Mulyadhi Kartanegara

Ini kenangan lama, saat aku baru saja lulus kuliah, sekitar tahun 2009.

Waktu itu aku sering numpang tidur di sekretariat CIPSI (Center for Islamic Philosophical Studies and Information; Pusat Informasi dan Studi Filsafat Islam), lembaga yang didirikan oleh Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara. Ini adalah semacam surga bagi para pencinta filsafat, khususnya filsafat Islam. Di tempat ini tersimpan rapi karya-karya para filosof muslim klasik seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Ikhwan al-Shafa, al-Farabi, al-Ghazali, Mulla Shadra, Suhrawardi, al-Razi, Ibnu Arabi, dll (sebut saja sembarang nama), juga karya-karya telaah para filosof dan ilmuwan kontemporer seperti Seyyed Hosen Nasr, Toshihiko Izutsu, Abdul Karim Soroush, Marshal Hodgson, John Esposito, Osman Bakar, dll., dan tentu saja Mulyadhi Kartanegara.

Sayangnya kebanyakan buku-buku itu ditulis dalam bahasa yang tidak dapat kubaca dengan nyaman (Arab dan Inggris) sebab akan mengharuskanku membuka-buka kamus di hampir tiap kata. Memang bukan surga kalau bisa diraih dengan mudah.

Maka aku hanya bisa membaca buku-buku berbahasa Indonesia. Itu pun beberapa kilas saja, lompat dari satu buku ke buku yang lain. Terlalu banyak pilihan tidak selalu baik bagi kita. Diperlukan sebuah orientasi sistematis untuk membuat buku-buku itu benar-benar menjadi surga. Tapi seperti kata pepatah Cina, yang artinya: just to open book is worthwhile (dan artinya lagi: sekadar membuka buku saja sudah sangat berharga).

Selebihnya, dan sebagian besar, waktuku di CIPSI kugunakan untuk ngenet (gratis). Blogging. Fesbukan. Chatting. Browsing.

Asyik. Maaf, Pak Mul. Dan terima kasih. Juga untuk Darraz dan Udin yang begitu baik telah membiarkan kami (aku dan Husnil) berkeliaran di rumah yang luas ini.

Aku bersyukur tempat yang indah ini berada dekat dari kosanku di Jl. Sedap Malam. Pertama aku ke sini karena diajak Husnil pada bulan Ramadan lalu. Saat aku masuk pintu, kulihat seseorang tengah menyapu lantai bersama seorang perempuan cantik. Posisinya membelakangi pintu. Aku belum ngeh siapa dia sampai kudengar suaranya mengomentari hasil sapuannya.

Ternyata orang yang tengah menyapu itu Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara! Suaranya lebih kukenal daripada perawakannya karena aku sering mendengar dan mentranskrip ceramahnya di Masjid Agung Sunda Kelapa.

Aku menyalaminya dan memperkenalkan diri. Nama saja.

Pak Mulyadhi meneruskan menyapu hingga ke ruangan lain di kantor itu. Ketika sampai di bagian pinggir, dia berkata, “Menyapu pun harus sistematis dan metodologis,” sambil disapunya tiap-tiap kotak ubin secara berurut, “supaya tidak ada bagian yang terlewat.”

Rupanya begitulah seorang filosof bekerja.

Dah gitu aja. [Asso]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *