku pertama Wiro Sableng berjudul 4 Brewok dari Goa Sanggreng. Ceritanya tidak selesai di satu buku, tapi bersambung ke buku kedua (Maut Bernyanyi di Pajajaran) dan selesai di buku ketiga (Dendam Orang-orang Sakti). Cerita dimulai dari terbunuhnya kedua orangtua Wiro sampai Wiro Sableng berhasil membalaskan dendam kematian orangtuanya.

Mulai buku keempat, ceritanya sudah lain lagi.

Nah, kesan saya setelah membaca tiga buku pertama Wiro Sableng adalah sbb:

  • Di buku pertama sepertinya Wiro telah kehilangan keperjakaan. Dia digambarkan bercinta dengan Nilamsuri anak dari Kalingundil di sebuah dangau di sawah. Namun sepertinya Bastian Tito lupa adegan ini, karena jauh di masa depan, ketika diharuskan bercinta dengan Ratu Duyung, Wiro digambarkan masih perjaka.

wiro tak perjaka

  • Wiro Sableng digambarkan terlalu OP (over power) di awal kemunculannya, padahal usianya baru 17 tahun dan belum punya pengalaman bertarung. Dengan mudah dia mengalahkan guru dari 4 brewok, membunuh Mahisa Birawa pembunuh kedua orangtuanya, bahkan masih unggul jauh ketika dikeroyok oleh lima orang sakti generasi tua yang satu di antaranya merupakan guru dari Mahisa Birawa. Belakangan, setelah menulis belasan judul, dan terutama setelah kemunculan Pangeran Matahari, Bastian Tito menyeimbangkan kekuatan Wiro dengan musuh-musuhnya.
  • Bastian Tito terlalu sedikit dalam mengestimasi jumlah pasukan kerajaan. Jumlah pasukan kerajaan Pajajaran hanya ditulis dua ribu orang, sedangkan pasukan pemberontak hanya seribu orang. Dengan jumlah segitu, yang terbayang hanya seperti tawuran antar kampung di zaman sekarang.

Apa pun itu, Wiro Sableng tetaplah akan saya kenang sebagai cerita seru yang telah mengisi masa-masa remaja saya. Hormat untuk Bastian Tito. [Asso]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *