Dalam khazanah sufisme, ada sebuah kisah tentang sepasang suami istri yang dimuliakan Allah. Sang suami adalah seorang yang buruk rupa; sebaliknya, istrinya sangat cantik jelita. Apa yang membuat keduanya sama-sama dimuliakan Allah? Sang suami berkata, “Setiap hari aku bersyukur kepada Allah karena dikaruniai banyak kenikmatan, terutama karena aku diberikan seorang istri yang cantik jelita.” Sedangkan si istri berkata, “Setiap hari aku bersabar karena diberikan banyak cobaan. Salah satunya karena aku mendapat suami yang buruk rupa.”
Syukur dan sabar, itulah rupanya yang membuat derajat mereka dimuliakan oleh Allah.
Dalam menjalani kehidupan di dunia ini, sesungguhnya kita hanya mengalami dua keadaan, yaitu lapang (syarra`) dan sempit (dharra`). Dalam satu waktu, kita pasti mengalami satu dari dua keadaan itu. Kedua kondisi itu mengandung celah-celah yang dapat membuat kita terperosok, juga memiliki anak-anak tangga yang dapat membawa kita naik.
Dalam keadaan lapang, celah yang menjebak manusia adalah sombong dan ingkar, sedangkan anak tangga yang tersedia untuknya naik tingkat adalah syukur. Sementara dalam keadaan sempit, celah yang menjebak adalah putus asa dari rahmat Allah, dan anak tangganya adalah sabar.
Keadaan lapang maupun sempit sesungguhnya adalah ujian. Sebagian orang lulus dari ujian berupa kesulitan hidup, namun kebanyakan orang gagal tatkala diuji dengan kenikmatan. Seringkali, musibah dan penderitaan adalah kendaraan tercepat menuju Allah. Tatkala seseorang ditimpa musibah, segeralah dia ingat Allah, ibadahnya menjadi lebih giat, dan doa-doanya menjadi lebih khusyuk. Namun ketika dia mendapat anugerah, entah berupa harta yang melimpah atau jabatan yang diidam-idamkan, dengan mudah dia lupa kepada Allah yang memberinya kenikmatan itu, bahkan bersikap sombong membanggakan dirinya.
Itu tandanya orang masih melihat kehidupan dunia secara sebelah-sebelah, belum secara utuh. Lapang dan sempit adalah dua kondisi yang niscaya kita alami dalam hidup kita. Namun keduanya tidak boleh memengaruhi kondisi keimanan kita kepada Allah. Dalam keadaan apa pun kita berada, iman kita tetap Allah dan ibadah kita tetap ikhlas kepada-Nya.
Bagi orang yang telah mencapai hasil optimal dari ibadahnya kepada Allah, tidak ada beda antara musibah dan anugerah. Keduanya sama-sama dapat dipakai sebagai kendaraan untuk mendekati Allah. Dia telah memiliki ketenangan jiwa yang tinggi (nafsul muthmainnah) sehingga keadaan jiwanya tidak akan terpengaruh oleh kondisi lapang maupun sempit.
Dengan sabar dan syukur, yang diterapkan secara bergantian pada kondisi yang tepat, insya Allah derajat kita akan semakin naik dari waktu ke waktu dan semakin dekat dengan Allah.
Demikian. [Asso]