Awal Januari 2025, Amerika Serikat mengalami bencana alam berupa kebakaran yang sangat dahsyat di kawasan Los Angeles, California. Dikatakan bahwa ini merupakan kebakaran terhebat dan terluas dalam sejarah Amerika Serikat. Kerugian material diperkirakan mencapai 150 miliar USD atau setara 2400 triliun Rupiah dan dapat terus bertambah. Sementara korban jiwa sejauh ini hanya belasan orang.
Banyak netizen Indonesia yang mensyukuri kejadian ini seraya menganggap hal itu sebagai hukuman atau azab dari Tuhan atas peran Amerika Serikat dalam pembantaian di Gaza.
Benarkah demikian?
Menurut saya masih terlalu jauh untuk menyebut bencana tsb sebagai hukuman untuk Amerika Serikat.
Pertama, AS sudah berkali-kali mengalami bencana alam besar sejak ratusan tahun lalu, dan sampai sekarang mereka tetap eksis sebagai negara terkuat di dunia. Bencana-bencana besar itu banyak yang terjadi sebelum ada kasus Israel menduduki Palestina.
Beberapa bencana besar sejak 1900 antara lain (dikutip dari ChatGPT):
- Badai Galveston (1900): korban jiwa 6000-12000 orang dan kerugian 35 juta USD (setara miliaran USD saat ini).
- Gempa San Fransisco (1906): korban jiwa 3000 orang, kerugian 524 juta USD
- Gempa Alaska (1964): korban jiwa 131 orang, kerugian 2,3 miliar USD. Gempa terbesar berkekuatan 9,2 SR.
- Badai Andrew (1992): korban jiwa 65 orang, kerugian 27,3 miliar USD.
- Badai Katrina (2005): korban jiwa 1800 orang, kerugian 125 miliar USD.
- Kebakaran hutan Camp Fire (2018): Korban jiwa 85 orang, kerugian 16,5 miliar USD.
Kedua, bagi negara-negara berkembang dan negara muslim pada umumnya, bencana yang dialami Amerika Serikat itu tampak sangat besar. Nilai kerugiannya melebihi APBN kebanyakan negara berkembang. Tapi bagi Amerika sendiri, semua itu tak sampai 1% dari PDB-nya. Misalnya kerugian kebakaran LA yang 150 miliar USD, itu tak sampai 1% dari PDB AS yang mencapai 27 ribuan miliar USD. Jadi masih sangat jauh untuk membuat AS bangkrut.
Atau lihatlah kerugian yang dialami seleb Paris Hilton. Rumah mewahnya yang hangus di Malibu seharga 8,4 juta USD (setara 136 miliar Rupiah), tak ada apa-apanya dibanding total kekayaan bersihnya yang mencapai 300 juta USD (4,6 triliun), belum termasuk kekayaan keluarga Hilton. Dengan mudah dia bisa bangun kembali rumah mewahnya dan melanjutkan kehidupan dengan baik-baik saja.
Ketiga, korban jiwa di peristiwa kebakaran tsb ternyata sangat minim dibandingkan skalanya yang sangat besar, hanya belasan atau beberapa puluh orang. Meski ada ratusan ribu orang yang mengungsi, tapi semuanya dalam kondisi terkendali. Tak terdengar ada kasus gak kebagian ransum atau tidak kebagian tempat tidur. Selain dari pemerintah, banyak komunitas dan seleb yang menjadi relawan membantu para pengungsi. Setelah semua ini berakhir, mereka bisa kembali ke tempatnya dan hidup seperti sediakala.
Bedakan dengan para pengungsi akibat perang di Gaza dan Suriah, yang jumlahnya jutaan orang dan telah bertahun-tahun tinggal di kamp pengungsian tanpa memiliki masa depan.
Keempat, jangan lupa bahwa kita di Indonesia pun sering mengalami bencana alam yang dahsyat seperti tsunami Aceh tahun 2004 (korban jiwa 150 ribu orang), gempa bumi Jogja tahun 2006 (korban jiwa 5700 orang), gempa bumi dan tsunami Palu tahun 2018 (korban jiwa 4000 orang), banjir besar setiap tahun di Jakarta (dulu) dan beberapa daerah lain, kebakaran hutan tahun 1997 dan 2015, letusan gunung Merapi tahun 2010, atau lebih jauh lagi letusan gunung Krakatau 1883 yang menewaskan 36 ribu orang pada saat itu. Apakah mau jika dibilang semua itu azab?
Kelima, bencana alam di mana pun tempatnya dan siapa pun yang tertimpa merupakan kejadian yang menimbulkan penderitaan bagi manusia. Tidak layak kita mengungkapkan rasa syukur atas penderitaan manusia lain. Bahkan walaupun dalam hati anda gembira atas musibah orang yang anda benci, anda tidak layak mengucapkannya. Dan jika anda percaya konsep hukuman atas perbuatan, pernyataan gembira anda tadi bisa jadi berbalik menjadi bencana atas diri anda.
Dan perlu diingat bahwa kondisi rakyat Gaza dan para pengungsi perang Suriah jauh lebih buruk daripada para korban kebakaran di LA. Jangan sampai rasa syukur anda atas musibah yang menimpa pihak yang anda benci itu berbalik menjadi musibah yang lebih berat untuk saudara-saudara anda, atau anda sendiri.
Keenam, bagi umat Islam, daripada anda hanya bisa mengutuk pihak lain, lebih baik introspeksi kenapa Gaza sangat mudah dibombardir musuh dan negara-negara Islam sangat mudah diadu domba.
Masalahnya, menurut saya, adalah kebodohan umat Islam sendiri. Palestina dan negara-negara Islam kalah bukan karena tidak bersatu, tapi karena kalah pintar. Negara2 Islam tidak mampu membuat senjata yang lebih canggih dari yang dipakai Israel dan sekutunya. Kenapa tidak mampu? Karena bodoh dan tidak mau belajar. Kalaupun belajar, yang dipelajari hanya menghafal kitab-kitab jaman dulu, yang tidakĀ berguna sama sekali dalam membuat senjata dan peralatan yang canggih untuk mengalahkan musuh.
Jadi seharusnya yang dipelajari adalah ilmu yang sama yang membuat musuh mampu membuat senjata dan peralatan canggih. Dan tentunya belajarnya harus ke mereka, karena mereka yang punya ilmunya. Itulah yang membuat Jepang, Korea, dan China mengirim para pelajar ke Amerika dan Barat, sehingga sekarang mereka mampu menandingi Barat dalam teknologi.
Sekarang, seharusnya yang dilakukan para pemimpin Muslim adalah menggalakkan para pelajar Islam untuk menuntut ilmu ke Amerika Serikat, negara-negara Barat, hingga ke Jepang, Korea, dan China. Tentunya semua itu butuh waktu dan biaya. Tapi semua itu lebih baik daripada biayanya dipakai untuk melontarkan granat dan roket tak berarti ke kawasan musuh. [Asso]