Waktu saya kecil, bapak saya sering menceritakan dongeng. Inilah salah satunya. Saya tuliskan dongeng tersebut dengan beberapa perubahan.
Di sebuah desa di tepi hutan, hiduplah seorang tukang mancing. Dia memiliki benjolan daging tumbuh di keningnya. Besarnya kira-kira seukuran bola pingpong. Dia sangat malu dengan benjolan itu, dan itulah sebabnya dia jadi tukang mancing, karena tukang mancing kerjanya sendirian.
Pada suatu hari, dia memancing di lubuk sebuah sungai tidak jauh dari desanya. Sejak siang dia duduk, sampai sore hasilnya hanya sedikit. Karena penasaran, dia terus memancing hingga magrib menjelang.
Saat hari mulai petang, seperti biasa bangsa jin dan makhluk halus keluar dari sarang. Yang dewasa berkeliaran untuk bekerja, yang anak-anak bermain-main, dan mungkin di antara mereka ada juga yang pergi ke sekolah.
Ada sekelompok anak jin yang tinggal dekat lubuk sungai. Saat mereka keluar sarang, perhatian mereka tersedot pada si tukang mancing yang masih menunduk di tepi sungai. Anak-anak jin itu hendak pergi untuk bermain-main. Saat itu mereka sedang bingung memikirkan permainan apa yang akan mereka mainkan malam itu.
Tatkala melihat si tukang mancing, terpikir oleh mereka untuk bermain-main dengan manusia itu. Lebih tepatnya, mempermainkan. Tapi sebagian tidak setuju. “Jangan. Kata ibu, kita tidak boleh mengganggu manusia. Bisa kualat.”
“Tapi orang itu duduk di dekat tempat kita main, dia bisa mengganggu kita.”
“Biar kita bilang ibu kita saja, biar jin-jin dewasa yang usir dia.”
Tapi salah satu anak jin itu tertarik pada benjolan di kening si tukang mancing. Segera saja dia mendapat ide. “Aha! Hei teman-teman, kita main bola saja yuk.”
“Main bola? Bolanya mana?” tanya yang lain.
“Tuh, yang nemplok di jidat orang itu. Kita pinjam saja satu dua malam.”
Meski ada dua tiga anak jin yang takut-takut, permainan bola itu terlalu memikat untuk dilewatkan. Maka mereka mengutus satu anak jin yang paling berani untuk mencopot bola itu dari kening si tukang mancing.
Tatkala anak jin pemberani itu melayang menghampiri, si tukang mancing merasakan buku kuduknya berdiri. Dia hendak bangkit, tapi kaki rasanya berat sekali.
Saat itulah dia merasakan dirinya dibetot dengan kuat. Mulanya dia mengira itu ikan besar yang terjerat mata kailnya. Namun belum sempat dia memastikan, tubuhnya sudah tercemplung ke sungai. Byur..!
Dengan kaget, si tukang mancing lekas berenang ke tepian, lalu kabur sekencang-kencangnya ke arah kampung. Joran pancing dan sedikit ikan yang diperolehnya dia tinggal begitu saja.
Orang-orang yang hendak berangkat ke masjid terheran-heran melihat si tukang mancing berlari-lari mirip orang kesurupan.
“Hei, kamu kenapa?”
Si tukang mancing menghentikan larinya dan mencoba bicara dengan napas hampir putus.
“Ada… ada setan… ada setan di sungai…!”
Namun orang-orang melihat ada sesuatu yang berubah pada muka si tukang mancing.
“Jidatmu…!”
“Jidatku kenapa?”
Si tukang mancing meraba keningnya. Betapa kagetnya dia, kaget sekaligus gembira. Kening itu kini licin, tak ada benjolan sama sekali. Masih tak percaya, dia pun berlari ke rumahnya, mengambil cermin, dan mendapati wajahnya yang dulu ogah dia pandang itu kini berubah lebih tampan.
Alkisah, di kampung itu ada juga seorang yang memiliki daging tumbuh di kening. Pekerjaannya mencari kayu bakar di hutan. Dia memilih pekerjaan itu dengan alasan yang sama dengan si tukang mancing: karena mencari kayu bakar itu cukup sendirian.
Si pencari kayu bakar mendengar sembuhnya tumor si tukang mancing. Malam itu juga dia mendatangi si tukang mancing untuk mengetahui rahasia kesembuhannya. Dengan senang hati dan penuh semangat, si tukang mancing bercerita.
Besok siangnya, pencari kayu bakar pergi ke lubuk sungai yang sama. Dia melihat ember berisi beberapa ekor ikan teronggok di tepi sungai, peninggalan di tukang mancing, dan di situlah dia duduk mencenguk.
Dengan sabar, dia memancing hingga petang. Dia tak peduli dengan ikan yang diperolehnya. Tapi jika kebetulan ada ikan tersangkut kawat pancingnya, ya dia tarik juga.
Magrib menjelang. Saat itulah serombongan anak jin keluar dari rumah masing-masing, lalu bergerombol di tepi sungai. Semalaman kemarin, mereka bermain bola dengan riang. Mereka ingin meminjam bola daging itu semalam lagi, tapi ibu-ibu mereka mengetahui perihal asal-usul bola itu, dan menyuruh mereka mengembalikannya kepada yang punya.
Untuk itulah mereka berkumpul di pinggir sungai, persis di seberang tempat si pencari kayu duduk memancing.
Dengan bola daging di genggaman, sesosok anak jin melayang ke arah si pencari kayu. Orang yang dituju mulai merasakan bulu-bulu halus di kuduknya merinding. Dia hendak bangun, tapi tiba-tiba sesuatu yang kuat mendorongnya hingga ia terjengkang ke belakang.
Meski kaget, pikiran si pencari kayu disergap secercah kegembiraan. Segera dia meraba keningnya. Namun apa yang terjadi? Alih-alih berasa licin, di kening itu tangannya menemukan sebuah tonjolan lain yang lebih besar di sebelah tonjolan yang lama.
Maka pulanglah si pencari kayu ke rumahnya dengan tangis sesenggukan. Dia tak mengerti apa yang terjadi. Dia menyesal dan menyadari bahwa setiap orang memiliki keberuntungan masing-masing. [] (Diceritakan kembali oleh Asso).