cerita silat

Syahdan, kelak di hari kemudian, seorang penggemar fanatik cerita silat mendapat anugerah mahabesar dari Tuhan, yakni dimasukkan ke dalam surga. Tatkala ia telah ditempatkan di kamarnya yang supermewah, hal pertama yang dimintanya kepada pelayan surga ialah buku-buku cerita silat karya para pengarang favoritnya dulu waktu di dunia.

”Cerita silat?” Ridwan, malaikat yang ditugaskan sebagai penjaga dan pelayan surga, terheran-heran. “Maaf, Tuan, kenapa anda tidak minta bidadari berbodi montok, arak paling sedap, atau aneka hidangan yang top markotop?”

“Yang lain-lain itu nanti saja. Ini nazarku waktu di dunia. Aku tak akan menyentuh apa pun kenikmatan surga sebelum membaca habis seluruh cersil dari pengarang-pengarang yang kukagumi.”

“Baiklah, Tuan. Cersil apa yang anda minta?”

Penggemar cersil berpikir sejenak. “Aku akan mulai dari yang pertama kubaca waktu masih SD dan SMP. Serial Wiro Sableng karya Bastian Tito.”

Malaikat Ridwan mengangguk. Seketika di kamar itu muncul dua tumpukan setinggi badan manusia.

Penggemar cersil terbelalak. Dicomotnya satu buku. Empat Brewok dari Goa Sanggreng. Ini dia, buku pertama Wiro Sableng. Dibawanya buku itu ke kasur. Sambil berbaring, dilalapnya buku itu penuh nafsu.

Sejam kemudian tangannya meraih buku kedua, Maut Bernyanyi di Pajajaran. Jam berikutnya dia beralih ke judul ketiga, Dendam Orang-orang Sakti. Seterusnya, tanpa jeda tokoh kita membaca judul demi judul serial Wiro Sableng dan terhanyut ke dalam ceritanya yang seru dan karakter-karakternya yang lucu. Ada Sinto Gendeng, sang guru, yang doyan ngewer di celana; Dewa Tuak yang suka bikin ngiler dengan tuak kayangannya; Raja Penidur si tokoh mahasakti dengan bobot 200 kati, yang sekali tidur baru bisa dibangunkan setengah tahun kemudian; Kakek Segala Tahu, peramal tua buta dengan kaleng berkerontangan di punggungnya; Dewa Ketawa dan Dewa Sedih yang susah diajak ngomong karena ketawa melulu dan nangis melulu. Lalu ada perseteruan abadi antara Wiro dan Pangeran Matahari; ada kisah cinta yang berliku-liku dan berbelit-belit dengan sejumlah gadis cantik nan sakti macam Dewi Bunga Mayat, Ratu Duyung, si rambut pirang Bidadari Angin Timur; kemudian ada kisah terdamparnya Wiro di negeri Latanahsilam, yang saat kembali ke tanah Jawa membawa tambahan rupa-rupa ilmu gaib nan sakti mandraguna.

Sehabis melahap seluruh buku serial Wiro Sableng yang mencapai hampir 200 judul, tokoh kita berteriak, “Sekarang aku mau baca Kho Ping Hoo!”

Serakan buku-buku Wiro Sableng lenyap, diganti sepuluh tumpuk buku masing-masing setinggi tubuh manusia.

“Wah, lima kali lebih banyak!”

Penggemar cersil memilih satu judul yang paling disukainya, Bukek Siansu. Kisahnya tentang seorang bocah ajaib yang belajar segala hal hingga menjadi manusia setengah dewa. Dia pertama kali membaca judul ini waktu SMA, dan segera saja dia terpesona. Hampir-hampir dia akan meniru tingkah si bocah: duduk bersila di atas batu di malam purnama dengan badan telanjang untuk menyerap energi bulan. Dibandingkan cersil Kho Ping Hoo, Wiro Sableng itu lebih mirip bikinan pemula.

Seraya menikmati Bukek Siansu berikut lanjutan ceritanya yang mencapai 17 judul – masing-masing terdiri dari puluhan jilid – penggemar cersil merasa-rasa ada sesuatu yang kurang. Tapi apa yang kurang itu, ia tak segera ingat. Diteruskannya membaca. Dan saat ia sampai di pertengahan seri Pedang Kayu Harum, tahulah ia apa itu. Dulu, waktu di dunia, membaca cerita silat selalu membuatnya lupa pada segala hal yang berbau “duniawi”, kecuali tuntutan alam yang memang tak bisa dihindari. Dia akan membaca tanpa henti dengan posisi dan tempat yang berganti-ganti. Dari duduk, telungkup, berbaring, nungging, telentang, berdiri, berjalan-jalan; di kasur, di beranda, di sofa ruang tamu, sambil makan di meja makan, sambil nongkrong di atas jamban, bahkan di kelas saat guru menerangkan pelajaran. Ibunya sering harus menjerit di kupingnya kalau ingin menyuruhnya melakukan sesuatu. Tak jarang ibunya membawakan penggebuk dari sapu ijuk jika waktu salat hampir berakhir sementara dia masih saja menungkuli buku. Walau leher dan punggung dan pinggang terasa pegal, mata berkunang-kunang, tidur kurang, justru di situlah letaknya kenikmatan membaca cerita silat.

Tetapi di surga, sejak awal membaca Wiro sampai kini Kho Ping Hoo, dia telungkup saja di kasur, tak merasakan apa pun yang membuatnya harus mengubah posisi.

“Aku ingin seperti di dunia!” teriaknya kepada pelayan surga.

“Seperti di dunia? Maksudnya apa, Tuan?” tanya pelayan yang selalu siap sedia.

“Aku pengin merasakan lapar, pegal-pegal, kebelet, dan lain-lain saat membaca cerita silat, seperti dulu waktu di dunia.”

“Ah, Tuan ini aneh, sudah enak di surga kok ingin seperti di dunia. Tapi baiklah, permintaan segera dipenuhi.”

Benar saja. Tak berapa lama setelah penggemar cersil meneruskan membaca sambil telungkup, terasa lehernya mulai pegal. Lalu ia membaca sambil duduk. Tak lama kemudian, ia berubah posisi menjadi telentang, lalu telungkup lagi, lalu berdiri sambil berjalan-jalan mengitari kamar dan terus membaca. Pada saat yang sama, ia pun merasakan kebelet pipis. Tapi ditahannya rasa itu dan ia terus membaca. Kebelet hilang, dan ia merasa seperti ingin makan. Hampir-hampir ia memesan makanan kalau tidak ingat bahwa ia tak akan menikmati apa pun sebelum buku-buku cersil tandas ia sikat.

Hmmh, benar-benar seperti di dunia, pikirnya, dan ia tersenyum geli sendiri.

Setelah menamatkan semua cersil Kho Ping Hoo, ia segera meminta cersil karangan Chin Yung. Waktu di dunia, ia tidak tahu kalau itu karangan Chin Yung, sebab nama yang sering tertera di sampul buku adalah O.K.T atau Gan K.H. Yang pertama diambilnya dari penyewaan buku adalah judul yang film serinya waktu itu tengah ramai diputar di televisi, Kembalinya Pendekar Rajawali, sebuah kisah penuh pertarungan tingkat tinggi dan jurus-jurus sakti dengan bumbu cinta yang mengharu-biru antara Yo Ko dan gurunya, Bibi Lung. Tapi karya Chin Yung yang paling disukainya ialah Pedang Putri Yueh dan Kisah Si Rase Terbang. Dibandingkan karya Kho Ping Hoo, cersil-cersil Chin Yung barulah boleh disebut karya sastra.

Berikutnya, tokoh kita memesan cersil-cersil dari Khu Lung. Berkilau-kilau matanya saat terpantul sebaris judul yang dulu pernah menggaungkan gema tak berkesudahan: Si Pisau Terbang Siau Li atau Pendekar Budiman. Ah, yang ini terakhir saja, pikir penggemar cersil. Dan mulailah dia dari judul-judul yang belum pernah dibacanya hingga kisah-kisah terbaik: Pendekar Harum, Pendekar Empat AlisPendekar BinalAnak Berandal, Pendekar Baja, Peristiwa Bulu Merak, Pendekar Riang, Harimau Kemala Putih, …. Penggemar cersil paling suka Khu Lung dibanding pengarang mana pun. Gaya berceritanya yang unik, dialog-dialognya yang cerdas, perumpamaan-perumpamaannya yang jenaka, pokoknya tak ada duanya.

Seusai menuntaskan Khu Lung, penggemar cersil masih membaca lagi beberapa judul cersil dari sejumlah pengarang, seperti Nagasasra Sabuk IntenMisteri dari Gunung MerapiTutur TinularSenopati Pamungkas, dan Pendekar Naga Bumi.

Ketika semuanya selesai, Ridwan bertanya, “Ada lagikah cersil yang ingin anda baca, Tuan?”

“Cukup. Biar kapan-kapan lagi. Sekarang aku ingin melanjutkan nazarku.”

”Apa itu, Tuan?”

“Aku ingin bertemu dengan para pengarang cersil itu. Soalnya waktu di dunia tidak sempat ketemu.”

”Siapa dulu yang ingin Tuan temui?”

”Sesuai urutan saja. Bastian Tito.”

“Baik, Tuan. Sekarang kedipkan mata anda.”

Bagai di zaman Raja Sulaiman, pikir penggemar cersil. Dan ketika ia mengedipkan mata, saat itu juga ia telah berada di tempat lain. Sebuah hutan. Atau taman. Dilihatnya seseorang dengan baju, celana, dan ikat kepala putih duduk di bawah pohon rindang. Orang itu menghadapi sebentuk laptop yang belum pernah dilihatnya ketika di dunia.

”Wiro?”

Pria berpakaian serba putih itu menoleh. Tersenyum. ”Aku Bastian Tito.”

Penggemar cersil terlonjak. ”Oh. Senang bertemu anda. Sepertinya anda sedang menulis. Maaf mengganggu, cerita apa yang anda tulis?”

”Aku ingin membuat serial Wiro Sableng yang lebih hebat, lebih seru, lebih kocak ketimbang yang pernah kubikin waktu di dunia.”

”Wow! Nanti saya baca ya. Saya penggemar berat Wiro Sableng.”

”Boleh. Tunggu saja semoga cepat selesai.”

”Baik, Pak Bastian. Kalau berkenan, tolong hubungi saya kalau ada yang sudah terbit.”

Bastian Tito mengangguk. Penggemar cersil kembali ke kamarnya.

”Sekarang aku ingin bertemu Kho Ping Hoo,” katanya kepada pelayan surga.

Malaikat Ridwan menghilang sejenak. Tak lama ia kembali dengan secarik informasi. ”Maaf, Tuan, rupanya permintaan yang ini tidak bisa dipenuhi.”

”Kenapa?”

”Orangnya tidak ada di surga.”

”Tidak ada di surga? Kalau Chin Yung?”

”Maaf, tidak bisa juga.”

”Khu Lung?”

”Sama, Tuan.”

”Lo, kok?”

”Setelah saya telusuri, ketiga orang itu ternyata masuk neraka semuanya.”

”Apa?! Bagaimana bisa di neraka?”

”Biasanya sih karena beda agama, Tuan.”

Penggemar cersil termangu. Dulu waktu menggemari cersil, ia tak pernah peduli agama penulisnya apa.

”Oh…. Padahal aku sangat ingin bertemu mereka. Aku ingin melihat wajah mereka secara langsung dan berbincang-bincang tentang cerita silat.”

”Waduh, penghuni neraka tidak bisa ditemui, Tuan. Jangankan melihat penghuninya, mendekati neraka dari jarak ribuan tahun saja kulit Tuan sudah akan terkelupas.”

”Katanya di surga segala permintaan akan terpenuhi. Masa minta ketemu tiga orang saja tidak bisa?”

Malaikat Ridwan mengangkat bahu.

”Lagi pula ini tidak adil,” lanjut penggemar cersil. ”Mereka semua orang baik, cerita-cerita mereka telah menghibur dan menginspirasi banyak orang. Tapi kenapa mereka masuk neraka?”

”Saya tidak paham, Tuan. Tapi setahu saya, hanya orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta beramal saleh yang berhak masuk surga.”

”He, pelayan, kamu tahu kenapa aku masuk surga? Sebab aku orang baik. Kenapa aku jadi orang baik? Karena cerita-cerita mereka telah menyadarkanku akan cinta kepada sesama manusia, bakti kepada orangtua dan guru, kerelaan berkorban, dan penghormatan kepada kebenaran.”

”Tuan masuk surga karena Tuan orang Islam.”

”Jadi hanya orang Islam yang masuk surga?”

”Tidak juga. Tapi sejak zaman Nabi Muhammad, nabi terakhir yang diutus Tuhan, hanya orang Islam yang boleh masuk surga.”

”Hmmh, sepertinya aku harus bertanya langsung kepada Tuhan. Katakan, bagaimana caranya bertemu Tuhan?”

”Kedipkan mata Tuan.”

Seketika itu juga penggemar cersil telah berganti pijakan. Sebuah alun-alun. Luas terbentang. Di sekelilingnya banyak sekali orang; ribuan, mungkin jutaan, semuanya berduyun-duyun menuju sebuah gerbang. Di balik gerbang itu tampaklah sebangun istana dengan puncak yang tak terjangkau ujung pandangan.

Di satu sisi gerbang, dilihatnya sekelompok manusia bergerombol terpisah dari lainnya. Ada yang aneh pada mereka. Di tangan tiap orang teracung poster atau umbul-umbul dengan tulisan macam-macam. Lalu di depan mereka, di tempat yang agak tinggi, seseorang berbicara dengan lantang.

Sungguh ganjil. Orang-orang itu tengah berdemonstrasi!

Penggemar cersil mengeja beberapa tulisan di poster itu. AKU INGIN BERTEMU MAHATMA GANDHI; BEBASKAN BUNDA THERESA DARI NERAKA; MASUKKAN NELSON MANDELA KE SURGA; WAHAI TUHAN, IZINKAN AKU BERBINCANG DENGAN ALBERT EINSTEIN TENTANG TEORI RELATIVITAS; MENGAPA ABRAHAM LINCOLN SI PEMBEBAS BUDAK TIDAK ADA DI SURGA?

Penggemar cersil melangkahkan kaki ke lokasi aksi. Sesampainya di kerumunan itu, ia melihat seseorang naik ke mimbar dan berorasi.

”Saudara-saudara sekalian, kali ini saya bicara untuk seorang teman dan tetangga saya. Dia bukan orang besar, bukan pula orang terkenal. Tapi kalaulah bukan karena kebaikannya, tentulah saya sekarang ini sudah terpanggang di neraka. Dulu saya orang miskin dan terpaksa hidup sebagai maling. Di saat kerabat-kerabat saya tidak satu pun yang peduli kepada saya, dia mengajak saya bekerja sama dalam sebuah usaha dagang. Perlahan-lahan kondisi ekonomi saya membaik, dan saya punya kesempatan memikirkan agama. Seandainya tidak ada dia, mungkin seumur hidup saya menjadi maling dan satu ketika mati digebuki massa. Tapi kenapa orang baik itu kini tidak bisa saya temui hanya karena agamanya berbeda dengan saya?”

Selagi orang itu berbicara, penggemar cersil bertanya kepada orang di sebelahnya bagaimana cara membuat poster.

”Lupa ya,” jawab orang di sebelahnya, ”di surga segala keinginan kan tinggal niat saja.”

Penggemar cersil menyahut, ”Kamu juga lupa ya, tuntutan kita yang ini kan belum terpenuhi?”

Lalu ia pun mengangkat posternya: MASA SIH AKU ENGGAK BISA MINUM ANGGUR BARENG CHIN YUNG DAN KHU LUNG?

Kumpulan demonstran semakin membludak. Satu demi satu bergantian mereka menyampaikan unek-unek.

Tiba-tiba sesosok malaikat berkelebat ke depan mereka. Wujudnya yang besar dan berwibawa membuat orang-orang diam terkesima. Malaikat itu berkata, ”Memangnya siapa kalian sampai hendak memintakan ampunan untuk orang lain? Kalian ini bisa masuk surga saja sudah untung. Iman cuma secuil, kalau bukan karena syafaat Sang Nabi, tentu kalian masih bercokol di neraka bersama orang-orang kafir dan musyrik yang kalian bela itu. Huh!”

Malaikat itu – barangkali dia Jibril, pikir penggemar cersil – merentangkan sayap-sayapnya hingga meliputi semua yang hadir. Lagi ia berkata, ”Aku tahu kalian ke sini bukan karena rindu kepada Tuhan. Tapi Tuhan Maha Pengertian. Kini Dia mengizinkan kalian bertemu langsung dengan-Nya.”

Pintu gerbang dibuka lebih lebar untuk para demonstran. Berebutan mereka masuk, menimbulkan bunyi gemuruh berkepanjangan.

Namun sesampainya di dalam istana, mendadak semua orang terpaku beku. Tak ada yang sanggup bergerak lebih jauh, tak ada yang bisa bersuara, tak ada yang mampu melakukan apa pun. Seluruh indra dan kesadaran telah tersedot ke satu arah. Di sana, di Singgasana, sebuah Pesona Agung membekuk segenap kedirian mereka.

Tuhan!

Dan semuanya jadi lupa, apa maksud kedatangan mereka semula. []

Tangsel, 2011

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *