cerpen mempermainkan takdir

Pagi cerah. Tampak dari jendela yang baru saja dibuka karena hawa di dalam mulai terasa gerah.

Mempelai perempuan telah selesai dirias. Kini dia tercenung seraya melayangkan pandang ke luar jendela. Dia teringat hari kemarin. Pagi-pagi juga, persis sekarang ini. Hanya tempatnya berbeda.

Di kamarmu.

Di kamarmu juga ada jendelanya.

”Apakah langit tetap biru di bagian yang tidak tampak dari jendela?” tanyamu.

”Buktikan saja,” katanya.

Kau beranjak. Tapi lalu merebah lagi. ”Hanya orang dungu yang berbuat begitu.”

Dia terkikik.

Tapi kau malah bangkit dan beringsut ke depan jendela.

”Memang biru,” ujarmu.

Dia tertawa.

”Tak ada salahnya sesekali jadi orang dungu,” katamu lagi.

Dan tawanya kian berderai.

Kau merebahkan badanmu kembali di sampingnya.

”Kamu tidak menyesal?” kau bertanya pelan.

”Memang kamu ini tidak sabaran.”

Kau tertawa.

”Padahal pernikahan kita tinggal sehari lagi,” katanya melanjutkan.

”Jika dihitung dari masa empat tahun pacaran kita, aku termasuk sabar,” kilahmu.

”Sabar apa? Kalau bukan aku yang selalu mengingatkan, tentu sudah dari dulu kita kebablasan.”

”Lalu kenapa hari ini kamu tidak mengingatkan aku?”

Ah, mungkin karena memang tinggal sehari. Mempelai perempuan menghela nafas. Jadi buat apa disesali? Toh bukan dengan lelaki lain.

***

Dari jendela yang terbuka, anak-anak dan gadis-gadis melongok ke dalam. Mereka tampak riang, tersenyum, tertawa, mengomentari dandanan mempelai perempuan.

”Cantik banget, Kak.”

”Kayak bidadari.”

Mempelai perempuan tersenyum.

Dia ingat, pernah dia menampar pipimu waktu pertama kali kau berusaha menciumnya. Tapi dia lalu minta maaf padamu setelah sebelumnya berulang-ulang kau minta ampun. Bulan-bulan berikutnya dia membolehkanmu memeluknya, tapi baru di tahun kedua dia mengizinkanmu menciumnya. Waktu itu dia memang masih lugu, masih anak baru.

Di tahun ketiga pacaran, saat kau memasuki semester delapan dan dia semester enam, kau pindah ke kosan yang lebih kondusif untuk mengerjakan skripsi. Itu juga berarti lebih kondusif untuk pendalaman hubungan jasmaniah antaramu dengannya. Sebelumnya kau tinggal beramai-ramai dengan teman-teman seangkatanmu.

Kepadamu dia telah sangat percaya. Tentu saja, tiga tahun adalah masa yang tidak setiap pasangan bisa bertahan. Dia sering berkunjung ke kamarmu di waktu-waktu yang diizinkan oleh norma sosial. Tapi kosanmu sering sepi meski di siang hari. Maka apa pun bisa terjadi dan sangat mudah untuk terjadi.

Kecuali kalian berdua atau salah satu dari kalian tidak mengizinkan.

Dan begitulah. Meski hubunganmu dengannya telah begitu jauh, dia tetap bisa menjaga benteng pertahanannya yang terakhir. Bukan karena kau tak pernah berusaha, sebab laki-laki hampir tak punya risiko, tapi dia tak pernah sepenuhnya kehilangan kesadaran meski kau telah mencumbunya sepanas yang kau bisa.

Kecuali hari kemarin.

***

Hingga malam tadi, mempelai perempuan terus memikirkannya dengan seribu pertanyaan bernada mengapa. Empat tahun sanggup bertahan, mengapa satu hari tidak? Hal itu membuat wajahnya agak berawan. Bukan hamil yang dia takutkan, sebab orang-orang tak akan bisa membedakan apakah itu hasil malam pertama atau hari sebelumnya. Dia hanya merasa perasaannya agak tidak nyaman. Bahkan sangat tidak nyaman, sebab dia tahu itu dosa.

Tapi pagi ini dia telah memutuskan untuk tidak menyesalinya. Toh dia melakukannya denganmu dan hari ini kau akan menjadi suaminya.

Dan dosa? Ah, bukankah pacaran itu sendiri dosa? Jangankan berpelukan dan berciuman, berkhayal tentang itu saja sudah dosa. Jadi betapa banyak dosaku, pikir mempelai perempuan, ditambah satu lagi tidak akan kentara.

Dan senyumnya kini menjadi guram, sebab dia sadar telah berani meremehkan sesuatu yang terlarang.

Di tempat lain, kau pun tersenyum. Setiap orang yang bertemu pandang denganmu pasti kau beri senyum. Hari ini memang milikmu. Kau tampak semakin tampan dengan jas hitam, dasi, dan celana bahan yang kau pesan sendiri di tukang jahit langganan bapakmu. Kau berdiri di samping pintu sedan pinjaman yang akan mengantarmu ke rumah mempelai perempuan. Beberapa kerabatmu dan tetangga sibuk mengatur mobil-mobil pengiring dan para penumpangnya.

Ketika persiapan selesai, kau pun masuk ke dalam mobil.

”Rombongan besan baru saja berangkat,” terdengar suara seseorang memberi tahu kepada ayah dari mempelai perempuan. Itu artinya sekitar dua jam lagi akad nikah akan dilaksanakan.

Mempelai perempuan berdoa dengan hati berdebaran, semoga kau dan rombonganmu selamat sampai tujuan.

***

”Pagi secerah ini, cocok untuk melakukan apa pun.” Dia teringat lagi perkataanmu kemarin.

”Cocok untuk mengantar undangan,” timpalnya. Pagi kemarin dia memang sengaja datang ke kamarmu untuk mengambil beberapa surat undangan yang belum tersebar, yang seharusnya menjadi tugasmu. Kau terlalu sibuk, atau begitulah kau selalu merasa.

”Tapi tidak perlu buru-buru,” ucapmu, seraya mencucup telinganya yang lantas memerah.

”Kamu yang selalu terburu-buru,” dia melintangkan dua jarinya di bibirmu yang sudah siap beraksi lagi.

”Untuk soal yang satu ini kekecualian.”

Dan entah bagaimana caranya, tahu-tahu dia sudah rebah di bawahmu.

“Besok saja,” dia merintih.

“Aku ingin sekarang.”

“Besok kita menikah.”

“Aku tak tahan lagi.”

”Jangan.”

Tapi ucapannya tidak seirama dengan reaksi fisiknya. Soal ini kau sudah hafal benar. Yang tampaknya tidak kau duga adalah bahwa kali itu kau benar-benar mendapatkannya. Mendapatkan dia seutuhnya. Dia terkejut dan terpekik saat menyadari bagian terdalam dari dirinya telah tertembus sesuatu.

Biasanya tidak sampai begitu.

***

Mempelai perempuan terlonjak dari duduknya saat melihat kau dan rombonganmu datang. Aku benar-benar akan jadi istrinya, sorak hatinya.

Kau dan rombongan keluargamu disambut dengan meriah oleh keluarga mempelai perempuan, lalu dipersilakan duduk di teras rumah. Acara pun dimulai. Pembukaan. Penyerahan. Penerimaan. Lalu akad nikah, dipimpin oleh bapak penghulu dari KUA.

Mempelai perempuan, dengan kedua tangan dituntun oleh ibunya dan bibinya, keluar dari kamar rias, lalu didudukkan di sebelahmu. Kau meliriknya sekejap. Matamu mengedip. Dia tersenyum tipis.

Selanjutnya, bapak penghulu berbicara setelah mendapat mandat dari wali mempelai perempuan.

”Saya nikahkan A binti B dengan C bin D, dengan maskawin sepuluh gram emas, tunai.”

Itulah ijab nikah. Dan kau harus menjawabnya dengan kabul.

”Ssssay … say…” Tapi suaramu gagap.

Orang-orang yang menyaksikan tergelak.

Bapak penghulu tersenyum. ”Ayo, coba lagi.”

”Sssasa.. say..”

Kau masih belum bisa berucap dengan betul. Orang-orang riuh. Terdengar komentar di sana-sini. Mempelai yang gugup saat mengucap akad nikah, kejadian macam begini memang bukan hal yang aneh.

”Coba ikuti kata-kata saya,” kata penghulu mencoba menuntun. ”Saya terima nikahnya…”

Bukan kau tak tahu jawabannya. Kau sudah sering melatihnya, sering pula menyaksikan kawan-kawanmu yang lebih dulu berakad nikah. Tapi entah kenapa saat harus melakukannya sendiri, kau tampak gelagapan.

Dan betapa semua orang tersentak saat kalimat yang meluncur dari bibirmu adalah, ”Saya menolak.”

Bapak penghulu melongo. Dia menatapmu, lalu ayahmu.

”Jangan main-main, nak,” kata ayahmu.

”Saya menolak menikah dengan A binti B,” ulangmu.

Mendadak sebuah tangis meledak. Calon pengantinmu. Dia bangkit dan berlari masuk kamar. Terdengar bunyi pintu menjeplak. Ibunya dan ibumu menyusul, juga para perempuan.

”Jawab yang benar!” Suara ayahmu naik.

”Saya tidak main-main, ayah,” jawabmu tetap datar.

Tiba-tiba sebuah tangan menggamparmu. Disusul beberapa tangan kekar merajang tubuhmu. Ayahmu, calon mertuamu, calon iparmu, para saudara dan tetangga, semua melayangkan tinju.

Kau tak melawan, dan memang tenagamu tak memungkinkan.

Ketika pukulan-pukulan telah mereda, kau terkapar di lantai dengan kerah baju berada dalam cengkraman tangan ayahmu dan calon mertuamu. Bajumu robek-robek, sekujur tubuhmu lebam dan berdarah.

”Gila kamu!” bentak ayahmu. ”Kamu mau permalukan ayahmu, keluarga kita, dan menyakiti menantuku?”

”Mohon sabar semuanya,” seru petugas KUA yang saat kejadian tadi menyingkir ke tepi. ”Mungkin kita perlu tanya dulu, apa maksud dia melakukan ini.”

Dengan satu hentakan, ayahmu memaksamu berdiri. ”Jawab, kenapa kamu berbuat begini?”

Hening.

Kasus seperti ini memang belum pernah terjadi. Kadang-kadang ada kejadian di mana mempelai melarikan diri, atau calon pengantin mengucapkan akad nikah seraya berurai air mata, atau kekacauan karena kehadiran tamu tak diundang, atau mempelai yang kedapatan menggantung diri di kamar rias. Namun baru kali ini ada pengantin pria yang dengan tenang, setelah pura-pura gugup, menyatakan menolak sebuah ijab nikah.

Dari dalam kamar, terdengar isak lepas mempelai perempuan.

Kau menegakkan muka. Kerah bajumu masih dicengkram ayahmu.

”Lekas jawab!”

Dan kau menjawab, tenang dan datar.

”Selama ini, manusia selalu dipermainkan oleh takdir. Kali ini, aku hanya ingin agar sekali-kali manusialah yang mempermainkan takdir.”

Semua diam.

Tidak mudah bagi mereka untuk mencerna jawabanmu.

Isak tangis kini terdengar tertahan. Pintu kamar terbuka. Dengan gaun pengantin yang telah copot sebagian dan sanggul yang berantakan, mempelai perempuan keluar dan bertanya kepadamu, ”Kamu, apakah kamu mencintaiku?”

”Ya,” jawabmu.

”Apakah sekarang masih mencintaiku?”

”Ya.”

”Dan apakah.., apakah kamu ingin menikah denganku?”

”Tidak.”

Dia menatapmu lama sekali, mencoba menemukan satu kepastian di matamu. Setelah empat tahun berhubungan, baru sekarang dia sadar belum sepenuhnya mengerti tentang dirimu. Tapi dia berhasil mengingat satu hal: kau adalah sejenis orang yang selalu ingin hari ini berbeda dengan hari sebelumnya, semacam orang yang selalu mencoba hal-hal yang tidak pernah dipikirkan atau dilakukan orang lain.

”Apakah… aku punya salah padamu?” tanyanya lagi, masih penasaran.

”Tidak ada.”

”Tapi mengapa?”

Dengan nada suara masih sedatar permukaan telaga, kau berkata, ”Aku hanya ingin membuktikan bahwa sekali-kali manusia bisa mengelak dari takdir, bahwa manusia bisa menderita atau bahagia bukan karena sesuatu yang dipaksakan kepadanya dari luar, tapi karena dirinya sendiri, atau barangkali tidak karena alasan apa pun.”

Kecuali Tuhan, mungkin tak ada yang mengerti apa yang ada di pikiranmu. Baru saja kau bicara tentang mempermainkan takdir. Memangnya filsafat macam apa yang kau ingin tentang? Dan mengapa korbannya adalah kekasihmu, calon istrimu, orang yang kau cintai dan mencintaimu, perempuan yang telah berbagi luar dalamnya denganmu?

Bahkan kau mengorbankan kebahagiaanmu sendiri. Kau kehilangan dia. Dan bukan itu saja. Segera setelah itu, kau pun dibawa ke kantor polisi, disidang dengan kasus penghinaan dan pencemaran nama baik, lalu dituntut enam tahun penjara.

Kau tak membela diri. Mungkin kau memang ingin merasakan penjara. Di sana barangkali kau akan mengarang novel dan buku filsafat yang tebal-tebal. Sering kau mengeluh mengapa Tuhan hanya menyediakan 24 jam dalam sehari semalam, itu pun harus dipotong tidur dan makan, dan terutama bekerja mencari uang, sehingga waktu untuk menulis menjadi sangat kurang.

Kau pun menolak tim bantuan hukum yang dimintakan tolong oleh ibumu. Entah apa alasannya, kau tak mengatakan.

”Biarkan semuanya tak terpahami,” katamu di depan hakim, berulang-ulang. ”Sebab mungkin begitulah hidup.”

Kalimat yang membuat hakim kian kesal dan menjatuhimu hukuman maksimal. []

 

2009-2010

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *