BPJS dan Drama 144 Penyakit: Salahnya di Mana?
Oleh Erta Priadi Wirawijaya
Belakangan ini, BPJS jadi bahan obrolan hangat di media sosial. Banyak influencer yang tampaknya “momojokkan” BPJS, terutama soal aturan 144 penyakit yang katanya hanya bisa ditangani di PPK 1 alias puskesmas. Belum lagi ada yang meledek aturan kalau kunjungan ke IGD itu tidak ditanggung kalau bukan kasus darurat. Jadi, sebenarnya salahnya di mana?
Pertama-tama, mari kita pahami bahwa BPJS itu sistem jaminan sosial. Fungsinya bukan untuk menanggung semua jenis penyakit, apalagi yang ringan seperti masuk angin atau “patah hati” karena habis ditolak gebetan. BPJS dirancang untuk mencegah warganya jatuh miskin karena biaya pengobatan penyakit berat, seperti serangan jantung, stroke, atau kanker. Kalau Anda harus jual rumah gara-gara biaya perawatan, di sinilah BPJS berperan sebagai penyelamat.
Kenapa 144 Penyakit di Puskesmas?
Sekarang soal 144 penyakit yang katanya hanya boleh ditangani di puskesmas. Logikanya sederhana: penyakit ini dianggap ringan dan bisa ditangani tanpa perlu fasilitas rumah sakit besar. Contohnya, demam biasa, batuk pilek, atau masalah pencernaan ringan. Kalau semua orang dengan penyakit ringan langsung menyerbu rumah sakit besar, fasilitas kesehatan akan penuh sesak. Bayangkan kalau Anda datang ke IGD karena serangan jantung, tapi antreannya panjang karena ada yang datang hanya untuk minta surat sakit buat absen kerja.
Jadi, aturan ini sebenarnya untuk efisiensi. Penyakit ringan cukup ditangani di PPK 1, yang lebih dekat dan cepat. Kalau memang membutuhkan rujukan, puskesmas atau dokter keluarga akan merujuk Anda ke rumah sakit.
IGD Hanya untuk Darurat
Lalu soal IGD. Banyak yang protes karena BPJS tidak menanggung kunjungan ke IGD jika bukan kasus darurat. Mari kita luruskan: IGD itu singkatan dari Instalasi Gawat Darurat, bukan Instalasi Gawat Sedikit. Kalau Anda datang ke IGD karena sakit perut setelah makan kebanyakan gorengan, atau habis mukbang super pedas ya wajar kalau tidak ditanggung. Itu bukan kasus darurat, dan Anda mungkin hanya butuh istirahat atau makan makanan lebih sehat.
Sistem ini bukan cuma ada di Indonesia. Coba lihat di negara lain. Misalnya di Singapura, kalau Anda datang ke IGD rumah sakit tanpa alasan darurat, Anda tetap harus bayar. Biayanya bisa lumayan mahal, meskipun Anda punya asuransi kesehatan. Sistemnya dibuat agar orang lebih bijak dalam menggunakan fasilitas kesehatan, bukan untuk meledek atau menyusahkan pasien.
BPJS untuk Kasus Berat, Bukan Penyakit “Ecek-ecek”
Sekarang bayangkan ini: Anda dirawat karena serangan jantung dan butuh pengobatan yang total biayanya mencapai 100 juta. Nah, inilah peran BPJS yang sebenarnya. Biaya besar seperti ini yang seharusnya di-cover, karena tanpa bantuan, Anda mungkin harus menjual harta benda atau berutang hanya untuk bisa sembuh.
Tapi kalau semua penyakit, termasuk yang ringan seperti masuk angin atau demam biasa, ikut ditanggung, anggaran BPJS pasti kewalahan. Tidak ada negara mana pun yang sistem asuransinya bisa menanggung semua penyakit tanpa batas. Itu sebabnya, penyakit ringan sebaiknya diatasi secara out of pocket alias bayar sendiri. Lagi pula, biaya pengobatan penyakit ringan biasanya tidak akan membuat kantong bolong, kan? Atau kalau tidak out of pocket ya, setidaknya ada iur bayar atau co payment seperti yang diterapkan hampir di semua negara lain di dunia yang sistem kesehatan nya sudah mapan seperti German atau Singapura.
Sebagai dokter, kita juga punya tanggung jawab untuk membantu mengedukasi masyarakat. Jangan semua keluhan langsung diarahkan ke rumah sakit besar. Kalau memang kasusnya ringan dan bisa ditangani di puskesmas atau dengan istirahat di rumah, itu adalah pilihan yang lebih baik. Edukasi seperti ini penting untuk meringankan beban BPJS dan memastikan anggaran digunakan untuk kasus-kasus yang memang membutuhkan perawatan intensif.
Sebaliknya, untuk kasus berat seperti stroke, serangan jantung, atau kanker, BPJS memang harus hadir. Sistem ini diciptakan untuk membantu rakyat menghadapi situasi sulit, bukan untuk menanggung biaya pengobatan yang sebenarnya tidak membahayakan secara finansial.
Jadi, mari kita lebih bijak dalam menggunakan BPJS. Jangan jadikan sistem ini kambing hitam hanya karena aturan yang tampaknya membatasi. Aturan itu ada untuk memastikan bahwa BPJS dapat bertahan dan benar-benar membantu mereka yang paling membutuhkan.
Kalau sakit ringan, coba periksa di puskesmas dulu. Kalau memang darurat, tentu IGD siap membantu. Dan kalau ada yang mengeluhkan BPJS tidak menanggung semuanya, ingatkan mereka bahwa sistem ini adalah penyelamat untuk situasi darurat yang benar-benar bisa menghancurkan keuangan seseorang. Bukan untuk kasus “ecek-ecek.”
Karena pada akhirnya, kesehatan itu tanggung jawab bersama, bukan hanya pemerintah atau BPJS. Kita semua, sebagai masyarakat, punya peran untuk mendukung sistem ini berjalan dengan baik. Kalau semua orang bijak, BPJS bisa terus menjadi harapan bagi mereka yang benar-benar membutuhkan. [Erta Priadi Wirawijaya, Sp. JP. adalah dokter spesialis jantung di RS Karisma Cimareme. Tulisan diambil dari akun FB-nya tanggal 7 Januari 2025)