Ini adalah tulisan lama, dibuat waktu penulis mengikuti mata kuliah Konseling dan Psikoterapi Islam (tahun 2005).
PENDAHULUAN
Maraknya aksi bom bunuh diri akhir-akhir ini menimbulkan kemarahan dan keheranan besar di kalangan masyarakat. Masyarakat marah dan mengutuk karena begitu besarnya korban dan kerusakan yang ditimbulkan oleh aksi itu. Tetapi fakta bahwa si pelaku secara sengaja turut menjadi korban dalam aksinya, sungguh sangat mengherankan dan membuat masyarakat bertanya-tanya. Tindakan membunuh orang lain sekaligus membunuh diri sendiri rasanya sangat sulit diterima akal sehat. Jika seseorang membunuh orang lain sedangkan dirinya tidak ikut terbunuh, itu masih mudah dipahami. Begitu juga jika orang membunuh dirinya sendiri tanpa mengikutsertakan orang lain sebagai korban, itu masih masuk akal. Tetapi jika orang meledakkan dirinya sendiri di tempat ramai, sehingga bukan hanya orang-orang disekitarnya yang menjadi korban melainkan juga dirinya sendiri, bagaimana hal itu bisa dijelaskan?
Berbagai hipotesis dan teori telah banyak diajukan. Tulisan ini mencoba untuk ikut mencari jawab atas permasalahan di atas. Fokus penyelidikan terutama ditujukan pada faktor motivasi atau alasan yang mendasari aksi bom bunuh diri. Apakah aksi itu dilakukan dengan sadar atau tidak, apa latarbelakangnya, atau adakah faktor gangguan kejiwaan pada pelaku bom bunuh diri, dan sebagainya. Apapun hasilnya, terlepas dari ada gangguan kejiwaan atau tidak pada para pelakunya, yang jelas tindakan bom bunuh diri telah menimbulkan kerusakan yang sangat besar bagi masyarakat, baik secara fisik maupun mental. Dilihat dari segi akibatnya saja, tindakan tersebut jelas-jelas merupakan kesalahan. Secara mental, efek yang paling terasa di masyarakat adalah munculnya ketakutan dan berkurangnya rasa aman dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Potensi bahwa sewaktu-waktu bom bisa meledak di sembarang tempat membuat masyarakat merasa terteror. Oleh karena itu pantaslah jika pelaku bom bunuh diri beserta segenap komplotannya dijuluki teroris.
Pemahaman akan fenomena ini sangat penting agar kita bisa melakukan pencegahan dan penanganan secara tepat. Psikologi sebagai ilmu yang menyelidiki perilaku manusia dan ditujukan untuk kemaslahatan umat manusia sudah seharusnya urun rembuk dalam masalah ini. Terlebih psikologi Islam dengan salah satu cabangnya psikoterapi Islam, suatu jawaban yang benar dan tawaran solusi yang tepat sangat diharapkan oleh masyarakat.
PEMBAHASAN
Motivasi[1]
Motivasi atau motif berasal dari kata Inggris “motion” yang berarti gerakan atau sesuatu yang bergerak. Jadi istilah motivasi erat kaitannya dengan “gerak”, dalam hal ini gerakan yang dilakukan oleh manusia, yaitu perbuatan atau tingkah laku. Motivasi dalam psikologi berarti rangsangan atau dorongan yang menggerakkan terjadinya suatu tingkah laku. Motivasi menunjuk kepada seluruh proses gerakan itu, termasuk situasi yang mendorong, dorongan yang timbul dalam diri individu, tingkah laku yang ditimbulkan oleh dorongan tersebut, dan tujuan atau hasil akhir dari tingkah laku.
Motivasi memunyai fungsi sebagai perantara pada manusia untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Suatu perbuatan dimulai dengan adanya ketidakseimbangan dalam diri individu. Keadaan tidak seimbang ini tidak menyenangkan bagi individu yang bersangkutan, sehingga timbul kebutuhan (need) untuk meniadakan ketidakseimbangan itu. Kebutuhan inilah yang menimbulkan motivasi untuk berbuat sesuatu. Setelah perbuatan itu dilakukan, tercapailah keadaan seimbang dalam diri individu, dan timbullah perasaan puas, gembira, aman, dan sebagainya. kecenderungan untuk mengusahakan keseimbangan dari ketidakseimbangan ini disebut prinsip homeostasis.
Keadaan seimbang ini tidak berlangsung untuk selamanya, karena setelah beberapa saat akan timbul ketidakseimbangan baru yang akan menyebabkan seluruh proses motivasi di atas diulangi. Jika diringkas, proses motivasi dimulai dari ketidakseimbangan, ketidakseimbangan menimbulkan kebutuhan, kebutuhan menimbulkan motif, motif memunculkan tingkah laku, dan tingkah laku menghasilkan keseimbangan. Lalu keseimbangan ini surut dan memunculkan ketidakseimbangan baru. Semua proses ini disebut lingkaran motivasi. Dari proses di atas, tampak bahwa motif adalah instansi terakhir yang diperlukan bagi terjadinya tingkah laku.
Sebagai contoh, seseorang merasa lapar. Ini adalah suatu keadaan tidak seimbang. Rasa lapar ini menimbulkan kebutuhan untuk menghilangkannya, maka orang tersebut termotivasi untuk makan karena makan bisa menghilangkan rasa lapar. Setelah makan, dia merasa kenyang. Keadaan kenyang adalah suatu keseimbangan. Tetapi setelah beberapa jam, dia merasa lapar lagi, dan inilah yang disebut ketidakseimbangan baru.
Frustrasi
Adakalanya, motivasi tidak memunculkan tingkah laku sehingga keadaan keseimbangan yang diharapkan tidak terjadi. Dari contoh tadi, jika orang yang lapar itu tidak mendapatkan makanan, misalnya karena dia miskin dan tidak punya uang, dia tidak jadi makan sehingga keadaannya tetap lapar. Karena orang tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhannya, dia bisa mengalami kekecewaan atau frustrasi.
Frustrasi adalah keadaan tidak tercapainya kepuasan atau tujuan yang diharapkan akibat adanya halangan atau rintangan dalam usaha mencapai kepuasan itu. Halangan itu bisa berasal dari luar, misalnya seseorang ingin membaca buku dengan tenang tetapi lingkungan sekitarnya selalu ribut; bisa dari dalam individu itu sendiri, yaitu berupa ketidakmampuan orang itu untuk memenuhi kebutuhannya, misalnya seseorang ingin membeli kamus psikologi seharga 40 ribu, tetapi uangnya hanya 10 ribu; atau bisa juga karena ada konflik motivasi, misalnya seseorang ingin membeli baju atau membeli buku, keduanya perlu, tetapi uangnya hanya cukup untuk membeli salah satu.
Tidak setiap halangan akan menimbulkan frustrasi, bergantung pada apakah individu kemudian mampu menghadapi halangan itu atau tidak. Ada beberapa cara untuk menghadapi atau bereaksi terhadap rintangan, antara lain bertindak secara eksplosif (mengeluarkan ucapan tanda kekesalan), melakukan kompensasi (mengganti motif pertama dengan motif kedua), introversi (menarik ke dalam diri individu, misalnya melamun), sublimasi (mengalihkan tujuan dengan ciri yang hampir sama dengan tujuan awal, namun memiliki nilai sosial dan etis yang lebih tinggi), dan melakukan reaksi psikopatis (menabrak saja halangan itu tanpa peduli akibatnya).
Di antara beragam reaksi itu, ada satu reaksi yang biasanya menimbulkan dampak sosial merugikan, yakni reaksi psikopatis. Halangan yang menghambat pemenuhan motif individu bisa bersifat fisik-material (pagar tinggi, uang tidak cukup), atau halangan yang berupa larangan-larangan berdasarkan sopan santun, adat istiadat, aturan agama, atau hukum negara. Ada segolongan orang yang tidak peduli dengan aturan-aturan itu, tidak apa-apa melanggar aturan yang penting tujuannya tercapai. Orang semacam ini akan mudah melakukan pencurian ketika membutuhkan uang, melakukan pemerkosaan ketika seorang gadis di pinggir jalan membuat hasrat seksualnya naik, atau melakukan kejahatan lainnya. Istilah psikopat ditujukan kepada orang yang menderita kelainan mental berupa daya penyesuaian sosial yang tidak tepat atau tidak normal, dan kadang-kadang dimaksudkan untuk menyebut seorang kriminal yang melakukan kejahatan akibat suatu gangguan kejiwaan. Karena tidak memedulikan tata tertib dan aturan moral, seorang psikopat tidak dapat diterima oleh masyarakat yang menjunjung tinggi aturan moral itu.
Bom Bunuh Diri
Bunuh diri adalah suatu kejahatan yang aneh. Kejahatan karena bentuknya pembunuhan. Aneh karena yang dibunuh adalah diri sendiri. Pada orang yang bunuh diri, setidaknya ada empat status yang bisa diberikan. Pertama, ia adalah pelaku kejahatan, yaitu sebagai pembunuh. Kedua, ia adalah korban yang terbunuh. Ketiga, karena telah melakukan kejahatan, ia lalu menjadi terdakwa yang kemudian dihukum mati. Keempat, ia juga yang menjadi eksekutor atas pelaksanaan hukuman mati itu. Karena semua pekerjaan itu sudah dia lakukan dengan baik, orang-orang luar tinggal mendapat satu tugas, menjadi tukang kubur.
Meskipun keempat status itu tercantum sekaligus, orang yang bunuh diri biasanya lebih dianggap sebagai korban daripada pelaku kejahatan. Orang-orang percaya bahwa perbuatan bunuh diri tidak mungkin dilakukan oleh orang yang sehat, waras, dan normal. Jika seseorang melakukan bunuh diri, kemungkinan dia gila atau setidaknya mengalami beban hidup yang tidak tertanggungkan. Oleh karena itu orang-orang, termasuk keluarga korban, tidak pernah mengutuk pelakunya. Mereka malah menyayangkan dan menyesal tidak sempat mencegah.
Tetapi bunuh diri adalah suatu peristiwa biasa; setidaknya kita sering mendengar kasusnya. Ada anak tidak mampu membayar SPP, gantung diri. Kekasih berkhianat, menyilet nadi sendiri. Utang terlalu banyak, lompat dari gedung tinggi. Beban hidup terlalu berat, bunuh diri. Dan sebagainya.
Sementara aksi bom bunuh diri lebih aneh lagi. Perbuatan ini tidak pernah dilakukan di tempat sepi, melainkan di tempat ramai atau ruang publik. Tentu saja, di samping si pembawa bom, yang menjadi korban adalah juga orang-orang yang ada di sekitar tempat kejadian. Karena jumlah korban yang relatif banyak inilah, pelaku bom bunuh diri lebih dipandang sebagai pelaku kejahatan ketimbang sebagai korban, meskipun ia juga terbunuh. Orang-orang mengutuk pelaku bom bunuh diri, dan lebih-lebih komplotannya yang masih hidup, tak peduli mereka waras atau gila.
Tentu saja mengutuk pelaku kejahatan lebih mudah ketimbang memahaminya. Seperti kata filosof dan sastrawan Rusia Fyodor Dostoevsky, “Tidak ada yang lebih mudah daripada mengutuk pelaku kejahatan, tetapi tidak ada yang lebih sulit daripada memahaminya.” Tetapi dibandingkan dengan berbagai bentuk kejahatan lain, bom bunuh diri termasuk fenomena yang paling sulit dipahami. Jika orang melakukan bunuh diri sendirian, kita bisa menjelaskan, mungkin orang itu mengalami frustrasi atau beban hidup yang sangat dalam. Jika seseorang membunuh orang lain dan memotong-motong mayatnya secara kejam, kita juga bisa memerkirakan, mungkin si pembunuh itu sangat dendam kepada korbannya, dan dia melakukan mutilasi agar lebih mudah melenyapkan jejak kejahatannya. Bahkan jika pun terjadi pembunuhan massal yang memakan korban ribuan orang, sebuah penjelasan masuk akal akan mudah kita peroleh, sepanjang si pelaku kejahatan tidak ikut mengorbankan dirinya.
Jadi di sinilah, yaitu bahwa si pelaku secara sengaja ikut menjadi korban akibat tindakannya, titik paling misterius dari fenomena bom bunuh diri.
Motivasi Pelaku Bom Bunuh Diri
Sampai saat ini, belum ada penjelasan yang bisa diterima secara memuaskan mengenai motivasi yang ada di balik tindakan bom bunuh diri. Berbagai hipotesis dan teori diajukan oleh para ahli, namun tampaknya sampai saat ini belum ditemukan faktor tunggal yang bisa dicocokkan dengan berbagai aksi bom bunuh diri di seluruh dunia. Atau barangkali faktor tunggal itu tidak ada dan tidak perlu dicari.
Kita mulai dengan memeriksa berbagai dugaan yang banyak diajukan orang. Dugaan pertama, barangkali para pengebom bunuh diri itu adalah orang gila atau mereka yang mengalami gangguan kejiwaan. Untuk memeriksa dugaan ini kita perlu menyelidiki latar belakang para pelaku bom bunuh diri. Dari kasus yang terbaru, Bom Bali II yang terjadi pada 1 Oktober 2005, terungkap pelakunya adalah Misno, Salik Firdaus, dan Aip Hidayat. Menurut kesaksian keluarga, tetangga, dan teman-temannya, ketiga pelaku adalah orang-orang yang biasa-biasa saja, berkepribadian baik, ramah, dan menaruh hormat pada orang tua. Mereka bergaul dan diterima baik oleh lingkungannya. Ketiganya tidak berpendidikan tinggi, maksimal setingkat SMU, dan bukan dari kalangan berada.[2]
Sementara itu empat pelaku bom bunuh diri di London Inggris, 7 Juli 2005, semuanya berasal dari keluarga yang cukup makmur dan berpendidikan tinggi. Mohamad Sidique Khan adalah seorang ayah dan asisten guru. Shehzad Tanweer, pemuda pecinta olahraga kriket, adalah lulusan sekolah sains. Tak satu pun dari empat orang itu pernah terlibat tindak kriminal, juga tidak ada yang menunjukkan gejala gangguan mental. Bahkan Mohammed Atta, pelaku pembajakan pesawat pada peristiwa 11 September 2001 di WTC Amerika Serikat, meraih master di bidang urban planning dari The Technical University of Hamburg, Jerman.[3]
Berdasarkan berbagai studi, mayoritas pelaku bom bunuh diri merupakan orang-orang yang diterima baik oleh komunitas mereka dan juga berpendidikan baik. Mereka juga tidak melakukan aksi karena kelainan psikologi. Ariel Merari, psikolog dari Tel Aviv University, Israel, yang melacak latar belakang pelaku bom bunuh diri di Timur Tengah sejak 1983, menemukan sedikit pelaku yang memiliki gejala penyakit mental atau karena pengaruh obat-obatan dan minuman keras.[4]
Tiga contoh kasus di atas cukup menjadi bukti bahwa pelaku bom bunuh diri bukanlah seorang yang mengalami gangguan mental, melainkan orang normal dan sehat. Hal itu juga menepis anggapan lain bahwa terorisme disebabkan oleh faktor kemiskinan atau ketidakadilan ekonomi. Menurut Hudson dalam bukunya “Who Becomes terrorist and Why” (2002), kemiskinan mampu menumbuhkan deprivasi relatif, yaitu perasaan bahwa seseorang mengalami ketidakadilan. Rasa ketidakadilan inilah yang potensial memicu tindakan teror.[5] Misno dkk, begitu juga para pelaku bom bunuh diri yang lainnya di Indonesia memang rata-rata berasal dari kalangan ekonomi lemah. Tetapi para pelaku bom London dan WTC adalah kalangan berada sehingga bisa mengakses pendidikan dan pengetahuan tinggi.
Setelah faktor kelainan mental dan kemiskinan bisa ditepiskan, dugaan lainnya ditujukan pada faktor ajaran agama tertentu yang dianut pelaku bom bunuh diri, khususnya Islam. Dugaan ini sangat kuat dihembuskan terutama oleh Amerika dan sekutunya pascatragedi 11 September. Invasi ke Afganistan dan Irak pasca-11 September adalah realisasi dari tuduhan tersebut.
Dugaan ini tampaknya hampir mendekati kebenaran jika melihat sebagian besar pelaku bom bunuh diri belakangan ini adalah beragama Islam. Bernard Lewis, seorang peneliti Islam, menulis dalam nada menyindir, “Sebagian besar umat Islam bukanlah fundamentalis. Sebagian besar fundamentalis bukanlah ekstrimis. Sebagian besar ekstrimis bukanlah teroris. Tetapi sebagian besar teroris adalah orang Islam.”
Imam Samudra, dalam bukunya Aku Melawan Teroris, menolak aksi yang dilakukan kelompoknya itu disebut bunuh diri. Ia menyebut tindakannya itu istisyhâd (إستشهاد), artinya memburu syahid. Bunuh diri, menurut Imam Samudra, dilatarbelakangi oleh frustrasi, sedangkan istisyhâd bertujuan untuk menegakkan kalimatullah, memerjuangkan Islam, berangkat dari niat yang ikhlas, dan dengan azzam (tekad) yang bulat.[6] Dari penjelasan salah satu terdakwa Bom Bali I ini, sekarang sudah divonis mati, tampak bahwa tindakan meledakkan diri di tempat umum dilatarbelakangi oleh motif agama.
Hal itu diperkuat oleh pernyataan para pelaku bom bunuh diri menjelang terjadinya bom Bali II. Seperti terungkap dalam rekaman VCD yang ditemukan polisi dari rumah seorang tersangka, Misno menyatakan, “Sekarang saya sudah berada di jannah (surga), insya Allah. Nyawa orang yang mati syahid bagaikan berada di perut burung hijau yang terbang ke jannah. Jangan sekali-kali menyangka orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati, padahal mereka hidup.”[7]
Ucapan tersebut mencerminkan keyakinan yang tinggi akan kemuliaan yang akan diperoleh setelah kematian. Kematian mereka adalah syahid, yakni mati karena berjuang di jalan Allah. Orang yang mati syahid dijamin masuk surga. Dalam pemahaman pelaku bom bunuh diri, meledakkan diri di tempat umum sama dengan berjuang membela agama Allah. Balasan bagi mereka adalah kehidupan abadi di surga yang penuh kenikmatan.
Tetapi jika kita lihat sejarah aksi bom bunuh diri, tampak bahwa aksi ini tidak hanya dilakukan oleh orang Islam. Pada perang dunia kedua, para pilot Jepang melakukan aksi kamikaze dengan cara menghantamkan pesawat yang dikendalikannya ke markas musuh. Pengebom Libanon pada 1980 adalah seorang Kristen sekular. Para pelaku bom bunuh diri gerilyawan Tamil di Srilanka beraliran Marxisme-Leninisme. Ada lagi Timothy McVeigh seorang Kristen fanatik yang melakukan pengeboman di gedung federal Oklahoma pada 19 April 1995 yang mengakibatkan 168 orang tewas, termasuk 19 anak-anak. Lalu Yashuo Hayashi yang menyebarkan gas sarin di kereta bawah tanah di Tokyo Jepang pada 20 Maret 1995 sehingga menyebabkan 12 orang tewas adalah seorang penganut aliran Aum Shinrikyo.
Meskipun faktornya beragam, tampaknya benar bahwa tiap-tiap faktor itu memunyai potensi menyumbang motivasi bagi aksi bom bunuh diri. Gangguan jiwa atau frustrasi adalah faktor utama tindakan bunuh diri biasa, sehingga bukan tidak mungkin ikut menyumbang kepada tindakan bom bunuh diri. Kemiskinan berpotensi menimbulkan perasaan diperlakukan tidak adil. Di banyak tempat, terbukti faktor ini sering menimbulkan kerawanan sosial. Orang-orang miskin juga mudah dipengaruhi oleh tawaran ideologi alternatif yang menawarkan suatu perjuangan. Terbukti, komunisme pernah mencatat sukses mendapatkan banyak pengikut di banyak negara miskin. Faktor pemahaman agama yang ekstrim juga bisa menjadi justifikasi teologis bagi sahnya aksi bunuh diri. Agama apapun bisa dipahami secara ekstrim. Bahwa sekarang pelaku teror mayoritas beragama Islam, itu didukung oleh faktor-faktor lainnya seperti kemiskinan dan ketidakadilan yang dialami umat Islam di beberapa wilayah tertentu seperti Palestina, Afganistan, dan Irak.
Ketidakadilan yang dialami umat Islam di Palestina dan Afganistan itu memunculkan solidaritas yang kuat di kalangan umat Islam di berbagai dunia. Bagi Imam Samudra, Ali Gufron, Amrozi, dkk. yang pernah merasakan berjihad di medan perang Afganistan, semua itu menjadi luka yang harus dibayar oleh mereka yang melakukan ketidakadilan itu. Lolongan bangsa Afgan, tangis bayi-bayi dan jeritan anak-anak yang kehilangan orang tuanya, menumbuhkan rasa kesakitan yang luar biasa di hati Imam Samudra. Maka Imam Samudra berteriak, “Ini aku, saudaramu… Ini aku, datang dengan secuil bombing… kan kubalaskan sakit hatimu… kan kubalaskan darah-darahmu… darah dengan darah… nyawa dengan nyawa!… qishash!!”[8]
Apa yang dirasakan Imam Samudra adalah suatu solidaritas global yang didasarkan pada kesamaan identitas sosial, yaitu agama Islam. Faktor kesamaan identitas inilah yang tampaknya menjadi faktor pemersatu sehingga aksi-aksi bom bunuh diri menjadi aksi yang berdimensi global. Ketika penindasan dan penderitaan dialami oleh orang-orang Islam di suatu negeri, umat Islam di negeri lain ikut merasakan penderitaan itu. Identitas sosial, atau kesamaan kelompok, lebih kuat daripada faktor psikologis individu. Dalam sebuah kelompok, terjadi kategorisasi “kita” vs “mereka”, atau “kami” vs “kalian”. Segala atribut kelompok itu menjadi identitas sosial bagi orang-orang dalam kelompok tersebut. Maka segala ancaman yang dialami oleh sebagian kelompok, merupakan ancaman terhadap kelompok secara keseluruhan.
Faktor identitas kelompok ini tampak jelas ketika dalam cuplikan VCD itu para pelaku berbicara dengan menggunakan atribut-atribut yang identik dengan Islam, yaitu bahasa Arab, baju gamis, dan penutup kepala kafiyeh. Begitu juga dalam aksi-aksi bom bunuh diri yang dilakukan oleh identitas di luar Islam. Gerilyawan Tamil melakukan aksinya, yang bahkan sampai membunuh presiden Sri Lanka, karena solidaritas kelompok mereka yang merasa tertindas baik secara politik maupun ekonomi. Pilot-pilot kamikaze merelakan tubuh dan pesawatnya hancur demi kemenangan kelompoknya, yaitu bangsa Jepang.
Tawaran Solusi
Mengingat kompleksnya permasalahan bom bunuh diri dan terorisme, maka penanganannya tidak mungkin dilakukan secara parsial. Tidak ada satu bidang ilmu yang akan sanggup menjelaskan fenomena ini secara utuh, dan tidak ada satu pihak yang bisa menyelesaikan persoalan ini hingga tuntas. Penanganan terorisme harus dilakukan secara simultan, melibatkan ahli di berbagai bidang ilmu, disertai kerjasama semua pihak yang terkait, dan tentu saja dukungan masyarakat.
Di mana peran psikologi, khususnya psikologi dan psikoterapi Islam? Suatu ilmu bertujuan untuk memberikan penjelasan melalui teori. Dengan teori itu, kita dapat melakukan perkiraan mengenai apa yang akan terjadi sehingga kita bisa mengontrolnya.
Sampai saat ini, penanganan terorisme didikte oleh cara-cara Amerika Serikat dan sekutunya. Sebetulnya mereka hanya ingin memerkuat dominasi dan hegemoninya atas dunia. Agresi terhadap Afganistan dan Irak adalah tindakan yang sangat keliru kalau tujuannya untuk melenyapkan terorisme, tetapi mungkin tepat untuk mengekalkan dominasi politik dan ekonomi mereka. Invasi itu justru malah semakin menyuburkan benih-benih terorisme yang akan menyebar ke seluruh dunia. Amerika menghancurkan teroris dengan melakukan terorisme. Tentu saja yang terjadi adalah dendam.
Oleh karena itu, psikoterapi Islam dituntut untuk bisa memberikan sumbangan keilmuan yang penting bagi penanganan terorisme ini, dengan jalan mencari akar masalahnya, sekaligus mencarikan solusi yang didasarkan pada akar masalah itu.
Misalnya, karena faktor kelompok sangat berpengaruh terhadap persepsi dan motivasi seseorang, maka lingkungan sosial memegang peran yang penting dalam menciptakan iklim yang penuh persaudaraan dan toleransi. Para pelaku teror rata-rata bukanlah orang yang tidak sadar ketika melakukan aksinya. Justru mereka sangat sadar dan melakukan itu dengan keyakinan penuh bahwa mereka akan memeroleh kemuliaan setelah kematian. Maka kemudian yang harus dilakukan juga adalah penyadaran kepada masyarakat akan pemahaman keagamaan yang menjunjung tinggi prinsip Islam sebagai rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh alam.
Wallahu a’lamu bil-shawab.
Referensi:
- Mubarok Achmad, Prof. Dr., Pencegahan Terorisme dengan Pendekatan Islamic Indigenous Psychology, Pidato Pengukuhan Guru Besar di UIN Syahid Jakarta, 2005.
- Samudra, Imam, Aku Melawan Teror, Solo: Jazeera, 2004.
- Sarwono, Sarlito Wirawan, Pengantar Psikologi, Jakarta: Bulan Bintang, 2000.
- Harian Media Indonesia, Kamis 24 November 2005.
[1] Teori motivasi yang disajikan di sini disarikan dari buku karangan Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umum Psikologi, Jakarta: Bulan Bintang, 2000, hal. 56-68.
[2] Media Indonesia, Kamis 24 November 2005, hal. 15.
[3] Media Indonesia, Kamis 24 November 2005, hal. 15.
[4] Dikutip dari Media Indonesia, Kamis 24 November 2005, hal. 15.
[5] Dikutip dari Media Indonesia, Kamis 24 November 2005, hal. 15.
[6] Imam Samudra, Aku Melawan Teroris, Solo: Jazeera, 2004, hal. 183.
[7] Dikutip dari Media Indonesia, 24 November 2005, hal. 15.
[8] Imam Samudra, Aku Melawan Teroris, sampul belakang.