Pada semester ganjil tahun 2008, saya mengikuti kuliah Psikologi Kesehatan di Fakultas Psikologi UIN Jakarta. Di akhir perkuliahan, kami semua diberi tugas membuat promosi kesehatan. Saya sendiri mengerjakannya dalam bentuk catatan harian di blog. Ada 12 catatan yang saya buat dari tanggal 6 sd 30 Januari 2009. Sebagai tugas kuliah, semua catatan itu saya cetak dan klipping untuk diserahkan kepada dosen. Tapi sebagai catatan pribadi, semuanya masih tersimpan di blog saya sebelumnya, bermenschool.wordpress.com. Saya merasa lucu dan geli sendiri saat membacanya kembali 16 tahun kemudian, hari ini. Tapi sekaligus saya mengeluh, kok sekarang saya tidak mampu menulis sebaik dulu. 

Ke-12 catatan itu saya tampilkan sekaligus di sini. Bagi saya sebagai nostalgia belaka, tapi siapa tahu bermanfaat bagi para pembaca. 

catatan psikologi kesehatan

Catatan 1: Tugas Psikologi Kesehatan

Ciputat, Selasa, 6 Januari 2009

Siang, Mendapat Tugas Mata Kuliah Psikologi Kesehatan

Siang ini di kelas Psikologi Kesehatan, sehabis menamatkan presentasi kelompok yang berjumlah 12, Ibu Guru Psikologi Kesehatan, Neneng Tati Sumiati, mengumumkan sebuah tugas yang harus dikerjakan tiap kelompok. Tugas ini sebenarnya sudah direncanakan di awal perkuliahan. Tadinya, tugas itu adalah membuat pamflet tentang promosi kesehatan untuk ditempelkan di area fakultas. Namun kali ini Ibu Guru memberikan lebih banyak pilihan. Mahasiswa boleh membuat pamflet (seperti rencana awal), atau membuat training tentang kesehatan, atau membuat proposal kegiatan di bidang kesehatan, atau apa saja.

Saya berkata (kata-kata saya sudah diedit), “Bu, rasanya saya belum pantas melakukan semua itu (promosi atau kampanye kesehatan). Saya ingin memerbaiki diri lebih dulu, karena mengajak orang lain itu pertanggungjawabannya berat.”

Artinya, dalam pikiran saya waktu itu, sebelum kita mengajak orang lain supaya berperilaku sehat, diri sendiri harus sudah sehat terlebih dahulu. Misalnya, saya harus sudah tidak merokok sebelum menyuruh orang berhenti merokok. Saya tahu sebetulnya tidak harus begitu. Kita bisa dan boleh mengajak orang lain sambil kita sendiri memerbaiki diri.

Ibu Guru menjawab (kata-katanya juga sudah diedit), “Ya terserah. Tapi saya membutuhkan sesuatu (sebuah tugas) yang bisa dibuktikan pelaksanaannya.”

Persoalannya jelas: bagaimana membuktikan kepada Ibu Guru bahwa saya telah melakukan upaya promosi kesehatan terhadap diri sendiri?

Bisa saja saya melakukan serangkaian program kesehatan untuk pribadi, misalnya berolahraga (lari, jogging, sepak bola, fitnes, dll) tiap pagi atau sore, berhenti merokok, tidur yang cukup (artinya, tidak berlebihan J), makan teratur, menghindari masakan bermecin, menghindari makanan berlemak tinggi (sebetulnya saya membutuhkan lemak dalam jumlah banyak J), minum susu tiap hari (biar 4 sehat 5 sempurna), selalu membuang sampah pada tempatnya, mengurangi memproduksi sampah, selalu memakai helm tiap kali naik motor, selalu mencuci tangan sebelum makan, mandi dua kali sehari, gosok gigi sebelum tidur dan sehabis makan, rajin menyapu dan membersihkan rumah, tidak membiarkan diri jatuh larut dalam stres, dll. Tapi bagaimana membuktikan kepada Ibu Guru bahwa saya telah melakukan semua itu?

Tapi ternyata sejak siang itu di hati saya sudah terniatkan untuk melakukan hal-hal yang sulit dibuktikan itu dan menjadikannya sebagai tugas pribadi untuk mata kuliah Psikologi Kesehatan. Pelaporannya adalah lewat tulisan: saya akan menghimpun catatan harian ini dan menyerahkannya kepada Ibu Guru pada harinya (31 Januari 2009).

Pembuktiannya?

Saya percaya kepada diri saya sendiri. Saya percaya bahwa saya tidak akan mencatat hal-hal yang tidak saya lakukan.

Tapi apakah Ibu Guru juga akan percaya?

Memang di sinilah masalahnya. Tapi selama saya tidak berdusta, saya tidak perlu merasa terganggu dengan apapun yang ada di hatinya (baik beliau percaya atau tidak).

Tapi ada yang lebih penting dari itu. Saya akan menerbitkan catatan harian tentang kesehatan ini di blog pribadi saya, https://bermenschool.wordpress.com, setiap kali saya mampir di warnet.

Jika inti dari tugas mata kuliah adalah melakukan promosi kesehatan, maka menerbitkan catatan harian ini di blog sudah termasuk bagian dari itu. Blog saya sekarang ini dikunjungi oleh rata-rata 50 orang setiap hari. Sebagian di antara mereka pastilah ada yang nyasar ke cathar ini. Saya akan mencantumkan tag-tag yang biasanya selalu ada yang mencari, antara lain: psikologi, kesehatan, psikologi kesehatan, promosi kesehatan, kampanye kesehatan, dll (selebihnya dipikirkan nanti, bergantung perkembangan istilah-istilah yang muncul dalam tulisan ini).

Pagi, Mengelap Kaca Jendela

Sebetulnya, beberapa jam sebelum tugas kelompok (saya menjadikannya tugas pribadi) diberikan, pagi harinya saya telah melakukan sesuatu yang tidak biasa: mengelap kaca jendela.

Seingat saya, terakhir kali jendela dan kaca jendela rumah (kontrakan) saya dilap adalah sekitar setahun lalu (pokoknya lama sekali). Selebihnya, paling-paling saya menyapu kaca jendela dengan sapu kalau sesekali saya menyapu sampai depan rumah. Tak heran kalau jendela, kaca, dan kusen-kusennya kotor sekali; debu-debu berkerak, jelaga, sarang laba-laba rumah, dan nyamuk.

Saya mengelap jendela sambil bernyanyi-nyanyi. Rasanya menyenangkan sekali melakukan satu hal yang berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Pada saat itu, saya berbicara kepada diri sendiri, “Aku akan melakukan hal-hal yang berbeda tiap hari.”

Melakukan hal-hal yang berbeda tiap hari.

Kalimat tersebut menyiratkan tiga poin penting (ini yang terpikir oleh saya saat menulis catatan).

Pertama, kreativitas. Ciri orang kreatif adalah mampu melihat secara berbeda terhadap suatu hal (berpikir out the box dan outward looking). Hasil penglihatan yang berbeda hanya mungkin jika tempat melihatnya berbeda. Misalnya kita melihat lukisan, antara melihat dari depan, dari samping kiri, dari samping kanan, dari sudut bawah, dari sudut atas, sudut kiri, sudut kanan, di tengah agak ke kanan, di tengah agak ke kiri, di kiri agak ke bawah, di kanan agak ke atas, dan dari belakang (masa?) pasti hasilnya berbeda. Minimal dalam hal berkas-berkas cahaya yang memantul ke mata kita.

Tindakan sehari-hari ibarat tempat saat melihat lukisan. Dalam hal ini, saya yakin tindakan memengaruhi pola pikir. Orang yang sehari-harinya duduk di belakang meja pasti berbeda pola pikirnya dengan orang yang sering mendaki gunung, berbeda dengan orang yang tiap hari duduk di belakang setir, berbeda dengan orang yang sehari-harinya main bola, berbeda dengan orang yang boleh masuk kantor tanpa perlu seragam kerja, berbeda dengan orang yang tidak melakukan apa-apa.

Melakukan hal-hal yang berbeda setiap hari akan meningkatkan kreativitas. Setidaknya begitulah yang saya harapkan.

Kedua, sebagai suatu taktik untuk mengurangi atau menghindari stres. Stres bisa timbul karena kebosanan akibat pola hidup yang monoton. Jika ingin pikiran kita lebih fresh, melakukan sesuatu yang baru dan berbeda dari sebelumnya adalah saran sederhana yang hasilnya cukup efektif.

Ketiga, iseng. Mungkin saja suatu hari, saking terobsesi gagasan bahwa hari ini harus berbeda dengan hari kemarin, saya akan mengendarai motor tanpa membawa SIM dan STNK lalu berhenti di depan polisi di pinggir jalan untuk minta ditilang. (Ide ini tidak orisinal; Pidi Baiq pernah melakukannya. Ia berhenti di depan polisi melaporkan bahwa ia lupa membawa SIM dan STNK, lalu kena tilang 50 ribu. Tapi beberapa puluh meter kemudian, ia balik lagi ke tempat si polisi dan berkata bahwa SIM dan STNK-nya telah ditemukan).

Mungkin saja suatu hari saya akan berloncat-loncatan di depan rumah saya seratus kali, atau berzikir membaca qulhu seribu kali, atau lari sejauh sepuluh ribu meter, atau naik ke atas atap menghitung perbandingan tanah kosong dengan tanah yang ada rumahnya.

Tapi sebisa mungkin iseng saya harus berguna, setidaknya bagi jiwa saya (artinya, perbuatan itu asyik bagi saya).

Oke. Kembali ke soal mengelap kaca jendela. Kegiatan ini saya yakin sangat baik ditinjau dari psikologi kesehatan. Rumah yang bersih, rapi, bebas debu dan sarang laba-laba, akan lebih menyehatkan bagi penghuninya dan menyenangkan untuk ditinggali.

Tak banyak yang ingin saya tuliskan soal mengelap kaca. Mengelap kaca ya mengelap kaca. Saya membasahi handuk yang sudah tidak terpakai lalu menggesek-gesekkannya di permukaan kaca dan jendela. Begitu saja. Bling-bling deh.

Setelah itu saya menggerak-gerakkan otot sambil ngaca. J

Sore, Naik Sepeda

Sehabis kuliah saya mengerjakan pekerjaan rutin saya, mengedit naskah buku ceramah untuk Masjid Agung Sunda Kelapa. Selesai sebelum magrib. Sehabis magrib, saya membawanya ke percetakan (CV. Makmur Abadi) di dekat pom bensin Ciputat. Jaraknya dari kosan saya hanya sekitar 700 meter.

Karena jalanan masih basah dan becek akibat hujan, saya pergi ke sana mengendarai sepeda kumbang merk Phonix keluaran tahun 80-an. Sudah beberapa hari ini saya berpikir, kalau hari hujan (atau habis hujan) dan jaraknya tidak terlalu jauh, lebih baik memakai sepeda daripada motor.

Ditinjau dari sudut psikologi kesehatan, saya rasa pemikiran ini dapat disetujui. Pertama, saya tidak mau motor saya kotor. Kalau motor saya kotor, sedikit banyak hal ini akan menimbulkan beban di pikiran saya.

Kalau yang kotor adalah sepeda, beban pikirannya relatif tidak ada.

Kedua, kendaraan bermotor menimbulkan polusi udara berupa gas CO2 dan gas-gas lain dari knalpot motor. Gas-gas ini tidak baik bagi kesehatan.

Ketiga, kalau saya mengendarai motor, bensin motor saya akan berkurang. Pemborosan merugikan kesehatan, yakni kesehatan keuangan.

Malam, Menulis Catatan

Saya menulis catatan harian ini. Mulai pukul setengah delapan, berakhir pukul setengah sepuluh. Dua jam.

Untuk berikutnya, saya mungkin akan mengalokasikan waktu satu jam saja setiap hari. Atau mungkin tidak usah setiap hari, melainkan bergantung ada tidaknya kegiatan saya yang patut dicatat berkaitan dengan psikologi kesehatan.

O ya, satu hal penting: seharian ini saya tidak merokok satu batang pun. Kemarin saya merokok dua batang (rekor merokok saya dalam satu bulan terakhir), hari kemarinnya satu batang, dan hari-hari sebelumnya satu atau dua batang.

Oke. Selamat malam. Sekarang saya akan tertawa bersama Budi Anduk di Tawa Sutra XL ANTV. []

[collapse]
Catatan 2: Nasi Bungkus, Rokok, dan Hal-hal Lain

Ciputat, Rabu 7 Januari 2009

Pagi; Nasi Bungkus, No!

Saya sarapan nasi uduk di perempatan Sedap Malam (belakang Asrama Putra UIN). Saya duduk di bangku panjang, makan seraya menyaksikan orang-orang berlalu-lalang. Beberapa di antara mereka saya kenal dan saya sapa.

Di dekat nasi uduk ada tukang sayuran yang biasa mangkal. Saya sudah ngambil selunjur peuteuy (pete), tapi setelah tahu harganya 1500 rupiah, saya letakkan lagi. Masalahnya, nasi uduk plus oreg tempe yang saya makan saja harganya cuma 2500. Masa harga lalab (bunga) lebih dari setengah harga nasi (pokok)?

O ya, biasanya saya beli nasi uduknya dibungkus, makan di depan tivi sambil nonton serial kartun-kartun lain dan Avatar. (Sengaja saya sebut “kartun-kartun lain dan Avatar” karena setelah Avatar saya tidak menonton acara lain lagi). Sekarang serial Avatar tidak jelas lagi jadwalnya, dan hanya mengulang-ulang episode-episode lama. Entah kapan selesainya?

Sejak beberapa bulan ini, saya menghindari beli nasi dibungkus, kecuali terpaksa. Bekas bungkus nasi adalah sampah. Kalaupun saya harus beli nasi bungkus, saya usahakan membawa kantong plastik sendiri dari rumah. Kantong plastik bekas juga sampah. Saya tidak suka. Kantong plastik dan bungkus nasi (yang juga mengandung plastik) kalau sudah jadi sampah bisa merusak lingkungan, sukar diurai, dan tidak bisa didaur ulang.

Mengurangi memproduksi sampah termasuk program pribadi saya dalam bidang kesehatan.

Dalam konteks yang lebih luas, hal ini juga merupakan bagian dari upaya mencegah/mengurangi global warming (pemanasan global).

Sehabis sarapan, saya mengepel lantai kamar dan ruang tengah. Ini sesuatu yang jarang saya lakukan, tapi mulai sekarang saya akan melakukannya lebih sering. Sebelum ini, biasanya rumah saya paling-paling hanya disapu ringan.

Satu hal yang membuat mengepel menjadi berat dilakukan adalah karena saya tahu tak lama lagi ruang tengah itu akan kotor kembali oleh orang-orang yang beraktivitas di situ (nonton tivi, ngobrol, makan mie rebus, ngopi, merokok, dll), yaitu kawan-kawan satu kontrakan, termasuk saya sendiri.

Sore; Lompat-lompat di Ubin

Hal berbeda yang saya lakukan hari ini, selain ngepel di pagi hari, adalah melompati ubin di ruang tengah. Dulu saya sering melakukannya, tapi tidak istiqamah. Dulu saya mampu melompati delapan ubin, sekarang prestasi saya tidak beranjak. Satu ubin lebarnya 30 cm. 8 ubin berarti 240 cm, sama dengan 2,4 meter. Itulah jarak lompatan kaki saya tanpa ancang-ancang.

Saya melakukan lompatan hingga belasan kali. Awal-awalnya kurang dari 8 ubin, tapi lama-lama lewat sedikit. Satu saat saya ingin memecahkan rekor pribadi ini, menjadi 9 atau 10 ubin. Artinya, mulai sekarang saya akan istiqamah melompati ubin tiap hari. Rasanya lumayan. Pinggang dan sekitarnya jadi lebih liat dan otot betis jadi lebih kuat.

Tapi akibatnya juga lumayan. Lewat magrib hingga malam, saya merasa pergelangan kaki saya kram dan terasa sakit kalau kaki saya diputar. Saya tahu, rupanya saya tidak melakukan pemanasan yang cukup sebelumnya, ditambah ini adalah lompat-lompatan yang pertama setelah absen beberapa bulan.

Pelajaran untuk hari ini: pertama, jika hendak melompati ubin, lakukan pemanasan secukupnya. Kedua, untuk awal-awal, lakukan sedikit kali saja, jangan sekaligus banyak.

Kasusnya sama seperti kalau kita sudah lama tidak pernah lari, lalu suatu pagi kita lari keliling lapangan, jangan langsung lima putaran. Cukup satu putaran dulu, besok tingkatkan jadi dua putaran, dan seterusnya. Kalau langsung banyak, rasakan saja besok pagi tidak bisa bangun dari tidur.

Malam; Dua Batang Rokok

Saya pergi ke warnet al-Biruni di Kertamukti untuk mem-posting catatan hari kemarin di blog. Di warnet, saya ketemu teman yang bawa rokok, maka saya tidak bisa menolak tawarannya.

Saya merokok satu batang Marlboro. Tidak enak. Tapi habis juga.

Hal positif dari aktivitas ini, saya mulai merasakan bahwa merokok itu tidak enak.

Sialnya, sepulangnya dari warnet, di rumah saya ada seorang teman tengah berkunjung, dia membawa sebungkus rokok Avolution. Kembali saya mengutip sebatang rokok yang diameternya tak lebih besar dari lidi itu. Lagi-lagi rasanya tidak enak.

Seharian ini total saya menghabiskan dua batang rokok.

Rokok itu benar-benar benda yang aneh. Pada dirinya sendiri ia tidak enak, tapi banyak orang mencintainya.

Selain rokok, ada beberapa benda yang pada dirinya sendiri tidak enak, tapi tetap disuka oleh sebagian orang. 1] arak; 2] kopi; 3] teh; 4] pete; 5] jengkol; 6] sambel; 7] jamu; 8] narkoba.

Benda-benda itu disukai orang bukan karena rasanya enak, tapi karena efek yang ditimbulkannya. Jika ada yang tidak setuju dengan ungkapan ini, mungkin karena orang itu sudah terbiasa sehingga lupa saat pertama kali merasakannya.

Saya tidak pernah minum arak setetespun, tapi dari cerita-cerita yang pernah saya dengar atau saya lihat, seorang pemula akan tersedak muntah saat meminumnya. Barulah setelah efek arak merasuki otaknya, dia lupa akan rasanya yang pertama kali.

Kopi dan teh itu pahit. Makanya orang harus menambahkan gula.

Jamu juga pahit. Tapi sebuah obsesi akan kesehatan dapat mengalahkan kepahitan.

Pete dan jengkol, kalau dimakan langsung sendirian, rasanya hanya segelintir orang yang terbiasa. Barulah kalau dicampur nasi dan apalagi pakai sambel, makan yang biasanya satu piring bisa nambah jadi tiga piring (kecuali orang yang takut kegemukan). Pete, jengkol, dan sambel adalah penyedap makan alamiah.

Narkoba tidak perlu saya bahas.

Membeli Obat Sariawan

Saya percaya setiap orang dilahirkan dengan bakat tertentu yang berbeda dengan orang-orang lainnya. Penyakit juga termasuk hal yang mungkin merupakan bakat. Ada orang yang tampaknya mudah terkena penyakit tertentu, sementara orang lainnya mudah terkena penyakit tertentu lainnya.

Penyakit yang menjadi bakat saya adalah sariawan. Sepertinya, sejak saya mulai memiliki kesadaran dan ingatan, saya telah dihinggapi penyakit sariawan dan tidak pernah berhenti hingga sekarang.

It’s a tragedy of life.

Untungnya penyakit-bakat saya bukan sakit kepala atau sakit gigi atau flu, dan terlebih bukan thalasemia atau AIDS.

Sariawan relatif tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Memang kalau sedang parah sekali, bicara pun tidak bisa. Kalau sedang-sedang saja, menyanyi jadi terganggu. Tapi selebihnya tidak masalah.

Untungnya lagi, karena sariawan tampaknya saya relatif kebal terhadap penyakit-penyakit lainnya. Sepanjang tahun 2008, saya tidak pernah demam barang sehari pun, tidak pernah sakit gigi, tidak pernah flu. Bahkan saya belum tahu bagaimana rasanya sakit kepala karena seumur hidup saya tidak pernah sakit kepala, migrain, atau yang semacamnya (dan saya tidak ingin tahu). Sakit lambung (maag) pernah sekali saya alami berbarengan dengan saat saya terkena tipes yang juga sekali.

Saya hampir yakin bahwa sariawan saya telah mengusir potensi penyakit-penyakit lain dari tubuh saya.

Terima kasih sariawan. Tapi saya tetap ingin menjauhkanmu dariku.

Makanya sepulang dari warnet saya mampir di klinik UIN, beli sebotol boraks gliserin (GOM). Harganya 1600 rupiah. Obat ini berupa cairan bening yang diteteskan ke bagian mulut yang luka. Di sampul obat tertera logo bulatan hijau, kalau tidak salah merupakan tanda obat luar. Tapi saya sering menelannya, habis rasanya manis sih.

Orang-orang menyarankan agar saya mengonsumsi buah-buahan tiap hari, vitamin C, dsb. Semua itu sudah saya lakukan. Boleh dikatakan, konsumsi harian saya sudah memenuhi 4 sehat 5 sempurna (nasi, ikan, sayuran, buah-buahan, dan susu). Ditambah suplemen seperti tablet hisap vitamin C. Tapi bahwa saya tetap sariawan, itulah yang membuat saya berkesimpulan bahwa penyakit ini merupakan bakat alamiah atau bawaan saya sejak lahir, meski bukan berarti penyakit turunan.

Ok coy. Hari ini cukup. Sudah pukul 12 malam. Waktunya tidur. Zzzzzz… []

[collapse]
Catatan 3: Warung Makan Mang Sadi

Ciputat, Kamis, 8 Januari 2009

Hal berbeda yang saya lakukan hari ini ada dua:

Pertama, membersihkan kamar mandi. Ini adalah kegiatan yang belum tentu dilakukan satu bulan sekali. Tapi sekarang saya akan melakukannya lebih sering seperti halnya mengepel lantai.

Kedua, makan siang di warung Sadi. Warung makan ini tidak berpapan nama. Orang-orang kadang menyebutnya Warsun karena yang dijual di situ masakan Sunda. Pemiliknya berasal dari Bogor. Warung makan milik Mang Sadi terletak di ujung jalan Semanggi II, dekat Aula Insan Cita HMI.

Warung Sadi selalu laris. Walaupun sekarang di sekitarnya ada 4-5 warung makan, warung Sadi tetap tak tergantikan dan tak terkalahkan kelarisannya. Menunya beragam, sayurannya macam-macam, dan sambelnya keren. Kalau saya makan di situ, menu favorit saya adalah jengkol, leunca pake oncom, dan terong. Ikannya bisa apa saja, dan apapun enak. Ada juga lalab mentah berupa daun-daunan, lupa daun apa namanya, rasanya asem-asem sepet (rasanya mirip kemangi), gratis.

Nilai plus lain: harganya murah. 5000 bisa makan nasi plus ayam, 4000 pake ikan bandeng atau tongkol. Sering terjadi Mang Sadi memberi harga asal sebut saja dan lebih murah dari patokan kita, walaupun kadang-kadang lebih mahal.

Warung Makan Mang Sadi hanya buka setengah hari, kira-kira pukul 2 atau 3 sudah habis. Hari Minggu dan hari libur tutup. Pemiliknya tidak begitu ngoyo dalam mencari rezeki. Di hari-hari libur, Mang Sadi sering terlihat mancing di empang-empang sekitar Situkuru. Kelihatannya dia sudah mendapatkan apa yang dia cita-citakan dalam hal duniawi. Menurut sejarah, Mang Sadi sudah membuka warung makan di tempat itu sejak tahun 80-an. Orang-orang terkenal semacam anggota DPR Ade Komaruddin konon pernah ngutang di warung ini. Alumni-alumni HMI dan terutama HMB (Himpunan Mahasiswa Banten) rata-rata punya ikatan emosional khusus dengan Warung Sadi. HMB kalau mengadakan acara, kateringnya pasti dari Warung Sadi.

Bagi saya, masakan Sadi adalah yang paling enak se-Ciputat. Istimewanya warung ini dapat digambarkan dalam satu kalimat: “Seandainya warung Sadi dekat dengan kosan saya, saya pasti akan lebih bahagia.”

O ya, sehari-hari saya makan di warung Bu Romlah, persis di belakang Asrama Putra UIN. Rasa masakannya cukup bisa diterima lidah.

Kok jadi ngomongin warung makan?

Ya, memang tidak banyak yang bisa saya ceritakan hari ini berkaitan dengan psikologi kesehatan. Olahraga hanya pemanasan rutin: gerak badan dan push up belasan kali. Coba lompat ubin, otot perut saya masih sakit bekas kemarin.

Tambahan: hari ini saya tidak merokok sehisap pun. []

[collapse]
Catatan 4: Jalan Bareng Cewek

Ciputat, Jumat 9 Januari 2009

Pagi; Makan Roti

Nasi uduk habis, padahal baru pukul tujuh lewat seperempat.

Saya balik lagi.

Sesampainya di depan rumah, ada tukang roti lewat pake motor. Roti Tamara. Saya panggil. Saya pikir harga satuannya 1000 atau 2000 rupiah, ternyata 4000.

Ya sudah. Karena sudah menyetop, malu kalau tidak beli (walaupun secara hukum sah-sah saja sebab belum ada ijab-kabul).

Saya beli satu, rasa pizza (sesuatu yang bukan dari tradisiku). Rasanya lumayan.

Sayangnya tidak bikin kenyang.

Siang; Jalan bareng Cewek

Inilah kegiatan yang paling jarang saya lakukan dalam empat tahun terakhir: jalan bareng cewek. Acaranya biasa saja: makan siang, terus ke warnet. Dia minta diajarkan cara membuat blog di wordpress. Gampang kok. Sekalian saya buat tutorial, begini caranya: (Ini tutorial membuat blog di wordpress tahun 2009, sekarang sudah beda tampilan dan caranya).

1. Buka situs http://wordpress.com

2. Klik tulisan Sign Up Now! (hurufnya besar di bagian atas). Sebelum tulisan itu, ada kalimat “Express yourself. Start a blog”.

3. Muncul tampilan registrasi berupa kotak-kotak yang harus diisi. Terdiri dari:

  • Username(nama pengguna). Nama ini akan menjadi alamat blog anda. Ketik nama anda atau apapun. Mungkin nama anda sudah ada yang memakai, maka buat perbedaan sedikit saja. Sekadar contoh, jika anda mengetik: “jalanbarengcewek”, maka alamat blog anda berarti http://jalanbarengcewek.wordpress.com
  • Password. Ketik password yang bagus dan kuat. WordPress memberikan keterangan tentang seberapa bagus password yang kita ketikkan.
  • Confirm. Maksudnya konfirmasi password. Ketik ulang password; harus persis sama dengan sebelumnya.
  • E-mail Adress. Ketik alamat email dengan benar.
  • Legal Flotsam. Maksudnya pernyataan persetujuan. Klik di kotak yang disediakan.
  • Pilihan domain, apakah “username.wordpress.com” atau “username.com”. Pilih yang pertama (yang ada wordpress-nya) karena yang kedua bayar.

4. Klik Next (terletak di bagian bawah kotak-kotak). Jika di sini gagal, ada kemungkinan problem di username. Ganti dengan username yang belum pernah dipakai orang lain.

5. Jika berhasil, di bagian ini anda menghadapi 3 kotak:

  • Blog domain. Menunjukkan alamat blog kita, seperti contoh di atas berartijalanbarengcewek.wordpress.com. Anda tidak perlu melakukan apa-apa di kotak ini.
  • Blog Title. Ini adalah judul blog yang akan tampil di tampilan depan blog anda. Default (tampilan standar) wordpress akan menyamakan dengan username anda. Anda bisa mengubahnya. Kalau tidak, tidak apa-apa. Anda bisa mengubahnya nanti setelah blog jadi.
  • Language. Pilih bahasa. Default disediakan bahasa Inggris. Bahasa Indonesia juga ada.

6. Klik Sign Up (terletak di bagian bawah kotak-kotak). Maka kembali anda diminta mengisi 3 kotak.

  • First Name. Tulis nama awal anda
  • Last Name. Tulis nama akhir atau nama keluarga anda.
  • About Yourself. Jelaskan tentang diri anda dalam beberapa kata atau kalimat pendek.

7. Klik Save Profile. Anda akan menerima sebuah email ke alamat email anda.

8. Terakhir, buka alamat email yang anda daftarkan, anda akan menerima sebuah email dari wordpress. Buka email itu, di situ ada link yang perlu anda klik untuk mengaktifkan blog kita.

9. Blog anda sudah aktif. Sila masuki. Anda mendapat posting ucapan selamat datang dari wordpress dan satu komentar. Hapus posting dan komentar tsb.

Demikianlah cara bikin blog di wordpress. Keterangan ini dibuat untuk pemula banget.

Oke. Sekarang dia sudah paham cara bikin blog di wordpress. Tinggal melancarkannya di rumahnya karena di rumahnya ada internet online.

Asar, dia dan saya keluar dari warnet (al-Biruni, langganan saya). Saya antar dia ke kampus, katanya mau fotokopi dan ke perpus. Setelah itu saya sendiri pulang.

Apa kaitannya peristiwa ini dengan psikologi kesehatan?

Sederhana: semakin bahagia seseorang, semakin sehat dia.

Titik.

(Sengaja saya tidak berpanjang-panjang soal peristiwa langka bagi saya ini (malah membahas cara bikin blog) karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi nanti.)

O ya, hari ini saya pun tidak merokok sama sekali. Selamat 🙂. []

[collapse]
Catatan 5: Kecemasan dan Psikoneuroimunologi

Bayah, Senin 12 Januari 2009

1

Jalan bareng cewek itu menyenangkan. Tapi juga menimbulkan sesuatu yang lain, sesuatu yang dapat menggerogoti kesehatanku.

Kegelisahan.

Kecemasan.

Penyebabnya sederhana: karena jalan bareng cewek pada hari Jumat itu adalah jalan bareng yang pertama.

Kalau jalan bareng yang kedua sudah datang, mungkin rasa cemas dan gelisah ini akan segera hilang.

Tapi entah juga. Manusia hidup tak pernah henti dilanda cemas. Mungkin akan datang kecemasan yang lain, kecemasan yang belum kuketahui bentuknya.

Mungkin pula kecemasan yang serupa, karena manusia kerapkali pelupa.

Sepertinya hanya ada satu jenis orang yang tidak pernah cemas, yaitu orang yang yakin.

Bahkan sekalipun keyakinan itu palsu, tak jadi soal baginya sepanjang dia tidak tahu.

Kadangkala tidak tahu lebih baik daripada tahu.

Jika suami selingkuh, seorang istri akan tetap bahagia jika ia tidak tahu.

Seorang pelaku bom bunuh diri akan tetap yakin dirinya masuk surga walaupun tindakannya itu sebetulnya hasil rekayasa pihak intelijen musuh, asalkan ia tidak tahu.

Hanya orang yang yakin yang masih mungkin untuk bahagia. Orang yang ragu tidak.

Sialnya, aku termasuk golongan kedua.

2

Jika kecemasan dan kegelisahan ini terus berlangsung, bukan tidak mungkin aku akan mengalami sakit. Sakit fisik.

Dari sebuah diskusi di kelas Psikologi Kesehatan, aku mengenal satu istilah yang disebut “psikoneuroimunologi”. Kurasa istilah ini terlalu panjang dan agak susah dilafalkan. Tapi maksudnya kira-kira bahwa ketahanan tubuh (sistem imun) menghadapi penyakit dipengaruhi oleh kondisi psikis. Jika kondisi psikis buruk (cemas, gelisah, stres), sistem imun akan melemah sehingga fisik akan lebih mudah dihinggapi penyakit. Jika kondisi psikis baik (senang, gembira, nyaman, damai), walaupun di sekitarnya sumber penyakit berseliweran bagai sms lebaran, yang bersangkutan tidak akan sakit.

Ide dasar psikoneuroimunologi dikemukakan oleh Martin (1938), bahwa sistem kekebalan ditentukan oleh status emosi. Stres dapat meningkatkan kerentanan tubuh terhadap infeksi penyakit. Selain itu, karakter, perilaku, dan pola coping (penyesuaian) berperan pula pada sistem imun.

Untuk saat ini, aku cukup yakin sistem imunku masih kuat dan normal sebab rasa cemasku belum seberapa. Lagi pula, hal ini bukan pertama kali kualami dan aku dapat belajar dari pengalaman masa lalu. []

[collapse]
Catatan 6: Empat Kebaikan Satu Keburukan

Ciputat, Jumat 16 Januari 2009

Empat Kebaikan

Asalkan kita tidak berbuat buruk, terlebih kalau kita berbuat baik, maka kita sudah pantas untuk merasa bahagia, bahkan walaupun kita tidak memiliki apapun lagi.

Dimulai dari niatku membeli nasi uduk, pagi ini sampai sebelum jumatan, aku melakukan empat kebaikan.

Pertama, memberi pinjaman uang kepada Ibu tukang nasi uduk. Ibu tukang nasi uduk bercerita bahwa saudaranya sakit dan sedang dirawat di RS Fatmawati serta butuh sejumlah uang. Dia bilang 200 ribu. Uang di tanganku sebetulnya tak lebih dari 40 ribu. Tapi aku punya seorang bos. Kubilang padanya, saya hubungi bos saya dulu, kalau ada nanti saya pinjami.

Ternyata bisa. Namanya bos, kemungkinan besar selalu ada uang. Maka aku datang ke rumahnya di Kampung Utan, berjarak sekitar 2 km dari kosanku. Di sana, istri si bos minta tolong padaku untuk menyetorkan uang ke BNI Syariah. Maka inilah kebaikan kedua, membantu istri si bos menyetorkan uang ke BNI Syariah.

BNI Syariah terletak di lantai atas gedung BNI UIN Jakarta. Di tempat parkir, ada seorang laki-laki membagikan amplop kosong bertulisan permintaan infak untuk anak yatim. Kuisikan uang 10 ribu ke amplop itu, dan ini menjadi kebaikan ketiga.

Setelah urusanku di BNI Syariah selesai, di dekat tangga turun aku dicegat oleh seorang mahasiswa perempuan. Dia mahasiswa jurusan Perbankan Syariah dan katanya sedang mengerjakan skripsi. Dia anggap aku seorang nasabah Bank Syariah karena aku terlihat keluar dari kantor Bank Syariah, padahal aku tidak punya tabungan di sana. Dia memintaku mengisi angket.

Aku bersedia. Sampai di sini, kesediaanku mengisi angket belum kuanggap kebaikan. Kulihat angketnya mengandung beberapa kekeliruan. Misalnya, ada opsi jawaban seperti ini: Tidak pernah – Pernah – Kadangkadang – Rutin – Rutin Sekali.

Kutanya padanya, apa bedanya rutin dan rutin sekali? Kalau saya tidak pernah tertinggal melakukan salat lima waktu, itu disebut rutin atau rutin sekali?

Dalam pikirku, kategori rutin itu tidak memiliki gradasi. Dan kubilang padanya, biasanya opsi jawaban untuk pertanyaan semacam ini adalah: Tidak Pernah – Pernah – Kadangkadang – Sering – Selalu.

Kelemahan lain, ada sejumlah item yang dalam pandanganku, kalau orang mengisi item-item itu, jawabannya pasti seragam. Opsi jawabannya adalah: Sangat Bagus – Bagus – Cukup Bagus – Tidak Bagus – Sangat Tidak Bagus.

Dari segi opsi jawaban, sebetulnya pilihan di atas tidak bagus karena tidak simetris. Opsi “Cukup Bagus” yang ada di tengah tidak mewakili sikap pertengahan. Mestinya, kalau ada opsi “Cukup” maka ada lawannya, yaitu “Kurang”.

Tapi aku tidak protes ke dia soal ini.

Yang kuprotes ke dia adalah redaksi item-itemnya yang cenderung normatif. Item yang normatif cenderung membuat orang menjawab setuju (bagus). Salah satunya misalnya begini: “Office Channeling membuat masyarakat lebih mudah mengakses perbankan syariah.

Office Channeling itu kira-kira merupakan pengembangan dari konsep dual banking, yaitu bank konvensional dapat membuka layanan bank syariah.

Masalahnya, siapa yang akan tidak setuju dengan pernyataan ini? Justru dibuatnya aturan tentang Office Channeling memang bertujuan untuk memudahkan akses masyarakat terhadap perbankan syariah.

Mengisi angket sekaligus memberikan kritik dan saran terhadap isi angket, itulah yang kuanggap kebaikanku yang keempat pagi ini. Semoga Tuhan menganggapnya demikian.

Ulama bilang, menyebut-nyebut kebaikan bisa menghapus nilai dari kebaikan itu.

Sabda Nabi, “Sedekah paling mulia adalah ketika tangan kiri tidak tahu apa yang dilakukan tangan kanan.”

Tapi ulama yang sama juga bilang, memerlihatkan kebaikan kepada orang lain dengan maksud agar orang lain melakukan kebaikan merupakan kebaikan.

Artinya, yang dilarang oleh agama sebetulnya bukan soal memerlihatkan atau menyembunyikan kebaikan, melainkan sikap riya (ingin dipuji). Dan riya itu urusan hati.

Apakah aku riya atau tidak dengan menyebut-nyebut kebaikanku pagi ini, siapa yang tahu kecuali Allah?

Mungkin aku pun tidak tahu.

O ya, kenapa aku menuliskan soal-soal ini di kategori Psikologi Kesehatan?

Karena berbuat baik itu menyehatkan.

Satu Keburukan

Sebaliknya, berbuat buruk itu menyakitkan (merusak kesehatan).

Di samping kebaikan, hari ini aku pun berbuat setidaknya satu keburukan.

Sehabis Jumat, aku tidur dan bangun waktu asar. Sehabis asar, aku duduk di depan komputer dan baru beranjak tengah malam. Memang ada beberapa selingan, antara lain salat magrib dan isya serta makan. Tapi selebihnya aku duduk saja dengan mata memelototi layar komputer.

Yang kulakukan adalah membaca. Yang kubaca adalah sebuah novel. Novel itu berjenis cersil (cerita silat). Judulnya “Pendekar Baja”, pengarangnya Khu Lung, diterjemahkan dari bahasa Cina oleh Gan K.L.

Aku telah mulai membaca cersil ini sejak tahun 2007, tapi bab per bab. Minggu lalu aku mendapat naskah utuhnya, dan kini kubaca kontan.

Jika ada sesuatu yang sanggup membuatku terpaku seharian, maka itu adalah cersil.

Di dunia ini, tidak ada jenis novel yang digemari orang secara fanatik melebihi cersil.

Membaca adalah baik. Membaca cersil juga baik.

Yang buruk dari perbuatan ini adalah karena membuatku tidak bergerak dalam waktu yang lama, padahal aku tidak sedang tidur. Duduk terlalu lama bikin otot pegal-pegal dan zat-zat gula menumpuk tidak terolah sehingga mengakibatkan kegemukan. (Untuk saat ini, kegemukan bukan sesuatu yang menakutkan bagiku).

Apalagi aku membaca versi e-book di layar komputer, tentu mata pun akan ikut terugikan.

Hal lain, barangkali seharusnya aku mengerjakan pekerjaan lain, misalnya mencari uang atau menyelesaikan skripsi, tetapi semua itu terabaikan.

Hal ini mengingatkanku pada sebuah diskusi di kelas Psikologi Kesehatan, saat sebuah kelompok mempresentasikan tema “Health-Enhancing Behavior dan Health-Compromising Behavior”.

Health-enhancing behavior adalah perilaku yang dilatih atau dipraktikkan oleh individu utuk meningkatkan kesehatannya sekarang dan di masa depan. Perilaku ini meliputi antara lain olahraga, pencegahan kecelakaan, konsumsi diet sehat, dan pendeteksian penyakit.

Health-compromising behavior adalah suatu pola tingkah laku yang menyimpang dan berbahaya bagi kesehatan, misalnya merokok, seks bebas, mengonsumsi narkoba, dan minum alkohol. (Yang tidak kumengerti dari konsep ini adalah kenapa istilahnya memakai kata compromising?)

Tentang yang kedua ini, ada sebuah pertanyaan dari mahasiswa, mengapa main game dan nonton tivi tidak dimasukkan sebagai bagian dari health-compromising behavior? Bukankah main game dan nonton tivi kalau berlebihan bisa berbahaya bagi kesehatan? Apalagi sekarang, banyak anak-anak sekolah sering membolos dari pelajaran gara-gara ingin main game (PS), dan sekali nongkrong di PS bisa berjam-jam bahkan seharian.

Rasanya, waktu itu jawaban yang muncul baik dari pemakalah maupun dosen tidak memuaskan. Aku ikut menanggapi pertanyaan ini, dan menjawab bahwa main game dan nonton tivi pada dirinya sendiri bukanlah perbuatan buruk. Dalam kadar tertentu kita butuh main PS dan nonton tivi. Ia menjadi buruk ketika dilakukan berlebihan. Berbeda dengan merokok, alkohol, seks bebas, dan narkoba yang pada dirinya sendiri adalah buruk; sedikit ataupun banyak tetap buruk.

Yang lupa kukatakan waktu itu ialah, “Jika main game dan nonton tivi dimasukkan ke dalam kategori health-compromising behavior, tentulah membaca buku pun demikian. Sebab membaca buku, kalau berlebihan, dapat merusak kesehatan.”

Seharian ini aku membaca buku secara berlebihan. Dan meski perbuatan ini bukan merupakan health-compromising behavior, aku tetap menganggapnya berakibat buruk bagi kesehatan. []

[collapse]
Catatan 7: Resep Awet Muda

Ciputat, Sabtu 17 Januari 2009

Persis seminggu yang lalu, aku mentranskrip kaset ceramah Prof. Dr. Hamdani Anwar, M.A. di Masjid Agung Sunda Kelapa. Dia bercerita bahwa dia punya seorang profesor yang sudah sangat tua, umurnya antara 80-90 tahun, namun masih tampak sehat dan gesit mengajar.

Profesor itu sering ditanya oleh para mahasiswanya mengenai resep awet muda yang dia praktikkan. Profesor tua itu menjawab, “Resepnya lima, disingkat D-O-D-O-D. D pertama, Diet. Artinya, makan perlu diatur dan jangan berlebihan. Banyak penyakit bersumber dari perut. Ingat pesan Nabi, “Makanlah ketika lapar dan berhentilah sebelum kenyang.”

Berikutnya, Olahraga. Tanpa perlu dijelaskan lagi, olahraga jelas sangat bermanfaat bagi kesehatan. Semakin sehat seseorang, usia harapan hidupnya pun semakin panjang.

Kemudian, Dokter. Kalau sakit, pergilah ke dokter. Jangan sakit lantas didiamkan saja.

Selanjutnya, Obat. Setelah dokter memeriksa, dia pasti memberi resep obat. Nah, resepnya itu harus ditukar dengan obat dan obatnya harus diminum sesuai petunjuk dokter.

Terakhir, Doa. Segala usaha kita tidak ada maknanya kalau tidak disertai dengan doa. Mintalah kepada Allah agar umur kita dipanjangkan, tetapi juga minta pula agar umur panjang itu bermanfaat. Doanya adalah: Allâhumma thawwil a’mâronâ wa ashlih a’mâlanâ wa ahsin akhlâqanâ (Ya Allah, anugerahkan kami umur yang panjang, perbaikilah amal kami, dan muliakanlah akhlak kami).”

Menurut Pak Hamdani, manusia punya peran dalam memanjangkan atau memendekkan umurnya. Umur manusia pada dasarnya belum ditentukan akan mati kapan dan di mana. Yang ditetapkan oleh Allah adalah bahwa semua manusia pasti akan mati. Soal matinya kapan, hal ini dipengaruhi oleh manusia itu sendiri.

Dalilnya adalah surat Yâsîn [36] ayat 68, Allah berfirman: “Dan barangsiapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada kejadian-(nya). Maka apakah mereka tidak memikirkan?

Ayat di atas menggunakan kata ganti orang pertama jamak (kami). Artinya, walaupun pada hakikatnya Allah yang memanjangkan umur, pihak lain, dalam hal ini manusia, juga ikut berperan. Kalau kita sakit lalu diam saja, dengan menganggap bahwa sakit itu takdir Allah jadi tidak boleh diotak-atik, kecil kemungkinan akan sembuh. Kata Rasulullah, “Setiap penyakit ada obatnya.” Kalau kita sakit tidak diobati, kemungkinan besar kita meninggal lebih cepat. Kalau kita membiasakan gaya hidup sehat, kemungkinan besar kita akan jarang sakit dan usia harapan hidup kita lebih tinggi daripada orang yang terbiasa dengan gaya hidup jorok. []

[collapse]
Catatan 8: Dua Penghuni Baru

Ciputat, Senin 19 Januari 2009

Sejak tiga atau empat hari lalu, kosanku kedatangan penghuni baru: dua anak kucing yang imut dan lucu. Yang satu berbulu putih dengan sejumlah bercak hitam, yang satu berbulu hitam dengan paduan warna kuning dan putih. Dua-duanya perempuan. Aih, mungkin terlalu sopan: dua-duanya betina.

Sebelum ini aku pernah memelihara kucing dua kali. Lagi-lagi dua-duanya betina. Dan dua-duanya pergi setelah melahirkan anak. Bukan pergi, tapi diusir; kosanku tidak memiliki tempat yang layak untuk menampung keluarga kucing dengan bayi-bayi yang masih menyusui.

Kalau harus memilih, kucing jantan lebih kusukai untuk dipelihara daripada kucing betina. Kucing jantan tidak melahirkan dan tidak membikin kotor dan bau isi rumah. Tapi yang datang padaku selalu kucing betina. Ya sudah, mungkin sudah jodoh.

Soal jodoh, ada hal yang menarik. Beberapa kali aku mendatangkan kucing ke rumahku, kusekap berhari-hari di dalam rumah dan kuberi makan agar dia tahu rumahnya yang baru, tapi tak lama kemudian dia menghilang.

Dua kucing yang pernah kupelihara (dalam waktu yang berlainan), dua-duanya datang sendiri ke rumahku entah dari mana. Dan kini begitu pula dua kucing kecilku yang sekarang.

Kunamai kucingku “Mio”. Dari dulu, nama kucingku selalu Mio. Nama ini disulih dari bunyinya, miauwmiauw. Dalam bahasa Cina, miauw berarti kucing. Bahasa kita juga menamai kucing dengan bunyinya, meong.

Sekarang, karena kucingku ada dua, untuk membedakannya kusebut yang satu “Mio Putih” dan yang satunya “Mio Hitam”. Nama ini mungkin akan berubah seiring pergeseran warna bulu kucing jika mereka semakin besar nanti.

Kucing termasuk makhluk yang sering membuatku terheran-heran. Ia tidak berguna tetapi banyak disukai oleh manusia, termasuk diriku. Berbeda dengan anjing yang dapat menjaga rumah, melacak jejak, dan memiliki sifat setia pada tuannya, kucing tidak memiliki sifat-sifat itu. Bahwa kucing tidak setia, bahkan dapat digolongkan pengkhianat, dibuktikan dari perilakunya suka mencuri ikan di lemari makan tuannya.

Barangkali satu-satunya kegunaan kucing ialah sebagai qurrata a’yun (penyejuk mata). Kucing dipelihara semata-mata karena keindahannya, kelembutannya, kemanisannya, kelucuannya, dan dapat menjadi teman bermain manusia. (Peran ini dapat dimainkan oleh anjing-anjing jenis tertentu).

Mungkin ada yang berkata, kucing dapat menangkap tikus. Itu betul untuk kucing kampung. Tapi kucing kota (Ciputat termasuk kota) tampaknya banyak yang telah kehilangan kemampuan ini, sebab di kota jarang terdapat tikus rumah, yang ada adalah tikus got si buruk rupa. Tikus got berukuran besar, kadang menyamai ukuran kucing dewasa sehingga si kucing seringkali lari ketakutan kalau melihat tikus got.

Ditinjau dari perspektif psikologi kesehatan, memelihara kucing barangkali tidak menyehatkan disebabkan bulu-bulunya dapat mengganggu pernafasan. Malah ada yang bilang, perempuan yang sering berdekatan dengan kucing dapat kehilangan kesuburan.

Aneh. Tapi mungkin betul.

Tapi aku tidak peduli.

Aku suka kucing. Ia adalah boneka hidup bagiku. Aku suka memeluknya, mengelus bulu-bulunya, bahkan mencium hidungnya. Dan aku sangat terhibur dengan itu. Mungkin karena aku belum punya makhluk lain seukuran diriku yang bisa kuelus, kupeluk, dan kucium 🙂

[collapse]
Catatan 9: Begadang

Ciputat, Selasa 20 Januari 2009

Tadi malam aku begadang.

Ini adalah sesuatu yang menjadi pola hidupku selama bertahun-tahun lalu. Aku menghentikan gaya hidup begini semenjak bulan November 2008.

Menjelang subuh, aku diserang pilek ringan. Aku baru ingat, rupanya dulu pun aku sering begini. Tapi selayaknya embun, pilek ringan ini segera menghilang tatkala hari menjadi terang.

Aku tidak menganggap ini penyakit. Pilek ringan membuatku bersin-bersin, dan bersin itu rasanya enak juga. Memang terasa ada sesuatu yang mengganjal di lubang hidung. Tapi seperti halnya embun, ia akan hilang begitu cuaca memanas.

Aku juga tidak menganggap diriku alergi terhadap dingin. Di rumahku di kampung (Pandeglang) cuacanya tergolong dingin, juga kadang-kadang aku menginap di Puncak Bogor kalau ada acara, namun di kedua tempat itu aku tidak diserang pilek.

Begadang itu tidak baik bagi kesehatan. Makanya aku tidak lagi melakukannya, kecuali terpaksa atau tidak sengaja.

Begadang tidak sengaja?

Yang semalam itu boleh dikata begadang tidak sengaja, walaupun tidak sepenuhnya begitu. Sehabis magrib, aku merasa agak lelah dan mengantuk. Maka aku tidur lalu bangun pukul 10 malam dengan kondisi tubuh segar bugar.

Begitulah, sampai subuh aku terjaga. Kubuka komputer dan kulihat-lihat kemajuan skripsiku, ternyata tidak maju-maju. Malah aku mundur lagi dari judul semula, dan memutuskan untuk ganti judul. Tapi sebelumnya aku perlu konsultasi dulu dengan pembimbing. Semoga yang ini lancar, soalnya waktuku tak lebih satu bulan lagi.

(Soal ini kubicarakan nanti, kalau perkembangannya menggembirakan). []

[collapse]
Catatan 10: UAS Psikologi Kesehatan

Ciputat, Kamis 22 Januari 2009

Aku baru saja menyelesaikan program rutinku pagi hari, olahraga ringan di depan rumah. Terdiri dari pelemasan seluruh bagian otot dari kepala sampai kaki, loncat-loncat, push-up puluhan kali (awalnya minimal 20, sekarang kutambah menjadi 30), pernafasan, dan kuda-kuda. Semua rutinitas ini bagian dari health-enhancing behavior.

Setelah itu aku jalan ke tukang nasi uduk. Aku sudah hampir beli ketika tiba-tiba telepon berbunyi. Dari teman sekelasku, yang memberi tahu, “Sekarang lagi UAS Psikologi Keluarga.”

Aku tak punya waktu untuk terkejut. Saat itu pukul 08.20 menit. Katanya, UAS sudah dimulai sejak pukul 08.

Tadinya kupikir UAS akan dimulai pukul 13 atau paling cepat pukul 11 siang, sesuai jadwal kuliah mingguan. Ternyata dilebihpagikan.

Sialnya, aku belum baca sama sekali. Untungnya, soal-soal UAS Psikologi Keluarga semuanya berisi wacana dan lebih meminta daya nalar untuk menjawabnya, bukan hafalan. Jumlah soal ada 11. Soal semacam ini adalah bagianku, meski tetap saja aku terdesak oleh waktu yang menyempit.

Jadilah aku hari ini pukul 8 lewat ¾ ikut UAS Psikologi Keluarga, selesai pukul 9 lewat ¾.

Setelah itu aku bertanya jadwal UAS Psikologi Kesehatan kepada seorang pengawas. “Sekarang,” jawabnya, “di lantai 3.”

Sungguh aku tidak punya waktu lagi untuk membaca bahan apa yang kira-kira bakal di-UAS-kan.

Tadinya, persiapan untuk UAS (baik Psikologi Keluarga maupun Psikologi Kesehatan) baru akan kumulai pagi ini. Setelah makan uduk, aku baru akan membuka-buka makalah, lalu berangkat ke kampus pukul 10-an.

Tapi ya sudah, waktu telah menghukum kelalaianku.

Seperti halnya waktu ke UAS Psikologi Keluarga, kali ini pun aku terlambat lebih dari setengah jam. Soal-soal UAS Psikologi Kesehatan berjumlah 5, separuh lebih menuntut daya hafal, sebagiannya daya nalar.

Tak sampai sejam kemudian, ujianku selesai juga. Naskah soal dikumpulkan bersama lembar jawaban. Seingatku, soal-soal UAS Psikologi Kesehatan (redaksi kalimat pasti banyak berubah, mungkin pula maksudnya) adalah sebagai berikut:

  1. Hal-hal/faktor-faktor psikologis apakah yang menjadi dasar pertimbangan individu dalam menggunakan pelayanan kesehatan?
  2. Mengapa penanganan penyakit kronis pada anak lebih sulit daripada orang dewasa? Berikan contohnya.
  3. Jelaskan tahap-tahap seseorang menghadapi penyakit menurut teori Kubler-Ross. Berikan contohnya.
  4. Apa perbedaan health-compromising behavior dan health-enhancing beharior? Berikan contoh.
  5. Mengapa kondisi psikis berpengaruh pada kondisi fisik (detak jantung, dsb)? Berikan contoh.

Aku mulai menjawab soal dari nomor 4, karena itulah yang paling kuingat. Soal ini pernah kuangkat dalam catatan harian psikologi kesehatan yang ke-6 (Lihat Cathar PK6: Empat Kebaikan Satu Keburukan). Jawabanku tidak jauh berbeda dengan di cathar tersebut.

Lalu aku melanjutkan ke soal nomor 5. Kukatakan bahwa ada kesejajaran (paralelism) antara fisik dan psikis (entah benar atau tidak istilahnya). Aku jawab begitu karena rasanya soal ini bisa kuhubungkan dengan konsep psikoneuroimunologi yang pernah kubahas juga di cathar (lihat Cathar PK5: Kecemasan dan Psikoneuroimunologi).

Dari nomor 5, aku mengisi nomor 2. Seingatku, masalah ini ada di bab tentang terminal illness (sekarat). Mengapa penanganan penyakit kronis pada anak lebih sulit ialah karena anak-anak sering kesulitan memahami keadaan, dan orang dewasa pun (dokter, orangtua) tidak mudah memberikan penjelasan yang dapat dipahami anak namun tanpa membuatnya lebih stres. Atas pertimbangan ini, anak-anak sakit parah seringkali diberi lebih sedikit informasi langsung tentang keadaan mereka. Jika anak tahu tentang keadaan penyakitnya, reaksinya bisa sangat mengejutkan. Jangankan anak-anak, kita pun merasa mereka seharusnya belum waktunya mati.

Jawabanku di UAS untuk nomor 2 tidak persis seperti ini, tapi sepertinya tidak terlalu jauh melenceng.

Soal nomor 3 adalah sasaranku berikutnya. Soal ini pun masih terkait dengan tema terminal illness. Tapi kurasa istilah dalam soal kurang tepat. Bukan tahap-tahap menghadapi penyakit, tapi tahap-tahap menghadapi penyakit yang berujung pada kematian. Maksudnya kira-kira, bagaimana reaksi pasien ketika ia divonis mati oleh dokter akibat penyakitnya tak mungkin tersembuhkan.

Kubler-Ross mengajukan lima tahap, yaitu: [1] penolakan, [2] marah, [3] perundingan, [4] depresi, [5] penerimaan.

Dalam jawabanku, aku tidak memberikan penjelasan sama sekali tentang kelima tahap tersebut. Rasanya istilah-istilah itu dan urutannya sudah jelas dengan sendirinya. Tapi saat kulihat kembali makalah (sambil menulis cathar ini), penjelasannya memang ada, namun tak akan kumuat di sini.

Terakhir, aku menjawab soal nomor 1. Tapi malang, jawabanku untuk soal ini salah semua. Makanya tak akan aku kutipkan jawabanku di sini. Persoalan ini ada di makalah kelompok yang membahas tentang “The Patient in the Treatment Setting”. Sambil menulis cathar ini, kubolak-balik makalah tersebut namun tidak menemukan konsep apapun yang patut dijadikan jawaban. Maksudku, makalahnya begitu buruk. Rasanya, biarpun saat UAS tadi aku mencontek, jawabanku akan tetap salah.

Yang kutemukan di sub-bab “Menggunakan Pelayanan Kesehatan” ialah sejumlah istilah yang sulit dihubungkan satu sama lain, yaitu [2] pengakuan dan interpretasi gejala, [2] pengakuan gejala, [3] perbedaan kebudayaan, [4] perbedaan perhatian, [5] faktor situasional, [6] stres, [7] suasana hati, [8] interpretasi gejala, [9] pengalaman terdahulu, [10] dugaan, dan [11] representasi kognitif dari keadaan sakit.

Mungkinkah jawabannya istilah-istilah ini?

Mungkin jawaban sebenarnya ada pada saat diskusi kelas. Sayang, waktu itu aku tidak hadir.

Soal nomor 2, 3, 4, dan 5 semuanya meminta contoh. Nomor 4 rasanya kuberikan contoh, tapi selebihnya tidak. Aku bingung, perlukah soal-soal begitu diberi contoh?

Apapun, aku memang tidak tahu. Seharusnya aku belajar jauh-jauh waktu. []

[collapse]
Catatan 11: Selera Makan, Berteriak

Ciputat, Ahad 25 Januari 2009

Kembali ke Selera Asal atau Menyesuaikan Diri?

Siang ini aku dikecewakan warung nasi langgananku. Dia memberiku ikan sisa kemarin yang bumbunya sudah basi sehingga hanya sanggup kumakan beberapa suap. Setelah itu kusembunyikan piring berikut lauk dan nasi yang masih utuh di bawah bangku panjang, lalu aku membayar dan pergi.

Ini bukan kejadian pertama kali. Maka untuk seminggu ke depan mungkin aku tidak akan makan di situ. Inilah cara seorang pelanggan menghukum warung langganannya. Seandainya warung nasinya tidak terlalu dekat dari kosanku, dan hubunganku dengan pemilik warung belum terlalu akrab, mungkin aku tak akan memikirkan soal ini sama sekali alias tidak akan kembali untuk selamanya.

Semoga dia ngeh akan hal ini.

Tindakanku ini sebetulnya membikin susah diriku sendiri. Aku jadi susah mencari tempat makan karena sekarang ini aku tidak bisa lagi makan di sembarang warung.

Dulu waktu awal-awal kuliah, rasanya aku bisa makan di mana saja. Asalkan aku lapar, aku tinggal masuk ke warung terdekat dan termurah yang kujumpai (biasanya warteg). Sepertinya, dulu semua masakan sama rasanya; yang membedakan hanya masalah harga.

Sekarang tidak lagi. Aku sudah bisa membedakan rasa makanan, aku sudah punya selera, tapi “kemajuan” ini justru menyusahkan diriku sendiri.

Dulu, makan di warung pecel lele kuanggap sebagai suatu kemewahan sehingga pernah selama beberapa waktu aku dan teman sekosku menjadwalkan makan di pecel lele tiap malam minggu, seolah-olah itu suatu hiburan yang menyenangkan. Dulu, makan di pecel lele berarti status sudah naik dari kelas bawah ke kelas menengah.

Sekarang, kurasakan betapa naifnya anggapan itu. Makan di pecel lele tak ada istimewanya sama sekali, dan kelasnya pun kini tak lagi kubedakan dengan warteg.

Sekarang mungkin aku dapat dikatakan sudah naik kelas atau status, tapi sekaligus aku kehilangan fleksibilitas dalam memilih makanan.

Sungguh, ini bukan suatu hal yang menyenangkan.

Rasanya, saat ini aku hanya ingin kembali kepada selera yang berasal dari tradisiku: Sunda (Banten termasuk Sunda). Menu standar untuk masakan Sunda adalah nasi (putih atau merah), lauk (tawar atau asin, tahu, tempe), sayur (sop, asem, bening), lalap (mentah atau rebus, dan yang paling istimewa adalah jengkol atau peuteuy), dan sambel (sambel goang atau sambel terasi).

Sambel tidak boleh sembarang sambel. Satu hal yang membuatku ilfil terhadap kebanyakan warung pecel lele adalah masalah sambelnya. Ada yang hambar, ada yang terlalu manis, memakai kacang atau campuran lain yang terkesan diada-adakan, atau digoreng.

Perlu kukatakan di sini, sambel kacang bukan tidak dikenal dalam tradisi kuliner Sunda, tapi peruntukannya bukan sebagai teman makan nasi. Sambel kacang cocoknya untuk pecel/karedok/gado-gado atau bakwan.

Sambel goreng pun cukup diakrabi masyarakat Sunda dan banyak dipakai sebagai teman makan nasi. Aku tidak menolak sambel goreng, tapi akan lebih baik kalau tidak digoreng.

Yang kumaksud sambel goreng adalah sambel yang digoreng ke dalam minyak sayur setelah seluruh bahan diulek. Kuberikan definisi ini untuk membedakannya dengan sambel yang bahan-bahannya digoreng dahulu sebelum diulek dalam coet (ulekan, lumpang). Yang terakhir ini lebih kusukai dengan kesukaan yang sama terhadap sambel mentah.

Sayang sekali bagiku, di Ciputat ini tidak banyak orang Sunda yang membuka kedai makan. Di antara yang sedikit itu, yang terbaik dan terenak adalah warung nasi Mang Sadi. Sayang, warungnya cukup jauh dari kosanku dan mesti menyeberang jalan raya. Aku tidak suka menyeberang jalan raya; seolah-olah aku melihat banyak malaikat maut di mana-mana.

Aku pun tidak ingin membiasakan untuk makan saja mesti mengeluarkan motor dari kandang. Ini kebiasaan kaum kaya yang menunjukkan betapa sesungguhnya hidup mereka dibikin susah oleh tingginya selera makan.

Seleraku sebetulnya belum dapat disebut tinggi, tapi aku sudah merasakan betapa merepotkannya jika untuk makan saja harus memilih-milih tempat. Pernah aku mengikuti seorang seniorku yang kaya saat dia hendak makan. Berputar-putar dengan mobil di tengah kota, sekian restoran mesti dilewati sebelum akhirnya masuk ke satu restoran.

Ketika kurenungkan hal ini, sesungguhnya orang-orang miskin lebih mudah untuk bahagia karena mereka bisa makan di mana saja tanpa banyak pikir.

Sekarang, meski aku telah memiliki selera ideal tertentu soal makanan, aku akan membiasakan diri untuk makan di tempat terdekat dan termurah ketika aku lapar. Aku akan membiasakan kembali makan di warteg karena tempat itulah yang biasanya paling banyak dan paling dekat.

Aku membayangkan, jika aku aku terlalu memilih-milih soal makanan dan terutama jika aku hanya menyukai masakan dari tradisi asalku, lalu suatu saat aku berkesempatan bersekolah di luar negeri atau bekerja di daerah dengan budaya berbeda, tentulah aku ingin lekas-lekas pulang saja.

Atau yang lebih fatal: jika istriku kebetulan bukan orang Sunda atau dia orang Sunda tapi tidak bisa masak, butuh lebih banyak kompromi agar aku dan keluargaku masih bisa bahagia.

Aku sendiri cukup bisa masak dan hanya butuh sedikit pembiasaan saja agar rasa masakan yang kubuat dapat stabil. Tapi si dia belum tentu suka dengan hasil karyaku :-).

Berteriak Itu Menyehatkan

Malam Ahad (tadi malam) aku datang ke acara diskusi di padepokan Iwan Fals di Leuwinanggung, Cimanggis, Depok. Tema diskusi tentang konflik Israel-Hamas, menghadirkan tiga pembicara dan dua panelis. Dalam acara itu, hadir grup musik Debu yang penampilannya menghibur sekali. Di ujung acara, Bang Iwan menyanyi empat lagu, di antaranya Puing 1 dan Puing 2. Aku merangsek ke depan bersama orang-orang lain dan ikut bernyanyi-nyanyi dan berteriak-teriak sepuasnya.

Seharian ini, suaraku rasanya hampir habis dan aku hanya bisa berbicara dalam nada bas (suara rendah).

Tapi aku tidak menyesal.

Hal yang sama (suara habis) pernah kualami sehabis menonton bola di Gelora Bung Karno antara Indonesia lawan Arab Saudi di Piala Asia dan Indonesia lawan Bayern Muenchen.

Tapi aku puas.

Sangat jarang orang yang tinggal di kota beroleh kesempatan untuk berteriak keras-keras. Samping kita kiri kanan depan belakang dipenuhi oleh manusia-manusia yang akan terganggu jika kita berteriak-teriak seenaknya.

Hanya di stadion atau di konser musik atau di lapangan olah raga berteriak menjadi sesuatu yang wajar dilakukan.

Kurasakan, berteriak pun merupakan kebutuhan manusia.

Berteriak adalah sebentuk katarsis, pembersihan jiwa dari beban-beban hidup yang menekan.

Berteriak itu menyehatkan.

Hal lain. Satu minggu terakhir ini (persis 7 hari) aku sama sekali tidak merokok barang sebatang pun. Selamat kepada diriku. []

[collapse]
Catatan 12: Terakhir, Aku Ingin Bercerita tentang Ibu Guruku

Ciputat, Jumat 30 Januari 2009

Terakhir, aku ingin bercerita tentang ibu guruku, Ibu Neneng Tati Sumiati, Psi, M.Si.

Dia perempuan (tentu saja). Cantik. Manis. Seksi. Baik. Ramah. Tidak pernah terlihat marah. Tampaknya penyabar, pengertian, dan mudah mengalah.

Dari segi ini saja, aku bisa katakan bahwa suaminya beruntung.

Semoga Ibu Guruku juga seberuntung suaminya.

Di awal kuliah, dia mengizinkanku absen lebih banyak dari yang diizinkan karena pada jam yang sama aku harus mengikuti kuliah Psikologi Keluarga. Dalam hal ini, guru Psikologi Keluarga (Ibu Zahrotun Nihayah dan Ibu Fadhilah Suralaga) juga orang baik karena mengizinkan hal serupa.

***

Aku tidak tahu seberapa tinggi ilmu Ibu Guruku. Tapi yang pasti, ilmunya lebih tinggi daripada ilmu murid-muridnya. Ketinggian ilmu seseorang hanya bisa diukur oleh orang yang ilmunya setara atau lebih tinggi.

Ada ungkapan dalam sebuah hadis, “Tidurnya orang alim (berilmu) lebih baik daripada salatnya orang jahil (bodoh).”

Ada lagi ungkapan, entah kata siapa, “Sesaat bersama orang alim lebih baik daripada setahun bersama orang bodoh.”

Bertrand Russel punya ungkapan yang mengagetkan. Katanya, “Satu jam duduk bersama Galileo dan Newton lebih berharga daripada seumur hidup kuliah kepada Plato dan Aristoteles.” (Kata-katanya tidak persis, sumbernya saya lupa)

Russel menganggap ilmu Isaac Newton dan Galileo Galilei lebih tinggi dan lebih teruji daripada pengetahuannya Plato dan Aristoteles karena Newton dan Galileo hidup lebih belakangan. Newton dan Galileo tahu apa yang diketahui Plato dan Aristo, sementara sebaliknya tidak. Selain itu, filsafatnya Plato dan Aristo banyak tercampur dengan khayalan dan mitos, sementara ilmunya Newton dan Galileo relatif lebih terbebaskan dari hal-hal sedemikian itu.

Kaitan ungkapan-ungkapan tersebut dengan kuliah Psikologi Kesehatan: kuliah ini disajikan dengan metode presentasi dan diskusi, ditutup dengan kesimpulan Ibu Guru. Presentasi dibawakan oleh kelompok. Waktu presentasi dan diskusi lebih lama daripada waktu yang dimiliki Ibu Guru untuk bicara, sekitar 1 s.d. 1,5 jam, sementara waktu Ibu Guru paling banyak cuma setengah jam.

Namun hasilnya di pihakku sendiri selalu begini: aku seringkali tidak mendapat pengetahuan apa-apa dari presentasi kelompok, juga dari makalah mereka yang umumya kacau-balau, selain barangkali sejumlah istilah baru dan beberapa kebingungan.

Maka aku hanya menunggu giliran Ibu Guruku yang bicara. Dan selalu, kata-katanya yang beberapa menit itu terasa jauh lebih berharga dan lebih menjelaskan.

***

Aku menyukai mata kuliah yang dibawakannya. Psikologi Kesehatan. Baru pertama kali ini diajarkan di Fakultas Psikologi sebagai mata kuliah peminatan. Ada beberapa hal yang kuperoleh dari mengikuti mata kuliah ini, antara lain:

Pertama, sejumlah pengetahuan tentang psikologi dan kesehatan. Ini hal standar yang memang mesti kita peroleh setiap kali mengikuti pelajaran apapun. Tak ada yang istimewa dengan perolehan pengetahuan semacam ini, karena memang sudah semestinya.

Kedua, kesadaran untuk lebih menghargai kesehatan. Pengetahuan (aspek kognitif) melahirkan sikap (afektif). Gabungan keduanya memicu perbuatan (psikomotor).

Ketiga, aku jadi berhenti merokok. Sekarang sudah 12 hari aku tidak merokok, dan aku yakin bisa seterusnya. (Poin ini kupisahkan dari poin kedua, karena kuanggap begitu penting secara simbolik).

Keempat, setelah bertahun-tahun tidak masuk kelas dan mengikuti mata kuliah tertentu, aku merasakan sensasi yang berbeda ketika aku kuliah lagi dan sekelas bersama anak-anak yang lima tingkat lebih muda (angkatan 2005, aku angkatan 2000). Sensasi yang berbeda ini meluaskan pikiran dan rasanya menyenangkan.

Kelima, adanya catatan harian ini. Jumlahnya 12 catatan. Inginnya kutulis lebih banyak, tapi ternyata tidak setiap hari aku mendapat ide untuk ditulis. Kalau hanya mencatat hal-hal yang kulakukan dari jam ke jam, rasanya itu tidak menarik. Bukan tingkah lakuku setiap hari yang ingin kutuliskan, tapi makna yang kuperoleh dari apa-apa yang kulakukan. Setiap hal yang kulakukan mungkin ada maknanya, tapi ternyata ada masalah lain: aku tidak selalu punya waktu untuk merenungkannya.

O ya, mungkin yang kutuliskan tidak selalu berhubungan dengan tema psikologi atau kesehatan, kecuali sedikit saja dan itu pun mungkin terkesan dipaksakan. Tapi aku sedang belajar untuk meninjau sesuatu dari beragam sudut pandang.

Kurasa itu saja dulu. Mungkin seharusnya aku mendapatkan lebih banyak lagi, misalnya teman-teman baru dan mungkin gadis-gadis muda yang bisa kuajak kencan. Tapi, ah.. (soal ini, yang kuperoleh di kelas Psikologi Keluarga beberapa tingkat lebih baik).

***

Tahun ini adalah pertama kali Psikologi Kesehatan dijadikan sebagai matakuliah peminatan. Mungkin tahun depan masih akan diulang.

Tidak ada manusia yang sempurna dan perbuatan yang sempurna. Kuyakin Ibu Guruku yang cantik telah melakukan evaluasi atas kuliah yang dibawakannya, dan akan memerbaikinya di tahun yang akan datang.

Tapi aku ingin menyampaikan dua hal.

Pertama, Ibu Guruku tergolong permisif soal etika ilmiah. Makalah kelompok dibuat seadanya, sering tanpa mencantumkan referensi, dan kalaupun ada, tidak satu pun yang betul cara pengutipan sumbernya. Dan Ibu Guruku diam saja soal ini.

Mungkin yang mereka buat memang bukan makalah (paper). Katakanlah, sekadar bahan diskusi. Maka yang terjadi, mereka hanya melakukan “copy and paste” dari satu atau dua buku, atau menerjemahkan secara letterlijck sebuah bab dari buku sumber utama (Health Psychology karya Shelley E. Taylor) dengan kualitas transtool.

Hal semacam ini, menurutku, dapat menghambat iklim ilmiah di Fakultas Psikologi. Jika disiplin prajurit dilihat dari cara mereka berbaris, maka disiplin ilmiah mahasiswa (juga dosen) dilihat dari cara mereka menulis.

Kedua, silabus mata kuliah perlu lebih dipertegas kaitannya dengan psikologi. Misalnya ada tema “sistem tubuh manusia”. Kalimat itu tidak cukup. Kelompok yang mendapat tugas membuat makalah tentang tema ini cenderung hanya mengacu pada buku-buku kedokteran sehingga kuliahnya pun jadi lebih mirip kuliah kedokteran, bukan psikologi (kesehatan).

Contoh lagi, ada tema “Heart Disease, Stroke, Hipertensi, dan Diabetes Melitus”. Jika judulnya seperti ini saja, mahasiswa cenderung hanya menjelaskan nama penyakit-penyakit itu dan tidak mengaitkannya dengan psikologi.

Usul saya, sejak dari judul, istilah psikologi harus disebutkan. Misalnya, “Sistem Tubuh Manusia dan Kaitannya dengan Psikologi”, “(Nama-nama penyakit) dan Psikologi”, dan semacamnya.

***

Dari Freud saya belajar untuk mencurigai setiap motif.

Aku pernah bertanya kepada diriku sendiri, “Seandainya Ibu Guruku tidak secantik itu, maukah aku menghabiskan waktu sekian jam dalam sekian hari untuk menulis catatan ini?” []

Tambahan: kabar terbaru setelah saya cari di internet, guru saya ini telah memperoleh gelar Doktor dari UI di bidang psikologi pada tahun 2021. Infonya bisa dilihat di SINI.

[collapse]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *