Izrail, malaikat maut itu, ternyata bisa juga jatuh cinta.
Begini ceritanya:
Konon. Setiap kali mencabut nyawa manusia, Izrail akan merasakan sedikit hawa manusia merembes ke dalam dirinya. Pada umumnya pengaruh tersebut lekas terbuyarkan oleh hawa maut yang mengendap dalam diri Izrail. Namun ada satu roh yang auranya awet melekati Izrail, yaitu roh Qais al-Majnun, Qais Si Gila yang tergila-gila pada Layla.
Qais sedang meratap di pusara Layla saat Izrail mendekat. Meski kedatangan Izrail jelas-jelas hendak mencabut nyawa, tak sedikit pun Qais menaruh perhatian atau terusik oleh hawa maut sang malaikat. Bahkan saat rohnya direnggut dari badannya, lelaki gila itu masih saja menzikirkan Layla. Pun ketika roh itu dibawa terbang ke langit, tak henti-hentinya ia melirihkan nama Layla.
Izrail tersinggung dan merasa terhina oleh sikap tak acuh Qais. Maka ia membentak, “Sompret, berhenti kau merengek!”
Namun Qais terus merintihkan Layla.
Izrail jengkel. Setelah dipelintirnya leher Qais, barulah pemuda itu menoleh.
“Eh, rupanya engkau, Izrail,” ucapnya datar.
Izrail terkejut, namun terutama ia merasa heran. “Kau tak takut padaku?” ucapnya.
“Takut padamu? Kenapa harus begitu?”
“Karena aku sangat…, sangat menyeramkan!”
“Kau bilang dirimu menyeramkan? Hahaha, menurutku kau justru sangat menyedihkan. Menyedihkan dan patut dikasihani.”
“Menyedihkan? Apanya pada diriku yang menyedihkan?”
“Dengan rupamu yang ancur itu, tentu tak satu makhluk pun yang mau berdekatan denganmu, tak satu pun yang mau menjadi temanmu, apalagi mencintaimu. Kubayangkan, kau tentu sangat kesepian. Lalu kau terpaksa memasang sikap galak untuk menyembunyikan kesepianmu. Bukankah itu sangat menyedihkan?”
Izrail terdiam. Bagaimana pun ia makhluk yang berakal, meski di antara para malaikat, barangkali akalnya terbilang paling dangkal. Ia mengerti apa yang diucapkan Qais, dan meresapinya sebagai pengetahuan anyar.
“Hei, kok malah bengong?” sentak Qais.
“Sialan kau. Memangnya aku manusia, yang butuh cinta dan mesti kesepian?”
“Hehehe, ya sudah. Sekarang lekas bawa aku ke tempat peristirahatan Layla.”
“Wah, itu tidak bisa.”
“Tidak bisa?”
“Bagaimana pun kau harus ikut pengadilan akhirat.”
“Tapi ia kekasihku. Kekasihku dunia akhirat.”
“Hahaha…, Qais malang, Qais majnun yang malang. Di dunia, kekasihmu direbut orang, ditinggal mati pula, hahaha…. Di akhirat, sudah tentu semuanya bergantung amal perbuatan.”
“Apa tidak bisa diatur supaya tempatku berdekatan dengan Layla?”
“Mau nyogok ya? Hahaha…”
“Layla, oh Layla…”
Pengaruh yang dipancarkan Qais tidak lain adalah hawa cinta. Ketika roh Qais sudah ditaruh di alam barzakh (tidak diketahui apakah dekat dengan Layla atau tidak), dan Izrail sudah kembali ke kamarnya, perlahan-lahan hawa cinta Qais menyurut dan Izrail merasakan hawa aslinya kembali menyala. Namun tanpa ia sadari, hawa cinta itu sebenarnya sudah merasuk ke dalam bawah sadarnya.
Begitulah. Hingga suatu ketika, tanpa dapat dicegah, Izrail jatuh cinta kepada seorang manusia.
Begini ceritanya:
Seperti biasa setelah mencabut nyawa seorang manusia, Izrail akan melapor kepada atasannya. Setelah itu ia akan diberikan tugas baru mencabut nyawa manusia lain. Untuk melancarkan tugasnya, Izrail dibekali data-data korbannya selengkap mungkin, meliputi nama resmi, nama samaran, nama panggilan, foto dalam berbagai pose dan ukuran, alamat, nomor HP dan email (kalau ada), pendidikan, pekerjaan, sejarah hidupnya, hingga sejarah ringkas orang-orang yang terkait dengannya.
Sekali itu, tatkala melihat paras manusia yang menjadi target berikutnya, kebetulan seorang perempuan, seketika Izrail jatuh cinta. Izrail jadi heran sendiri sebab tidak pernah ia merasakan hal ini sebelumnya. Tapi perasaan itu bergolak tanpa bisa ia redam. Maka, tidak seperti biasanya, Izrail lekas-lekas turun ke bumi agar bisa melihat dan memperhatikan perempuan itu lebih dekat. Izrail tidak hendak mencabut roh si perempuan lebih cepat dari jadwal; ini tidak pernah terlintas di pikirannya. Pun ia tidak akan berkelit dari tugasnya mencabut roh manusia itu meski ia cinta. Ini lebih-lebih tidak mungkin, sebab malaikat telah diprogram untuk selalu patuh pada perintah Tuhan.
Perempuan seperti apa yang bisa dijatuhi cinta oleh Izrail sang malaikat maut?
Tentang Izrail sendiri, mengingat ia adalah malaikat maut, dan malaikat maut kerjanya membunuh, tentu sulit diharapkan ia memiliki paras yang bagus. Tapi seperti apa rupa yang tidak bagus itu, tak ada yang mampu melukiskan. Sebab meski milyaran manusia telah bertemu dengan Izrail sejak zaman batu hingga abad posmodern sekarang ini, tak seorang pun di antara mereka yang masih hidup untuk ditanyai. Memang ada sejumlah riwayat, cerita, bahkan film, yang berupaya mengilustrasikan wujud malaikat maut, tapi kebanyakan tak lebih dari khayalan belaka sehingga sulit menyaring model mana yang dapat dipercaya. Pendeknya, seseram dan semengerikan apa pun gambaran yang sempat diperikan orang tentang malaikat maut, pastilah itu bukan Izrail, sebab ia lebih menyeramkan dan lebih mengerikan daripada itu.
Yang jelas, Izrail adalah sosok yang dengannya setiap makhluk tak ingin berjumpa. Hal ini, konon, karena sosoknya menebar aura kematian yang bisa tercium dari jarak tak terhingga, khususnya oleh orang yang telah dekat dengan takdirnya. Bahkan makhluk-makhluk langit seperti para malaikat, bidadari, dan penghuni surga, yang keabadiannya dijamin oleh Tuhan sampai kiamat, pun akan lekas menyingkir jika Izrail melintas di dekat mereka.
Jika Izrail sosoknya semenakutkan itu, bagaimana pula rupa perempuan yang diinginkannya?
Begini:
Saat Izrail melihat nama dan parasnya dan jatuh cinta, perempuan itu masih berada dalam kandungan ibunya. Ibunya adalah seorang pelajar SMA di sebuah kota, dan ayahnya adalah pacar sekaligus teman satu sekolah dari gadis itu.
Terang, kehamilan anak itu berada di luar rencana kedua orangtua biologisnya.
Ketika mengetahui dirinya hamil, ibu si janin perempuan terguncang. Ia masih SMA, masa depan masih panjang. Kalau ketahuan hamil, tentu ia akan didepak dari sekolah. Orangtuanya akan mendapat malu, dan mending kalau mereka masih bisa pindah ke luar kota yang jauh.
Ketika hal itu diberitahukan kepada pacarnya, pemuda itu kaget juga. Mulanya ia berjanji akan bertanggung jawab. Namun ketika beberapa minggu kemudian perut si gadis mulai jelas menggembung, ia berubah pikiran. Malah dengan sangat pengecut ia menyebarkan isu bahwa pacarnya sering berselingkuh dengan laki-laki lain.
Betapa sakit hati si gadis. Mumpung aibnya belum tersebar, ia pun berusaha menggugurkan kandungannya. Mula-mula ia melakukannya secara privat. Diam-diam ia jadi sering melompat-lompat sendirian di kamarnya, memijat-mijat perutnya dengan keras, menyemprot rahimnya dengan air kran, sampai minum obat-obatan pencahar. Namun semua usaha itu gagal. Malah ia mengalami pendarahan hebat lalu dibawa ke dokter dan tahulah kedua orangtuanya bahwa ia telah hamil.
Orangtuanya murka. Namun tak lebih dari itu, karena mereka kemudian jadi sadar dan memahami betapa perih penderitaan yang dialami putrinya. Maka mereka membolehkan anaknya tetap di rumah dan tidak usah masuk sekolah.
Meskipun demikian, si gadis merasa penderitaannya hanya bisa ditebus dengan nyawa. Ia pun mencoba bunuh diri dengan berbagai cara, namun semuanya berujung pada rasa sakit belaka.
Akhirnya anak yang tidak diharapkan itu pun muncul ke dunia. Si ibu muda yang tak siap memelihara anak, pada suatu petang membuang bayinya ke tempat pembuangan sampah di pinggiran kota.
Semalam suntuk bayi berjenis kelamin perempuan itu tergolek di antara tumpukan sampah. Namun ia tidak mati meski nyamuk dan lalat mengerubutinya hingga pagi, sebab ia telah ditakdirkan baru akan dicabut nyawanya oleh Izrail bertahun-tahun kemudian. Esok harinya, bayi itu ditemukan oleh seorang pemulung. Pemulung itu rupanya seorang yang berpenciuman bisnis tajam. Benda serongsok apa pun di tangannya bisa jadi uang. Dipungutnya bayi itu, dibawanya pulang lalu dijual kepada temannya yang bekerja sebagai pengemis.
Pengemis itu, yang juga pintar berbisnis, memelihara beberapa anak yang semuanya disuruh menjadi pengemis. Ia sendiri setiap hari mencari nafkah di emperan pasar bermodalkan borok bajakan di kakinya. Pikirnya, bayi mengenaskan itu bisa menjadi tambahan modal buat menguras nurani pemilik uang. Maka dibawalah bayi itu ke emperan pasar, digeletakkan begitu saja di depan kakinya. Bayi itu hanya dibungkus selimut tipis yang kumal. Mulutnya disumpal dengan sebotol air bekas cucian beras. Dibiarkannya lalat-lalat merubungi kulit si bayi.
Setiap hari bayi itu dibawa mengemis oleh induk semangnya. Meski asupan yang masuk ke perutnya tak ada yang bermutu, bayi perempuan itu ternyata mampu bertahan dari segala kekejaman dunia. Namun perkembangan jasmaninya buruk sekali bagai anak beringin dililiti kawat besi. Apalagi sejak masih dalam kandungan, ia sudah diguncang dengan berbagai siksaan dan pukulan. Ketika lahir, nyata terlihat banyak yang tidak lazim pada tampilan fisiknya. Bagian kiri dan kanan tubuhnya tidak simetris. Kepalanya dempek, terlihat lonjong ke samping, sebelah kanan agak mencendul dan lebih besar daripada bagian kiri. Bibirnya sumbing di tiga sisi. Dari ujung bibir itu tak henti-hentinya air liur mengilar. Giginya, ketika sudah tumbuh semua, malang-melintang tak karuan dengan gingsul di mana-mana. Lidahnya pendek dan agak tertekuk ke dalam sehingga ketika sudah besar pun tak ada kata yang dapat diucapkannya dengan utuh. Cuping hidungnya lebar dan bulat, dengan kedua lubang seolah menghadap ke atas sehingga air hujan pun tampaknya dapat ditadah. Telinganya sebelah kanan mengkeret seperti karet terbakar. Telinga itu hanya mendengar setengah tuli.
Bagian lain dari tubuhnya pun tidak normal. Kulitnya di beberapa bagian sangat tebal seperti kikil sapi tapi di bagian-bagian yang lain sangat tipis sehingga disentuh sedikit saja seolah akan pecah. Tangannya sebelah kanan terkatung-katung seperti mempunyai empat siku. Beberapa tulang iganya bengkok ke arah yang salah. Kedua kakinya melengkung ke luar, sehingga kalau ia berdiri, orang bisa memasukkan bola basket di antara dua lututnya.
Pendeknya, anak perempuan itu lebih mirip barang rongsokan ketimbang manusia sungguhan. Tapi justru keadaannya semacam itulah yang menyelamatkannya dari kematian lewat insting terlatih si pemulung dan si pengemis.
Anak perempuan itu tidak diberi nama oleh ayah angkatnya. Sehari-hari, ia hanya dipanggil dengan sebutan anak rongsokan. Namun dalam catatan yang diperoleh Izrail, nama anak itu adalah Layla.
Bertahun-tahun Layla dipelihara oleh si pengemis. Ketika sudah bisa berjalan, ia pun dilepas untuk mengemis secara mandiri. Hasilnya disetorkan kepada induk semangnya.
Pada suatu hari di tahun keempat, Layla meronta-ronta saat hendak diajak ke pasar oleh si bapak angkat. Ia bahkan menutup pintu rumah, mengisyaratkan agar bapak angkat jangan berangkat. Namun gembong pengemis itu tak paham. Sembari bersungut-sungut, ia malah mengikat Layla di tiang dapur, lalu keluar bersama anak-anak asuhnya yang lain.
Hingga malam Layla masih terikat di tiang. Menjelang pagi, anak-anak pengemis itu berdatangan, namun tidak si bapak asuh. Anak-anak itu tampak sangat lelah. Rupanya seharian itu mereka habis dikejar-kejar aparat trantib. Mereka berpencaran, dan satu sama lain bertanya tentang nasib orang yang mengurus mereka itu.
“Dia mati,” seorang anak bercerita. “Kulihat dia dipukul tongkat aparat. Dia jatuh, mencoba lari, lalu dipukul lagi.”
“Kamu yakin dia mati?” tanya anak yang lain.
“Entah, tapi kuharap begitu.”
Hingga tiga hari kemudian, induk semang para pengemis itu tidak juga pulang. Yakinlah anak-anak itu bahwa dia memang telah mati. Dan mereka semua bergembira.
Kecuali Layla. Anak ini memang tidak pernah terlihat gembira. Apalagi sejak itu, di usianya yang masih sangat muda, dia harus sendirian menghadapi ganasnya dunia. Dari masih orok dia hanya diajari mengemis, dan itulah yang kemudian dilakukannya. Layla menggelandang di jalan-jalan dan emperan pasar, bersaing dengan anak-anak lain yang lebih besar dan normal. Keadaan Layla semakin mengenaskan sebab kini sama sekali tak ada yang merawatnya atau mencemplungkannya ke kali untuk mandi. Bau busuk menguar dari badannya dalam jarak beberapa meter sehingga semua anak menjauh jika ia mendekat dan orang-orang yang lalu lalang akan menyingkir jika ia lewat. Kalau ada orang yang berbaik hati memberinya uang, mereka akan melemparkan recehan dari kejauhan. Kadang-kadang uang itu tidak menjadi rezeki Layla sebab keburu disambar bocah pengemis lain yang lebih cekatan.
Namun Layla tetap mampu bertahan hidup. Jika sangat lapar, ia bisa memakan apa saja, sering dengan cara mengais-ngais bak sampah, berebutan dengan anjing-anjing buduk mencari sisa-sisa nasi dan tulang-belulang ikan. Anjing-anjing buduk pun jadi tak suka kepadanya.
Meski tidak disukai, Layla sendiri kiranya sangat baik kepada orang-orang lain. Ia tak pernah marah kepada anak yang merebut uangnya. Hatinya pun sangat peka dan perasa. Jika ada anak pengemis yang kelaparan, Layla rela membagi makanan di tangannya dengan anak itu. Begitu pun jika ia mendapat makanan berlebih, ia akan melemparkan makanan itu kepada anjing-anjing yang ditemuinya.
Namun tetap saja tak ada yang mau berdekatan dengannya.
Kepekaan hati Layla rupanya merembet kepada hal-hal yang gaib. Suatu kali ia menarik-narik tangan seorang anak lelaki seraya menangis mencucurkan air mata, memberikan isyarat agar anak itu jangan pergi ke suatu tempat. Namun anak itu, yang merasa jijik dan tak mengerti isyarat Layla, menepis tangan Layla dan segera berlari ke tepi jalan di mana ada sebuah mobil yang sedang membagi-bagikan uang.
Tapi sebelum sampai di tempat yang dituju, si bocah terpeleset kulit pisang dan terjengkang di atas beton dengan baton kepala rengkah. Selagi meregang nyawa, dia sempat berkata kepada teman-teman yang mengerubunginya, “Anak rongsokan itu…, dia tahu aku akan mati!”
Anak-anak pengemis itu ada yang percaya ada pula yang ragu. Beberapa anak segera teringat kejadian sebelum gembong pengemis mati dipukul aparat. Hal ini membuat Layla kian dijauhi. Layla dianggap anak sial yang membawa kematian. Ketika isyarat kematian dari Layla terbukti pula pada dua anak lainnya, para pengemis itu segera menghampiri Layla, memukulinya, dan mengusirnya.
“Enyah kamu dari sini!”
“Kau membunuh tiga teman kami!”
“Pergi!”
Dengan wajah muram, pergilah Layla sekenanya ke arah pinggiran kota. Di sepanjang jalan, beberapa kali ia melihat tanda kematian pada orang-orang yang berpapasan dengannya. Hal ini membuat hatinya tambah guram. Pernah ia menghalang-halangi seseorang yang hendak menyeberang jalan dari sebuah halte. Orang itu mencoba memutar langkah, namun Layla tetap berada di depannya dengan kedua tangan terentang. Orang itu jadi kesal, apalagi badan Layla sangat menjijikkan dan bau, maka ditendangnya Layla hingga terbanting di trotoar. Laki-laki itu tetap menyeberang jalan dan tiba-tiba sebuah mobil berkecepatan tinggi membentur tubuhnya hingga ia terpelanting dan mati seketika. Orang-orang yang menyaksikan kejadian itu bergidik. Bergidik melihat si mayat dan menjengit melihat Layla.
Suatu hari, sampailah Layla di tempat pembuangan sampah. Di situ banyak juga anak-anak sebaya dirinya mengais-ngais sesuatu yang dikira berharga di antara tumpukan sampah. Ia pun bergabung dengan anak-anak itu, melakukan seperti apa yang mereka lakukan.
Melihat Layla datang, anak-anak pemulung itu sama menyingkir dan mengais-ngais di gundukan yang lain.
Layla tertegun. Namun ia tetap meneruskan pekerjaannya.
Tak berapa lama Layla merasa ada dua orang mendatangi dari arah samping dan memperhatikannya lekat-lekat. Ia menoleh. Dua orang itu tidak dikenalnya.
“Haha…, benar,” terdengar yang lelaki berucap. “Ini anak yang dahulu kupungut dari tempat ini.”
“Rupanya panjang umur juga dia,” timpal yang perempuan. Mungkin istrinya.
Telinga Layla agak tuli dan otaknya terlalu cetek untuk mencerna ucapan itu. Namun ia merasakan sesuatu yang menyedihkan mengalir naik dari dasar hatinya, membuat air matanya tiba-tiba merembes.
“Anak ini nangis.”
“Hmm, coba kita bawa pada perempuan gila di ujung sana itu.”
Perempuan gila itu berdiri di satu sudut tempat pembuangan sampah. Pandang matanya tertancap pada sebuah tumpukan sampah yang telah terurai. Setiap hari, perempuan itu mengurai satu tumpukan sampah, menatapnya, menumpuknya lagi, menatapnya, mengurainya lagi, menatapnya. Setiap kali menatap, dari matanya menitik air bening. Beberapa kali terdengar ia menggumam dan menjerit lirih.
“Anakku, di mana kau? Kau di mana? Anakku, maafkan ibumu. Kemarilah, nak, ibu ingin menyusuimu.”
Si pemulung menyeret badan Layla dan melemparkannya ke tumpukan sampah di depan perempuan gila. “Tuh, anakmu!” serunya.
Terbeliak mata perempuan gila. Dihampirinya Layla yang tertegun. Keduanya saling menatap.
“Anakku?”
Air mata perempuan gila kini mengucur deras. Dia meraih tubuh kecil Layla, mendekapnya, menciuminya.
“Kau anakku. Benar, kau anakku…”
Pada tubuh perempuan ini, Layla segera mencium hawa bekas-bekas kematian. Tampaknya sudah berkali-kali wanita itu didekati maut, namun urung. Kasihan wanita ini, bisik hatinya, tak sadar bahwa dirinya pun lebih dari pantas untuk dikasihani. Layla pun menangis. Seumur hidupnya, baru kali inilah ada orang yang berani mendekatinya, mendekatinya tanpa niat jahat, mendekatinya dengan pancaran aura cinta.
Perempuan itu memang ibu yang telah melahirkan Layla.
Tapi bagaimana ia bisa menjadi gila?
Peristiwa ini pun ada dalam catatan Izrail. Ibu Layla sebenarnya tidak akan dicabut nyawanya oleh Izrail yang kita ceritakan ini, melainkan oleh malaikat maut yang lain. Namun karena ibu Layla berkaitan erat dengan Layla, ada juga disinggung sejarahnya walau serba sekilas.
Begini:
Sejak membuang bayinya ke tempat sampah, ibu Layla didera rasa bersalah yang berkepanjangan. Bagaimana pun dia berasal dari keluarga baik-baik yang masih berpegang pada norma-norma sosial dan agama. Memang, hanya keluarga baik-baik yang akan sangat terpukul dan terkadang menjadi berantakan begitu anak gadis dalam keluarga itu hamil di luar pernikahan.
Seperti telah diceritakan, sebelumnya ibu Layla berkali-kali melakukan upaya pengguguran kandungan dan percobaan bunuh diri. Walau tidak berhasil, semua usaha itu merusak kesehatannya lahir dan batin. Melihat keadaan ini, ibunya ibu Layla (nenek Layla) menjadi sangat sedih dan ia pun jatuh sakit. Uang simpanan keluarga habis untuk berobat ibu-beranak, namun keadaan ibu Layla maupun nenek Layla tidak kunjung membaik. Malah ibu Layla menjadi gila lalu suatu hari kabur dari rumah.
Ke tempat pembuangan sampah inilah dia menuju. Di tempat ini, dia melakukan hal yang sama setiap harinya: membongkar sebuah tumpukan sampah, lalu memandanginya dan menangis, untuk kemudian menyusunnya dan meruntuhkannya lagi. Sudah bertahun-tahun dia melakukan itu. Dan kini apa yang dicarinya telah ditemukan. Anaknya. Anak yang kepadanya ia telah berdosa.
“Ayo, nak, kita pulang.”
Ibu Layla ternyata masih ingat jalan pulang. Mungkin kedatangan sang anak membuat kegilaannya tiba-tiba menghilang.
Sesampainya di rumah, ayahnya ibu Layla terkejut sekaligus gembira melihat anak perempuannya kembali. Selama ini ia bukannya tak tahu di mana anaknya berada, dan bukannya tak pernah berusaha membujuk si anak pulang. Namun ibu Layla seperti telah memilih jalannya sendiri dan hanya Layla yang akan bisa meluruskannya.
“Siapa itu?” Kakek Layla yang tadinya hendak memeluk ibu Layla merandek menyadari kehadiran si bocah.
“Cucumu,” jawab ibu Layla pendek.
“Anakmu?”
“Lihatlah sendiri. Bukankah ciri-cirinya sama dengan bayi yang dulu kulahirkan?”
Sang ayah memperhatikan Layla, dan mau tak mau ia mesti mengakui anak yang mirip barang rongsokan itu memang cucunya.
“Ayah tidak mau terima anak ini?”
Kakek Layla berpikir beberapa jenak. “Baiklah. Lekas masuk. Bersihkan dirimu dan anak itu. Lalu jumpai ibumu.”
Ternyata nenek Layla telah muncul lebih dulu dari pintu. Tubuhnya sangat kurus sehingga di usianya yang baru separuh baya, ia tampak seperti nenek jompo. Melihat kedatangan anaknya, awalnya ia bereaksi seperti suaminya, ingin merangkul, namun segera tersurut begitu melihat Layla.
“Dia anakku, ibu. Kalau ibu tidak terima dia, biarlah aku pergi.” Suara ibu Layla dingin. Penderitaan batin telah mengajarkannya berbuat demikian.
“Jangan!” Si nenek menjerit dan menubruk anaknya sambil menumpahkan tangis.
Layla disambut di keluarga itu dengan penerimaan yang hanya bisa diberikan oleh mereka yang telah kenyang dengan penderitaan. Ia dimandikan, dipakaikan baju hangat, dan diberi makan yang layak. Setiap hari sang ibu merawatnya dengan ketelatenan orang yang penuh rasa bersalah. Tak berapa lama, badan Layla yang semula kurus berubah sehat dan gemuk, meski itu sama sekali tak mengubah proporsi anggota tubuhnya.
“Siapa namamu, nak?” tanya ibunya satu ketika.
Layla setengah mendengar pertanyaan itu. Maka ia hanya setengah menggeleng.
“Kasihan kau, anakku. Bahkan nama pun engkau tak punya.”
Ibu Layla tersenyum. Tiba-tiba di pikirannya terlintas sebuah nama.
“Kalau begitu ibu akan memanggilmu Layla.”
Data yang dipegang Izrail ternyata tak salah. Anak rongsokan itu pada akhirnya memang bernama Layla.
“Layla. Nama yang cantik, bukan? Tentu kau suka nama itu. Perlambang cinta.”
Ibu Layla tersenyum, lalu tertawa. Demikian pula Layla.
Anak dengan cacat fisik dan mental begitu parah jarang yang berumur panjang. Layla pun bukan kekecualian. Pada awal usia tujuh tahun, kesehatan Layla menurun tajam. Itulah saat-saat di mana Izrail yang tengah kasmaran telah semakin dekat memperhatikan. Jika sebelumnya Izrail hanya memandangi Layla dari kejauhan, kini ia menatap Layla dari kedekatan.
Sejak kecil Layla memiliki keistimewaan berupa kemampuan membaca isyarat kematian pada orang-orang. Penyebabnya tidak lain dari perhatian khusus Izrail yang jatuh cinta kepadanya. Tapi kali ini Layla dapat merasakan bahwa isyarat kematian itu datang pada dirinya. Kendati rohnya yang dipenuhi hawa cinta itu mampu meredam hawa maut Izrail, jasadnya tidak. Maka sering tanpa ia sadari, organ-organ tubuhnya memberikan reaksi-reaksi yang tidak biasanya, dan ini membuat ibunya terkejut. Layla yang biasanya pendiam, tiba-tiba sering menjerit-jerit sendiri tanpa alasan yang jelas. Makanan yang diberikan kepadanya kerap tidak dimakan, bahkan piring makanan itu sering ia tendang sehingga isinya berhamburan mengotori lantai. Air yang diminumnya tak jarang ditumpahkan kembali. Tangannya selalu gemetaran dan tak boleh dipercaya lagi untuk memegang apa pun.
Ibunya cemas. Ketika dokter dipanggil untuk memeriksa, dengan muka menjengit dokter itu berkata, “Tampaknya umur anak ini tak lama lagi.”
Ibunya menjerit. “Sembuhkan dia, dok.”
Dokter menggeleng. “Tuhan Maha Penyayang. Seandainya anak dengan kelainan mental segawat ini diberi umur panjang, tentu masyarakat akan lebih kerepotan.”
Mungkin begitulah cara Tuhan menyayangi manusia, sebagaimana Dia pun tak pernah kehabisan cara untuk berbuat sebaliknya.
Fisik Layla merosot dengan cepat hingga tulang-tulangnya lantas menyeruak. Ibunya mengupayakan berbagai cara untuk menunda kematiannya, namun takdir tak dapat ditolak.
Ketika saatnya tiba, di alam lain, Izrail masuk ke rumah Layla, melangkah ke dalam kamar, dan menghampiri Layla perlahan-lahan. Di depan sang pujaan, ia berlutut dan bersimpuh dengan takzim.
“Layla…,” bisiknya lirih, “akhirnya aku bisa menemuimu.”
“Seharusnya kau datang lebih awal,” tukas roh Layla.
“Maafkan aku. Jadwal tak bisa diubah.”
“Ya sudah. Sekarang cepat bawa aku, Qais.”
“Qais?” Izrail kaget dan celingukan kiri kanan. “Mana dia?”
“Ah, kau selalu begitu.” Roh Layla tersenyum.
“Tapi, siapa yang kau sebut Qais?”
“Kau belum berubah rupanya.” Layla masih tersenyum. “Tapi tak apa-apa. Lekas bawa diriku, sejauh-jauhnya. Kasihan tubuh kecil ini, terlalu lama menanggung beban pada dirinya dan orang-orang sekelilingnya.”
Dengan bingung Izrail mengulurkan tangannya pada Layla. Roh Layla menyambut tangan Izrail dan menggenggamnya. Maka terbanglah keduanya menuju sebuah tempat bertabur cahaya.
Sepanjang jalan Izrail tak habis pikir mengapa dirinya disangka Qais oleh Layla. Qais sialan, umpatnya dalam hati. Rupanya dia pengaruhi aku sebegitu rupa sehingga bukan hanya jiwaku yang dipenuhi cinta, tapi penampilanku pun jadi mirip dia.
Tapi diam-diam Izrail bersyukur kepada Tuhan, sebab kalau wujudnya masih terlihat serupa malaikat maut, tentu Layla kecil akan ketakutan. []