pisau terbang li

Si Pisau Terbang Li Sun Hoan, pendekar nomor tiga rimba persilatan, telah menewaskan Siangkoan Kim Hong, jago urutan kedua. Sebelumnya, Kim Hong telah membunuh Thianki Lojin, tokoh nomor wahid. Dengan demikian, secara otomatis peringkat Sun Hoan naik ke posisi puncak.[i]

Hingga bertahun-tahun, status Li Sun Hoan sebagai pesilat terhebat seantero kang-ouw tidak tergoyahkan oleh siapa pun. Pendekar baru belum muncul, tokoh-tokoh lama telah mati atau menghilang. Dalam masa-masa damai itu, Sun Hoan sendiri memusatkan perhatian pada hobi lamanya, mengukir. Pisau yang digunakannya untuk mengukir tidak beda dengan pisau yang pernah ia gunakan untuk membunuh. Tapi kali ini sasarannya bukan leher musuh, melainkan sepotong kayu.

Suatu pagi, Sun Hoan tengah mengukir ketika tiba-tiba ia merasakan bunga-bunga sakura di sekelilingnya berubah warna: dari cerah dan bersinar menjadi redup dan memudar. Namun Sun Hoan tak menghentikan pekerjaannya. Hanya saja profil yang tengah digarapnya ia ubah menjadi sebentuk wajah yang sekonyong-konyong muncul di kepalanya.

Bunga-bunga sakura semakin pucat dan layu. Menjelang tengah hari, semua bunga berikut daun-daunnya berlepasan satu satu. Padahal musim gugur belum datang, dan musim semi baru menjelang.

Sun Hoan telah menyelesaikan ukirannya. Ia meneguk secawan arak, lalu membalik arah duduknya.

“Selamat datang, sahabatku Hing Bu Bing,” ucapnya sambil menatap ke sudut taman, tersembunyi di antara dedaunan, di mana tegak berdiri seorang lelaki dengan pedang di pinggang.

“Aku sahabatmu?” tanya orang itu.

“Hanya para sahabat yang kuukir wajahnya.”

Sun Hoan melontarkan hasil ukirannya ke arah Bu Bing, yang menangkapnya lalu memperhatikan wajah yang terpahat di balok kayu itu. Wajah yang kaku. Raut pipi seperti kayu.

“Aku mencari A Fei,” kata Bu Bing setelah beberapa waktu berlalu dalam diam.

“Rupanya kau masih penasaran dengannya.”

“Menjadi sahabatmu bukan berarti menjadi sahabatnya.”

Pandangan Sun Hoan menerawang. “Hmmh, entah di mana dia saat ini. Lima tahun lalu, ia berjanji suatu kali akan mengunjungiku. Tapi sampai sekarang dia belum datang.”

“Menurutmu dia akan datang?”

“Sepanjang dia masih sehat, aku yakin.”

“Kalau begitu aku akan menunggunya di kota ini.”

“Bagus! Berarti sekarang aku takkan minum sendirian lagi.”

“Kau mengundangku minum?”

Sun Hoan hanya tersenyum.

“Tapi menyesal sekali, aku tak minum arak,” Bu Bing menyambung.

Kembali Sun Hoan tersenyum. “Aku tahu. Tapi menemani minum arak tidak mesti ikut minum arak.”

“Baiklah, demi menghormatimu, aku akan minum secawan tiap kali kau menghabiskan sepuluh cawan.”

Sun Hoan tertawa lebar. Ia tahu, siapa pun yang duduk dekat pemabuk, tidak pernah minum sekalipun, mestilah pada akhirnya akan dicobanya pula barang seteguk.

“Saudara Hing,” Sun Huan menuangkan arak dari guci ke satu-satunya cawan yang ada di situ, meneguknya dengan satu tenggak, menuang lagi dari guci dan menenggaknya lagi,” sepertinya perjalananmu ke sini menarik minat banyak orang.”

“Hmm, kau mau aku mengusir orang-orang itu?”

“Tidak. Aku berpikir, mereka malah bisa menjadi kurir yang sangat berguna untuk mengundang A Fei.”

“Jadi kau setuju aku bertarung dengan A Fei?”

“Haha.., bahkan aku yakin A Fei pun tak suka duel ini kuhalang-halangi.”

“Kau benar-benar sahabat sejati.” Tangan Bu Bing mendadak bergerak, dan isi cawan yang dilontar Li si pemabuk lantas tertuang ke mulutnya.

***

Perjalanan Hing Bu Bing ke rumah Li Sun Hoan memang diikuti secara diam-diam oleh sejumlah orang, dan jumlah mereka semakin banyak. Bahwa Bu Bing mendatangi Sun Hoan, tak lain dan tak bukan tentulah untuk menantang tanding. Ternyata pertarungan yang pasti seru itu tidak terjadi. Tetapi mereka tidak kecewa mendengar Bu Bing akan menantang A Fei. Dua jago pedang itu mereka tahu pernah saling mengalahkan dalam dua pertemuan sebelumnya, dengan Bu Bing berada di pihak terakhir yang kalah.

Sesuai perkiraan Sun Hoan, orang-orang itu benar-benar menjadi kurir yang baik untuk mengundang A Fei. Mereka membicarakan rencana duel itu, dan dengan segera dunia persilatan menjadi ramai dan bergairah kembali. Sudah lama dunia persilatan sepi dari pertarungan tingkat tinggi. Meski pertarungan itu belum ditentukan waktunya, karena A Fei tidak jelas berada di mana, orang-orang yang merasa dirinya kaum persilatan di setiap penjuru angin segera berdatangan ke kota di mana Sun Hoan tinggal.

Demikianlah. A Fei akhirnya mendengar tantangan Bu Bing. Dan pada akhir musim semi, tibalah ia di rumah Sun Hoan. Kedatangan A Fei segera disambut Sun Hoan dengan berguci-guci arak.

“Sabar, kawan. Untuk saat ini aku belum boleh mabuk,” kata A Fei.

“Aku tahu. Tapi calon lawanmu tentu tak keberatan kalau dirimu kupinjam sehari ini.”

“Baiklah. Mungkin ini kesempatan terakhir bagiku untuk minum bersama pemabuk nomor satu.”

Sun Hoan tersedak. Tapi A Fei malah tergelak.

Pada hari yang telah disepakati, ratusan bahkan ribuan orang berbondong-bondong menuju sebuah bukit di mana pertarungan akan dilangsungkan. Mereka mendekam di tempat-tempat yang relatif aman namun memiliki jangkauan pandang yang nyaman. Ada yang bersembunyi di balik semak, di bawah pohon, dan kebanyakan di atas dahan. Tak ada yang berani bertaruh keselamatan dengan menonton dari jarak dekat, sebab dua orang yang akan bertarung adalah pesilat yang dianggap paling hebat di bawah Li Sun Hoan. Keduanya memakai pedang, dan ilmu pedang keduanya telah mencapai taraf yang sulit dicari bandingan, baik dalam kecepatan, kekuatan, maupun kekejaman.

Di puncak bukit yang tidak seberapa tinggi itu ada sebuah dataran yang agak lapang. Hing Bu Bing berdiri di tengah; ia lebih dulu sampai. Sementara A Fei tertahan di satu sudut, tak bergerak. Li Sun Hoan berdiri di tepi lapangan.

Menunggu matahari sampai di puncak langit, ketegangan menyeruak di atas bukit. Orang-orang saling bicara dengan berbisik.

Dengan langkah perlahan, A Fei dan Bu Bing maju ke tengah medan. Ketika keduanya menyisakan jarak sekitar tiga tombak, langkah mereka berhenti. Tangan masing-masing meraba gagang pedang. Mata terarah ke tangan lawan.

Ketegangan semakin tajam. Semua orang diam, seakan-akan desah napas pun tertahan.

Sun Hoan mundur ke sebuah pohon, lalu duduk di bagian akar. Diteguknya arak langsung dari mulut botol.

A Fei telah menghimpun seluruh hawa murninya. Bu Bing demikian pula. Udara memadat. Hawa maut berpendar hingga ke luar arena. Para penonton yang berada di atas pohon sama merasakan daun-daun yang tadinya segar perlahan-lahan memucat.

Berbarengan A Fei dan Bu Bing melolos pedang, memelintangkannya di depan dada. Pedang A Fei lurus menunjuk langit, sementara pedang Bu Bing agak miring ke kiri. Keduanya memegang pedang dengan tangan kanan. Dulu Bu Bing dikenal sebagai seorang kidal. Tapi tangan kirinya dibikin cacat oleh pisau Sun Hoan. Orang-orang menyangka riwayatnya sebagai jago pedang telah tamat, tapi tangan kanannya malah lebih cepat ketimbang tangan kiri.

Beberapa saat tak ada yang memulai serangan. Tampaknya kedua petarung masih sedang menimbang kekuatan lawan.

Entah siapa yang lebih dulu bergerak, tiba-tiba berkilat dua jalur sinar disusul bunyi, ‘tringg..!’ lalu suasana kembali sunyi.

Bagai diiris ribuan pisau tajam, daun-daun di sekeliling dataran seketika rontok ke tanah. Para penonton di atas pohon mengeratkan cekalannya pada dahan, sementara yang berada di bawah menyilangkan tangannya di atas kening untuk mencegah daun-daun yang menghalangi pandangan.

A Fei dan Bu Bing tampak telah berdiri di tempat semula. Sepasang kaki mereka masih menginjak bagian tanah yang sama, seolah-olah keduanya tak pernah bergerak seinci jua.

Sun Hoan kembali meneguk araknya.

Ketegangan yang sempat pecah dengan segera tersusun kembali. Satu jam berlalu, dua musuh bebuyutan itu masih saja tegak berdiri.

Matahari mulai tergelincir, namun hawa panas tidak ikut menyingkir.

Pepohonan sekitar lapangan telah gundul semua daunnya.

Nyaris tak terlihat, telapak kaki kanan A Fei bergeser satu inci ke arah luar, sementara kaki kanan Bu Bing bergeser ke dalam.

“Hhh…!” terdengar seruan tertahan para penonton. Rupanya pergeseran kaki itu telah mengubah arus udara. Hati semua orang sama berdecak. Jika hawa yang mengalir di luar gelanggang saja sedemikian pekat, tak dapat dibayangkan arus apa yang bergolak bolak-balik di antara kedua sosok yang berdiri hampir tanpa gerak.

“Tampaknya A Fei berada di posisi penyerang, dan Bu Bing bertahan,” bisik seorang penonton kepada orang di sebelahnya.

“Mau tak mau memang mesti ada yang memulai serangan,” ucap kawannya.

Namun serangan yang ditunggu tak juga datang. Kedua petarung sepertinya masih bersabar menanti saat yang menentukan.

Akhirnya pedang A Fei terangkat, lalu meluncur lurus ke arah tenggorokan Bu Bing. Tusukan itu sederhana saja, seperti jurus yang biasa dipelajari para pemula. Namun siapa pun tahu serangan itu mengandung gerak perubahan yang tak terduga. Terdengar bunyi ‘tring’ ketika Bu Bing menggerakkan pedangnya sedikit ke kanan, cukup sekadar melindungi lehernya. Pedang A Fei lantas berputar ke bawah, dan kemudian terdengar bunyi ‘trang tring’ puluhan kali di antara kelebatan sinar pedang yang seakan menutupi sosok kedua petarung.

Reranting pohon bergetar. Beberapa patah dan terpental.

Tangan Sun Hoan mencengkram erat leher botol. Tanpa sadar ia telah berdiri. Sepasang matanya terpicing tajam ke arah duel.

Serangan A Fei menderas mengincar titik-titik mematikan di tubuh Bu Bing. Yang diserang bertahan dalam gerak tangan dan kaki yang ringkas namun efektif. Dalam waktu singkat, ratusan jurus telah lewat, namun belum ketahuan siapa yang akan tergeletak.

Hawa pedang berpencaran ke segenap penjuru. Beberapa penonton yang tidak kuat ada yang terguling dari dahan, menimbulkan bunyi gedebuk di tumpukan daun dan rumput yang basah oleh proses pelayuan.

Tiba-tiba udara menguap. Hawa pedang lenyap. Dan di tengah arena, tampak Bu Bing dan A Fei berdiri saling berhadapan dalam jarak sangat dekat.

Semua mata terbelalak.

Pedang A Fei menempel di sisi kiri leher Bu Bing. Darah menetes membasahi kerah baju.

Ujung pedang Bu Bing menusuk bahu A Fei, tepat di pangkal lengan kanan, sedikit tembus ke belakang.

Beberapa saat tak ada yang bergerak.

Perlahan-lahan tangan kanan A Fei terkulai. Pedangnya terlepas dan rebah di samping kaki Bu Bing.

Bu Bing menarik pedangnya. Ujung pedang itu merah.

Hing Bu Bing menang.

Napas-napas terdengar berhembusan, membuyarkan ketegangan.

Bu Bing mundur satu langkah, lalu menyarungkan pedang tanpa menghiraukan darah di ujungnya.

A Fei menatap sayu ke arah pedangnya yang tergeletak. Tatapan itu beralih ke bahu kanannya, menyusuri pangkal lengan hingga ke ujungnya yang terkulai lemas.

“Kenapa kau tidak membunuhku?” tanyanya kepada Bu Bing.

“Sebab kau adalah A Fei.”

Jawaban itu adalah kalimat yang sama dengan yang diucapkan A Fei ketika dalam pertandingan sebelumnya ia tidak membunuh Bu Bing. Kalimat itu pun sama dengan ucapan Bu Bing kepada A Fei dalam pertemuan mereka yang pertama.

A Fei tertunduk, lalu membalikkan tubuh. Sun Hoan melompat ke tengah lapangan, memungut pedang A Fei, dan berkata kepada Bu Bing, “Kau telah berhasil melatih jurus pertahanan pedang yang efektif. Kurasa pisauku pun takkan mampu menyentuh kulitmu.”

Bu Bing menggerakkan bibirnya. Tipis saja.

Sun Hoan melompat menjajari langkah A Fei. Tanpa memedulikan tatapan orang-orang, keduanya berjalan menuruni bukit.

Bu Bing menatap sosok dua sahabat itu. Ia pun hendak berlalu dari situ, namun gerak kakinya tertahan saat dilihatnya puluhan orang berlari ke arahnya. Di depan Bu Bing, orang-orang itu menjatuhkan diri dan berlutut.

“Tuan Hing, kami adalah bekas anggota Kim Ci Pang[ii]. Ketua kita Siangkoan Kim Hong telah tiada. Tolong pimpin kami untuk merajai kembali dunia persilatan.”

Kilat mata Bu Bing menyambar mereka satu per satu. Tak satu pun yang berani menatap balik.

“Sudah hampir tiga bulan aku memunculkan diri. Kenapa baru sekarang kalian mengajukan usul ini?”

“Kami…” Kepala mereka menunduk.

“Rupanya kalian tak yakin aku bisa mengalahkan A Fei.”

Kepala orang-orang itu semakin merunduk. Bahkan sebagian ada yang bersujud.

“Atas sikap oportunis yang kalian tunjukkan ini, kalian semua berhak mati.”

Menggigil tubuh mereka mendengar ucapan ini. Apalagi saat terdengar bunyi pedang dilolos, perut mereka tiba-tiba melilit dan sebagian ada yang muntah-muntah.

“Aku memberi kesempatan kalian untuk melawan. Ayo, cabut senjata kalian.”

Tubuh orang-orang itu seperti mengerut. Dengan wajah hampir menyentuh tanah, beberapa di antara mereka memberanikan diri saling melirik.

“Ketahuilah, aku tidak berpantang membunuh orang tanpa senjata,” kata Bu Bing lagi.

Sadar kalau maut tak terhindarkan lagi, serentak mereka mencabut senjata. Mereka tahu, sekali Bu Bing berkata, tidak nanti ditarik kembali. Dengan melawan, setidaknya ada sedikit harapan. Jumlah mereka tiga puluh orang lebih, sementara Bu Bing sendiri baru saja melakoni laga melelahkan. Sebagian dari mereka pun tergolong jago-jago kelas atas yang memiliki peringkat di kalangan persilatan.

Ketika semua senjata sudah terlolos, berbareng pula mereka bangkit dan mengurung Bu Bing di tengah. Beraneka bentuk senjata mereka: panjang, pendek, tumpul, lancip, keras, lemas, dan ada pula senjata rahasia beracun.

Bu Bing mendengus. Ketika dirasakannya satu serangan dari belakang, ia meloncat dengan gerak yang teramat cepat hingga para penyerangnya mengira sosoknya mendadak lenyap. Semua orang beku dalam kejut, tak tahu ke arah mana harus menyerang. Hanya kemudian terdengar lolongan panjang susul-menyusul saat sebilah benda dingin menggiris leher mereka bergiliran.

Sebagian besar penonton yang belum beranjak dari situ sama bergidik.

Di lereng bukit, Sun Hoan mendengar lolongan orang-orang itu dan berpikir: Bu Bing tidak membunuh A Fei, tapi sekali pedangnya keluar, dia memang harus membunuh.

***

Hari-hari berikutnya, Sun Hoan dipaksa harus melayani takaran minum A Fei yang tiba-tiba melonjak beberapa lipat. Berkali-kali A Fei mabuk, namun begitu tersadar, ia lantas berteriak minta arak.

Seminggu pertama, Sun Hoan selalu memenuhi permintaan A Fei, karena ia sungguh tak tahu cara bagaimana menghibur hati sahabatnya itu. Namun pada hari kedelapan, ia berkata dengan tegas.

“Hari ini tak ada arak!”

A Fei menelengkan kepalanya, seakan terheran-heran ucapan itu bisa keluar dari mulut setan arak seperti Sun Hoan. Arak habis masih bisa beli, pikir A Fei.

“Pedangku bisa ditukar dengan beberapa guci,” katanya.

“Barang lain boleh kau jual, tapi pedang tidak.”

“Aku tak butuh lagi.”

“Masih!”

A Fei terduduk. “Tapi aku takkan bisa menggunakannya lagi,” ucapnya lirih.

“Tangan kirimu masih utuh.”

“Kau pikir, tangan kiriku bisa sekuat tangan kanan?”

“Kalau kau pikir bisa, tentu bisa.”

A Fei terdiam.

“Tinggallah di sini. Kau akan berlatih di depanku.”

A Fei menatap Sun Hoan penuh terima kasih.

***

Besok harinya, saat A Fei masih tidur, Bu Bing datang. Luka di lehernya hanya menyisakan garis hitam. “Aku ingin menjadi pesilat nomor satu,” katanya.

“Kau sudah mendapatkannya,” tukas Sun Hoan.

“Tapi masih ada kau.”

“Kau menantangku?”

“Sesama sahabat bukan berarti tidak boleh bertarung.”

Sun Hoan tercenung, lalu berkata, “Kalau begitu kuserahkan gelar kosong itu sekarang juga.”

“Kau tahu aku tak akan bersedia menerimanya tanpa pertarungan.”

Sun Hoan terdiam.

Bu Bing melanjutkan. “Seharusnya kau sudah menduga tujuanku kemari tidak lain ialah untuk menantangmu. Tapi kau terlanjur menyebutku sahabat, makanya aku menanyakan A Fei.”

“Orang sepertimu memang tidak boleh dijadikan musuh.”

“Kita sama-sama hidup di dunia persilatan. Aku telah mengabdikan hidupku hanya untuk ilmu silat. Tentunya kau tahu apa konsekuensi dari pilihan itu.”

“Hmm.”

“Kau tahu apa yang kurasakan saat Siangkoan Kim Hong mati oleh pisaumu? Aku sangat gentar. Gentar sekali sehingga hasrat membunuhku lenyap seketika, dan A Fei dengan mudah bisa mengalahkanku. Tahukah kau, selama lima tahun ini aku tak pernah berhenti melatih ilmu pedangku. Untuk apa? Kau pikir untuk mengalahkan A Fei? Tidak. Aku berpikir, jika pedangku bisa mengatasi pisau terbangmu, mengalahkan A Fei tentu bukan soal yang patut dipikirkan.”

“Kau memang telah mencapai tahap yang sulit diukur,” ucap Sun Huan.

“Kau telah melihat jurus-jurusku. Itu satu keuntungan bagimu.”

“Aku tak pernah lagi melatih pisauku.”

“Kau benar-benar tak mau bertanding denganku?”

Bu Bing menatap Sun Hoan tajam. Mata itu, siapa pun tak ingin beradu pandang. Mata itu seperti bukan mata manusia. Mengerikan, tapi tidak mirip mata serigala atau mata iblis. Mata itu lebih menyerupai mata orang mati. Mata tanpa emosi. Seringkali keadaan tanpa emosi lebih menakutkan daripada kemarahan yang diledakkan.

Sun Hoan mengalihkan tatapannya ke halaman, di mana berserakan bunga-bunga sakura yang mengering.

“Dengan kemampuanmu sekarang,” ucap Sun Hoan, “Kim Hong pun bukan lagi tandinganmu. Dulu aku bisa mengalahkannya karena kebetulan ia berbuat sedikit ceroboh.”

“Tapi seiring perjalanan waktu, ilmu silatmu pun tentu meningkat pesat.”

“Seperti sudah kukatakan, aku tak pernah melatih silatku lagi, dan tidak pernah pula menggunakannya.”

“Hmmh, kudengar mengukir pun sudah merupakan latihan yang sangat bagus bagimu.”

“Aku sudah berjanji pada diriku, tidak akan menggunakan pisau lagi untuk bertarung.”

“Demi menghormatimu, aku rela meneguk arak. Kuharap kau pun melakukan hal yang sama untukku.”

“Tampaknya aku tak punya pilihan lain.”

Sejak dulu Sun Hoan sebisa mungkin selalu menolak jika diajak bertarung. Ia berpendapat, manusia bukan kerbau; buat apa adu kekuatan jika cara yang lebih berakal masih bisa digunakan. Namun sebagai pesilat, seringkali ia terjebak pada situasi yang meskipun ia tak mau menghadapinya, mau tak mau ia harus menghadapinya.

“Akhirnya kau mengerti,” kata Bu Bing.

“Tapi aku tetap tak akan menggunakan pisau.”

Bu Bing merenung. “Bahwa kau berani menanggalkan pisaumu, tentunya kau memang telah meyakinkan suatu ilmu tangan kosong yang dahsyat.”

Sun Hoan tersenyum. Kata-katanya berikutnya tiba-tiba terkesan sangat percaya diri. “Dengan begitu, tentu menjadi sulit bagimu untuk mengukur seberapa tinggi pencapaianku sekarang.”

“Ya. Terus terang hal ini memang membuatku sedikit tak yakin.”

“Kalau kau tak yakin, kenapa tidak pulang saja dan melatih pedangmu beberapa tahun lagi?”

“Dua tahun lalu aku sudah mencapai tahapku yang sekarang. Aku terus berlatih dan tingkatku tak juga naik. Biarpun berlatih sepuluh tahun lagi, aku tak yakin akan mengalami peningkatan. Aku tahu yang kubutuhkan adalah sejumlah pertarungan tingkat tinggi untuk meningkatkan levelku.”

“Baiklah. Tapi apakah kau tahu apa tahap tertinggi pencapaian ilmu silat?”

“Ketika pedang dan orangnya sudah menyatu dalam satu hasrat,” Bu Bing menjawab.

Sun Hoan menggeleng. “Masih ada yang lebih tinggi. Yaitu ketika pedang tidak lagi berada di tangan, melainkan di hati.”

“Huh, mungkin hal itu benar secara teori. Tapi praktiknya masih harus dibuktikan. Setidaknya aku melihat ini dari kasus kekalahan Kim Hong.”

Sun Hoan benar-benar tak punya pilihan lain. Dulu Kim Hong telah mencapai tahap pedang tidak lagi berada di tangan, melainkan di hati. Senjatanya berupa sepasang gelang telah ia wariskan kepada anaknya. Namun ia ditewaskan oleh Sun Hoan yang masih membekal pisaunya ke mana-mana. Sebabnya satu: Kim Hong tak percaya dengan adagium yang menyatakan, “Pisau terbang si Li, sekali timpuk tak pernah meleset.” Ia ingin membuktikannya, dan keinginannya pun terlaksana.

“Kalau begitu,” ucap Sun Hoan, “silakan kau mengaturnya.”

“Waktunya siang ini. Tempatnya kau yang pilihkan.”

Sun Hoan memilih tempat pertarungan sebelumnya antara A Fei dan Bu Bing. Maka demikianlah, kaum persilatan yang pada umumnya sudah menduga bahwa Bu Bing akan menantang Sun Hoan, berbondong-bondong datang pula ke puncak bukit. Karena penentuan waktu pertarungan itu begitu mendadak, mereka yang mendengar kabar itu seketika menghentikan aktivitas apa pun yang tengah mereka kerjakan. Duel dengan taruhan gelar nomor satu, siapa pun akan rugi kalau melewatkan.

Adapun A Fei, saat terbangun dan mendengar Sun Hoan akan bertanding dengan Bu Bing, bertanya dengan nada ragu.

“Kau tak menggunakan pisau?”

“Begitulah.”

“Apa kau telah menjadi sebodoh itu? Atau sesombong itu?”

“Mungkin keduanya.” Sun Hoan terkekeh. “Orang bodoh biasanya sombong, dan orang sombong biasanya bodoh.”

“Kau yakin bisa mengalahkannya?”

“Bagaimana pun momen ini mesti terjadi.”

“Hahaha… ” A Fei tertawa. Lepas. Tawa lepas pertama sejak dikalahkan Bu Bing. “Menjadi pendekar nomor satu tampaknya bukan keadaan yang bikin tentram.”

Sun Hoan pun menambah tawanya melihat tawa lepas A Fei.

A Fei menyambung, “Bahkan jikapun yang menang kemarin itu bukan Bu Bing, kau tetap tak bisa menghindari momen ini.”

Mata Li Sun Huan membeliak. Sejenak kemudian ia terbahak.

“Untung bukan kau yang menang,” ucapnya.

Ganti mata A Fei yang terbelalak. Tapi ia pun lantas tergelak.

***

Li Sun Hoan berdiri dengan tenang di tengah arena, persis di tempat A Fei sebelumnya. Sekitar tiga meter di depannya, Hing Bu Bing pun berdiri, tepat di tempatnya yang lama.

Bu Bing telah menghimpun segenap hawa murninya. Hawa itu tersebar secara proporsional di setiap otot tubuh. Dari tubuhnya, hawa itu menyebar ke sekeliling, mewujud sebagai hawa maut yang akan membuat semangat lawan runtuh sebelum bertanding.

Namun ia tak merasakan hawa serupa terpancar dari tubuh Sun Hoan. Pada saat yang sama, ia pun terheran karena cara berdiri Sun Hoan tampak sangat biasa, begitu wajar seperti halnya orang yang berdiri saat menyaksikan bunga sakura mekar. Tak ada tekanan energi dari tubuh Sun Hoan, tapi juga tubuh itu seperti tak tertekan sama sekali oleh arus tenaganya.

Para penonton yang menyaksikan dari arah Bu Bing merasakan hawa panas menguar tajam, dan mereka semua berkeringat. Namun orang-orang yang berada di jurusan Sun Hoan nyaris tak merasakan apa-apa selain panas alami yang ditimbulkan matahari.

Apakah Sun Hoan belum mengeluarkan tenaga dalamnya? Tapi cara bagaimana ia menahan arus tenagaku? Bu Bing bertanya-tanya dalam hati. Ia mencoba mencari jawabnya pada mata lawan, namun mata itu pun begitu tenang. Jauh berbeda dengan mata A Fei yang dilihatnya mencorong tajam bagai serigala kelaparan.

Ilmu apakah yang berhasil diyakinkan oleh Sun Hoan? Berpikir ke sini, Bu Bing merasakan dirinya mulai gelisah. Perlahan-lahan ia melolos pedang untuk mengempos semangatnya.

Tangan Sun Hoan sendiri masih tergantung wajar di kedua sisi pinggangnya.

Tak ada pisau di tangan itu.

Dulu, jika sebilah pisau telah tergenggam di tangan Sun Hoan, nyali lawan pasti rontok laksana bunga diterjang topan. Pisau itu seolah-olah meruapkan aroma kematian yang siap membekap siapa pun dalam jangkauannya. Sebenarnya pisau itu sendiri tidaklah istimewa. Panjang sekitar lima inci, bahan dari besi atau baja biasa, ditempa oleh pandai besi biasa dalam waktu tak lebih dari tiga jam, siapa pun bisa mendapatkannya di pasar dan ibu-ibu lazim memakainya di dapur untuk merajang sayur. Namun tangan pendekar Li menjadikan pisau itu masuk deretan senjata paling mematikan di dunia persilatan, menggeser beraneka pedang pusaka dan golok dan tombak dan panah beracun.

Sun Hoan pernah dikepung ribuan orang di biara Shaolin. Tapi berkat pisau yang ditimang-timang di tangannya, tak satu pun para pengepung yang berani memulai serangan. Sun Hoan pernah berduel dengan musuh yang bersembunyi di kegelapan. Namun cukup dengan memancing beberapa kalimat dari lawan, pisau ia timpukkan dan bersarang tepat di tenggorokan.

Orang bilang, pisau terbang si Li, sekali melesat tak pernah meleset. Seratus kali disambit, seratus kali menancap. Namun momen paling menakutkan dari Sun Hoan sesungguhnya bukanlah saat pisau itu menembus tenggorokan, melainkan saat pisau itu mendekam di telapak tangan.

Tapi kini di tangan Sun Hoan tak ada pisau. Apakah yang perlu ditakutkan dari orang yang berdiri santai tanpa senjata?

Anehnya, Bu Bing merasa dialah yang tak bersenjata sementara di tangan Sun Hoan tergenggam ribuan pisau. Perlahan-lahan suatu debaran aneh merayapi dadanya. Bu Bing selalu menghindari minum arak. Tujuannya tidak lain supaya pikirannya tetap jernih dan terang. Namun saat itu Bu Bing merasa dirinya bagai habis diloloh laksaan cawan arak tanpa ia bisa menolak.

Bu Bing menghembuskan napasnya.

“Kau sudah siap?” Bu Bing bertanya sekadar untuk meyakinkan dirinya sendiri, sebab pose Sun Huoan itu terlalu aneh bagi seorang yang hendak bertarung, dan ketenangan yang ditunjukkannya begitu mengkhawatirkan.

“Silakan,” jawab Sun Hoan.

Bu Bing mengangkat pedangnya lalu menusuk lurus ke leher Sun Huan. Gerak serangan itu persis milik A Fei, sederhana dan lugas. Bagi orang yang telah meyakinkan ilmu pedang hingga tahapan tertinggi, bentuk jurus menjadi tak penting lagi.

Sun Hoan meloncat ke belakang, namun ujung pedang itu terus mengincar lehernya.

Para penonton terkesiap. Tusukan pedang selurus itu seyogyanya tidak dihadapi dengan langkah mundur. Menurut teori, orang yang tak memegang senjata seharusnya berkelit ke samping kiri atau kanan, lalu mendesak dari samping seraya memperpendek jarak, karena jarak yang renggang hanya akan menguntungkan posisi pemegang senjata.

Namun Sun Hoan memilih bergerak mundur. Jika ia memegang pedang, langkah semacam itu mungkin tak begitu berbahaya. Tapi ia bertangan kosong.

Teori silat manakah yang ia pakai?

Maka dalam detik yang mencengangkan itu tampaklah Sun Hoan hanya bergerak ke belakang, sedang ujung pedang lawan mengejar dalam ukuran jengkal dari lehernya. Siapa pun tahu, gerak maju lebih cepat dibanding gerak mundur. Sementara di tangan Sun Hoan tak ada benda apa pun yang bisa digunakan untuk menangkis.

Apakah gelar pendekar nomor satu segera akan berpindah tangan?

Dalam hitungan detik, tubuh Sun Hoan telah sampai di tepi lapangan. Ada pun pedang Bu Bing, dari jarak tiga jengkal ia telah merapat menjadi dua jengkal, satu jengkal, setengah jengkal…

Cara bagaimana Sun Hoan menyelamatkan diri?

Pada pikiran Bu Bing sendiri sesungguhnya tengah berkecamuk rasa keheranan yang hebat. Biasanya, dalam jarak sedekat itu, musuh akan terkunci geraknya oleh hawa pedang yang datang mendahului. Namun di hadapan Sun Hoan, hawa pedang itu seakan-akan amblas ke tengah pusaran air. Bu Bing sampai tak yakin jika ujung pedangnya menyentuh kulit lawan, darah di balik kulit itu akan menetes keluar.

Saat yang menentukan itu pun tiba.

Semua penonton terkesima.

Mereka melihat Li Sun Hoan berdiri dengan badan condong ke belakang. Ujung pedang menempel di lehernya. Gagang pedang digenggam tangan kanan Bu Bing, yang berdiri dengan tumpuan satu kaki dan badan mencondong ke depan.

Tapi pedang itu tidak sepenuhnya berada dalam penguasaan Bu Bing. Ujung pedang itu tampaknya saja menyentuh di leher Sun Hoan, namun sesungguhnya tak lebih dari itu. Di bagian tengah, badan pedang itu telah terjepit jari tengah dan telunjuk Sun Hoan.

Bu Bing ingin menusuk lebih lanjut, namun jepitan dua jari itu seperti terbuat dari baja. Ingin ia menarik pedangnya, namun tenaganya seakan telah sirna. Tenaganya telah terlanjur menghambur, terperangkap dalam ketenangan lawan, dan tidak bisa ia tarik pulang.

Perlahan-lahan, Sun Hoan menegakkan tubuhnya, mendorong pedang Bu Bing, hingga Bu Bing berdiri pula dalam cara yang benar.

Sun Hoan melepaskan kedua jarinya dari pedang.

Dengan pelan pedang Bu Bing turun hingga ujungnya menyentuh tanah.

Para penonton bertanya-tanya, apakah pertarungan sudah berakhir? Mereka hanya merasakan hawa pedang telah sirna, dan udara mengalir kembali seperti biasa.

“Cara bagaimana kau mengalahkanku?” tanya Bu Bing.

Sun Hoan menjawab, “Sementara kau membiarkan hawa saktimu menyebar dan melayukan dedaunan, aku mengumpulkan hawa itu hanya di ujung-ujung jari. Makanya kau sama sekali tak merasakan arus tenagaku.”

“Tapi bagaimana kau bisa menyedot habis tenagaku, kecuali sekadar yang tersisa untukku berdiri?”

“Setiap hari aku mengukir dalam ketenangan. Aku belajar menggunakan energi sekitar untuk keperluanku. Inilah hasilnya.”

Bu Bing menunduk.

“Kenapa kau tidak membunuhku?” tanyanya lagi.

“Sebab kau tidak membunuh A Fei.”

“Aku telah melumpuhkan tangannya.”

“Aku merasa dia masih memerlukan kehadiranmu.”

“Kau yakin dia bisa bangkit?”

“Tangan kirinya masih utuh.”

“Hmk, dia bisa bangkit. Tapi aku entah.”

Sun Hoan tersenyum. “Kau hanya butuh waktu.”

Mulut kaku Bu Bing menampakkan sunggingan kecil mirip senyum. “Setelah kekalahan yang memalukan ini, kau pikir aku masih ingin hidup?”

“Kalah dariku bukanlah hal yang memalukan.”

Tiba-tiba mata Bu Bing bersinar. Sekejap saja. Tapi itulah binar pertama yang dipancarkan matanya semenjak ia belajar ilmu pedang.

“Benar. Kalah darimu bukanlah hal yang memalukan.”

Bu Bing menatap pedangnya. Lagi dia berkata, “Dan sebetulnya, kalau harus jujur, memang aku sudah kalah darimu sejak kita mulai berhadapan. Hanya saja aku terlalu memaksa diri. Baru kupaham sekarang, Kim Hong kerap mengalahkan lawan-lawannya tanpa perlu mengangkat seujung jari.”

Sun Hoan tahu apa yang dimaksudkan Bu Bing. A Fei, sahabatnya, pernah ditundukkan oleh bunyi langkah kaki Kim Hong yang menggedor sukma. Begitu pula Lu Hong Sian, pendekar dengan gelar Panglima Tombak Perak yang dianggap menempati urutan kelima. Orang ini telah meyakinkan sejumlah ilmu spesial untuk mengalahkan para jagoan di atasnya. Namun dia malah menjadi gila setelah beradu kata-kata dengan Kim Hong. Dan Sun Hoan teringat, dirinya pun hampir saja menjadi santapan empuk Kim Hong andaikata orang itu tidak kelewat sombong.

“Kau pun bisa mencapai tahap itu,” ucap Sun Hoan. Namun dia sendiri tak yakin kata-katanya itu sungguhan atau sekadar penghiburan.

Bu Bing tak menanggapi. Mungkin dapat diterkanya arah dari ucapan Sun Hoan. Perlahan-lahan ia membalikkan tubuh. Dengan bertumpu pada pedang sebagai tongkat, tertatih-tatih ia berjalan menuruni bukit.

Sun Hoan menatap Bu Bing hingga bayangannya lenyap di balik pepohonan.

Tak lama kemudian A Fei berlari mendatangi. Di wajahnya tersirat sebuah tekad.

“Terima kasih, sahabat. Kau memberiku alasan yang kuat untuk bangkit.”

Sun Hoan tersenyum. Terlebih ketika ia menerima sodoran arak dari A Fei. Tapi baru saja ia hendak meneguk, mendadak ia berseru kaget.

“Celaka! Hing Bu Bing.”

Dan seketika tubuhnya melesat ke bawah bukit. Tapi terlambat. Di sana, di atas rerumputan, Bu Bing tergeletak dengan kepala dan organ-organ tubuh terburai dan tercerai-berai. Nyata ia telah diamuk oleh banyak orang yang mendendam kepadanya.

“Aku melupakan satu hal,” gumam Sun Hoan dengan nada sesal.

“Dia baru saja kehilangan hasratnya untuk bertarung.” [Asso]

 

2007-2010

[i] Keterangan di paragraf ini dapat dibaca dalam novel Pendekar Budiman atau Si Pisau Terbang, sebuah cerita silat karya Khu Lung. Cerpen ini mencoba mereka-reka lanjutan dari cersil tersebut.

[ii] Kim Ci Pang = Perkumpulan Uang Emas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *