H.B. Jassin (31 Juli 1917 – 11 Maret 2000) adalah salah satu sosok paling berpengaruh dalam sejarah sastra Indonesia. Kepergiannya belum tergantikan hingga kini. Jika kita kerap mendengar teriakan meratapi kekosongan kritik sastra di Indonesia, itu karena ketiadaan Jassin.
Oleh karena itu, ada baiknya kita mengenang kembali apa saja peran H.B. Jassin dalam sastra Indonesia. Peran-peran H.B. Jassin dapat dilihat dari seabrek gelar atau julukan yang pernah disematkan orang-orang atas namanya. Gelar-gelar itu menunjukkan keterlibatannya yang intens di berbagai bidang (yang berkaitan dengan kesusastraan) sekaligus. Pada tiap-tiap bidang Jassin menunjukkan puncak prestasinya.
Dokumentator Sastra Indonesia
H.B. Jassin memulai karirnya dalam sastra sebagai pengumpul dokumen. Ia mendirikan pusat dokumentasi sastra secara pribadi pada tahun 1940. Tentang hal ini ia pernah menulis: “Dari tiap-tiap pengarang mestinya dikumpulkan setiap tulisannya, baik yang berupa buku maupun yang tersebar di mana-mana, sedikitnya diadakan inventarisasi, dikumpulkan pendapat-pendapat mengenai kegiatannya, dikumpulkan data-data mengenai kehidupannya dan sebagainya. Pikiran kita terarah pada pembentukan satu gedung Dokumentasi Kesusastraan, di mana semua keterangan mengenai apa saja yang menyangkut kesusastraan bisa ditemukan” (1967).
Impiannya kemudian terwujud. Pusat dokumentasi sastra yang dibinanya diresmikan menjadi Yayasan Dokumentasi Sastra H.B. Jassin pada tanggal 30 Mei 1977 oleh Gubernur DKI Jakarta (waktu itu) Ali Sadikin. Inilah warisan Jassin yang paling nyata dan berharga. Para peminat dan peneliti sastra Indonesia tak usah repot-repot mencari berbagai data tentang kesusastraan Indonesia. Tinggal datang saja ke Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin di Taman Ismail Marzuki, Cikini.
Penerjemah yang Baik
Jassin mulai menerjemah pada tahun 1941. Ia selalu berusaha menerjemahkan dari bahasa aslinya. Oleh karena itu ia lalu mempelajari banyak bahasa asing, dan yang berhasil dikuasainya adalah bahasa Belanda, Inggris, Prancis, Arab, dan Jerman. Terjemahannya dari karya Multatuli, Max Havelaar (Djambatan, 1972), mengganjarnya dengan Hadiah Martinus Nijhoff dari Prins Bernhard Fonds di Belanda pada tahun 1973. Kontroversi mengiringi Jassin tatkala ia menerjemahkan al-Quran dalam wajah puisi, yakni Al-Quran al-Karim Bacaan Mulia (1978) dan Berita Besar (1984).
Redaktur Abadi Sastra Indonesia
Jassin memulai debut dalam bidang keredaksian pada tahun 1940 sebagai sekretaris di majalah Pujangga Baru pimpinan Sutan Takdir Alisjahbana. Berikutnya ia berganti-ganti sebagai redaktur sastra berbagai majalah dan surat kabar, antara lain Panji Pustaka, Panca Raya, Mimbar Indonesia, Zenith, Kisah, Bahasa dan Budaya, Seni, Buku Kita, Medan Ilmu Pengetahuan, Sastra, Bahasa dan Sastra, dan hingga akhir hidupnya tahun 2000, Jassin masih tercantum sebagai redaktur majalah Horison. Jadi Jassin menjabat pekerjaan redaktur selama 60 tahun! Jabatan ini membuatnya menjadi orang yang paling memahami perjalanan sastra Indonesia. Terlepas dari sejumlah kritik atas pendekatannya, periodesasi sastra Indonesia versi Jassin paling banyak dipakai dan diajarkan di sekolah-sekolah.
Kritikus Terbesar Sastra Indonesia
Di lapangan inilah Jassin paling dikenal publik. Sebagai kritikus sastra, H.B. Jassin memiliki wibawa yang tinggi. Jangkauan kritiknya sangat luas, meliputi semua bentuk karya sastra, hampir semua pengarang Indonesia dari yang paling senior sampai yang paling pemula, hampir semua media massa yang mempunyai rubrik sastra baik yang tergolong media serius maupun pop. Kritik Jassin mungkin kalah ilmiah dibanding kritikus lain macam A Teew, Umar Junus, atau Maman Mahayana. Namun dari segi pengaruh, Jassin tak terbandingkan.
Dalam menilai karya sastra, Jassin lebih mementingkan unsur perasaan daripada pikiran. Kritik sastra yang digunakan Jassin tergolong metode ganzheit, di mana kritikus membaca karya seniman tanpa konsepsi a priori apa pun. Ia membiarkan karya seninya merasuk dan secara merdeka berbicara sendiri, lalu terjadilah dialog, sebuah pertemuan, sebuah interferensi dinamis antara kedua subjek – kritikus dan karya seni – yang hidup dan merdeka itu. Proses refleksi dan analisis terjadi kemudian. Pendekatan Jassin terhadap karya sastra adalah keseluruhan, kemudian analisis bagian-bagian.
Karya-karya Jassin dalam bidang kritik sastra antara lain Angkatan 45 (1952), Tifa Penyair dan Daerahnya (1952), Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei (4 jilid, 1954 dan 1967), Heboh Sastra 1968, Suatu Pertanggungjawaban (1970), Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia (cet.3, 1981), Sastra Indonesia dan Perjuangan Bangsa (1993), dan Koran dan Sastra Indonesia (1994).
Mahaguru Sastrawan Indonesia
Secara formal H.B. Jassin adalah seorang dosen sastra di Universitas Indonesia. Namun jabatan ini saja tidak lantas membuatnya menjadi guru bagi kalangan di luar mahasiswanya. Pekerjaan Jassin sebagai kritikus dan redakturlah yang mengalirkan pengakuan atasnya sebagai guru para sastrawan. Sebagai redaktur, Jassin memiliki otoritas penuh dalam menilai layak-tidaknya suatu karya sastra dimuat di majalahnya. Namun yang terutama ialah karena ia selalu menyediakan waktu untuk membalas berbagai surat berikut kritik-kritik yang disertakannya setiap mengembalikan tulisan. Hal ini tentu sangat menyenangkan bagi para pengarang, terutama yang karyanya dikembalikan.
Karena hampir semua pengarang pernah mendapat nasihatnya, pantaslah jika ia disebut “mahaguru”, “guru besar”, atau “profesor” bagi para sastrawan Indonesia. Tidak kurang dari Pramoedya Ananta Toer, novelis terbesar Indonesia kandidat peraih Nobel, pun mengakui Jassin sebagai guru besarnya, meski keduanya berseberangan pandangan dalam polemik Lekra-Manifes Kebudayaan.
Pembela Sastra Indonesia
Setidaknya bisa disebut tiga kasus berbobot besar yang pernah dibela Jassin. Pertama, tuduhan plagiat terhadap Chairil Anwar dan Hamka; kedua, polemik Lekra-Manifes Kebudayaan; ketiga, heboh cerpen Langit Makin Mendung karya Kipanjikusmin.
Terhadap kasus pertama, Jassin tidak membela secara membuta. Ia pelajari tuduhan-tuduhan itu dengan saksama. Sebagai hasilnya, ia mengakui bahwa beberapa sajak Chairil Anwar adalah plagiat, beberapa lagi adalah saduran. Sementara soal Hamka, ia menyimpulkan bahwa dalam novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck, Hamka terkena pengaruh besar dari al-Manfaluthi.
Dalam polemik Lekra-Manikebu, Jassin membela kebebasan berkreasi para seniman dari intervensi politik. Inti pembelaan yang sama ia tampilkan dalam kasus cerpen Langit Makin Mendung. Cerpen ini dimuat di majalah Sastra tahun 1968, di mana Jassin merupakan redakturnya. Cerpen ini dituduh menghina agama, dan karena H.B. Jassin memuat cerpen tersebut serta melindungi identitas pengarangnya, ia pun digiring menjadi terdakwa di pengadilan. Argumen pokok Jassin adalah bahwa cerpen merupakan wilayah imajinasi, tidak bisa dihakimi dengan kaidah-kaidah agama.
Paus Sastra Indonesia
Seorang pengarang konon belum sah menjadi sastrawan sebelum “dibaptis” oleh H.B. Jassin, dan itulah yang membuat Gayus Siagian menggelarinya Paus Sastra Indonesia. Gelar ini menunjukkan betapa besarnya wibawa dan pengaruh Jassin terhadap kehidupan sastra di negeri kita. Juga betapa tingginya penghormatan para sastrawan atas dirinya.
***
Selain sederet gelar di atas, Jassin juga seorang penanda tangan Manifes Kebudayaan (1963), editor dan penulis kata pengantar untuk sejumlah buku, penasihat sejumlah penerbit, dosen sastra di dalam dan luar negeri, dan penerima Hadiah Seni dari Pemerintah RI atas jasa-jasanya dalam bidang kesenian dan kesusastraan (1984). Kesemua itu membuatnya lebih dari layak untuk menghuni Taman Pahlawan Kalibata Jakarta sebagai kediaman terakhirnya.
Itulah H.B. Jassin. Tak terbayangkan bagaimana rupa sastra Indonesia seandainya ia tak pernah dilahirkan ke dunia. []