Pada Senin, 17 Mei 2010, atau 14 tahun lalu, saya menamatkan sebuah novel berjudul “Terbunuhnya Seorang Profesor Posmo“. Penulisnya Arthur Asa Berger, seorang profesor, seniman, dan penulis asal Amerika. Di sampul buku tertulis sanjungan terhadap penulis novel dari Jurnal Americana sebagai: “Salah satu sesepuh kajian budaya populer… sudah memelajari budaya pop ketika budaya pop belum lagi marak, terutama di dunia akademis.”
Ditilik dari kategorisasi modern, novel ini tergolong cerita detektif. Namun Berger selaku penulis membuatkan kotak tersendiri untuk novel ini, yakni “novel misteri akademis”. Terserahlah.
Sebagai cerita, novel ini gagal memuaskan pembacanya. Tapi ini mungkin gara-gara ditinjau dari kacamata modern. Jika dilihat dari kacamata posmodern, bisa jadi ini novel yang berhasil.
Ceritanya diawali dengan peristiwa tewasnya seorang profesor posmodern pada jamuan makan di rumahnya sendiri. Lubang peluru menganga di keningnya, anak panah menancap di pipinya, pisau kue menyembul di punggungnya, dan asap racun tercium dari minumannya.
Bagaimana mungkin seseorang dibunuh dengan empat cara sekaligus pada waktu yang bersamaan?
Pertanyaan yang menarik. Rasanya Hercule Poirot (tokoh detektif dalam novel-novel Agatha Christie), Sherlock Holmes (rekaan Sir Arthur Conan Doyle) maupun detektif Conan pun belum pernah kejatuhan kasus serupa ini.
Tapi perkembangan novel ini tidak terlalu mirip cerita detektif. Memang ada tokoh detektif, dan dia memeriksa para saksi, yaitu kawan-kawan korban yang hadir pada jamuan makan. Tapi alih-alih memfokuskan penyelidikan pada berbagai keterangan dan barang bukti, ia malah terjebak dalam serangkaian kuliah mengenai posmodernisme yang digelontorkan para saksi.
Kasus ini sebetulnya tidak misterius-misterius amat. Jika melulu bercerita tentang pengungkapan kasus saja, mestinya cerpen sepuluh halaman pun jadi. Sebab barang bukti fisik kasus terlalu banyak dan gamblang. Lalu jika ingin mengambil empat tersangka dari enam saksi, peluang salahnya pun hanya sepertiga.
Tapi novel ini memang ingin bercerita tentang posmodernisme. Makanya ia mulur jadi 181 halaman. Dan itulah segi yang ada harganya dari buku ini.
Karena itulah saya tergerak untuk menulis catatan ini. Sebelumnya, saya telah mencoba membaca beberapa buku tentang posmodernisme, tapi tak ada yang memberi saya pemahaman sebanyak dan sebaik novel ini.
Di bawah ini saya petikkan sejumlah kalimat dari novel yang berkaitan dengan konsep-konsep posmodernisme. Tentu saja pemahaman yang mendalam hanya mungkin jika membaca keseluruhan. Tapi tak usah takut, sebab dunia posmodern tidak menuntut kedalaman.
Kalimat-kalimat berikut sebagian besar berasal dari Berger sendiri, dalam narasi atau lewat ucapan tokoh-tokohnya, dan sebagian dari para pemikir posmodern yang kata-katanya dia cantumkan. Saya menyajikannya berdasarkan urutan munculnya petikan itu dalam novel. Memang jadinya terlihat acak. Tapi biarlah. Keacakan, bukan keteraturan, kalau tak salah merupakan ciri lain dari posmodernisme.
***
Tiada batasan dalam cara bagaimana dunia ini ditafsirkan. (Nietzsche)
Media mencerminkan aspek-aspek tertentu dari masyarakat namun sekaligus juga pada saat yang sama memengaruhi masyarakat dengan kuat. (Berger)
Orang-orang yang hidup dalam masyarakat posmodern menjalani hidup mereka dengan cara yang sama, dalam penggalan dan potongan, dalam fragmen-fragmen, seperti yang dilakukan seorang seniman saat mereka membuat kolase. Tidak ada kepaduan, tidak ada lagi hubungan linear. (Berger)
Tak ada lagi narasi yang punya makna apa pun, dan seiring dengan hilangnya narasi, hidup kita pun kehilangan maknanya. (Berger)
Posmodernisme menolak apa yang disebut perbedaan seni tinggi dan budaya pop. Posmodernisme menekankan ekletikisme dalam aliran-aliran seni, sikap ironis terhadap kehidupan, kedangkalan alih-alih kedalaman, peran reproduksi untuk melawan keaslian karya seni. (Berger)
Pernikahan itu modernis, selingkuh itu posmodernis. (Berger)
Dalam kasus pembunuhan posmodern, motif itu sama sekali tak penting. (Berger)
Para akademisi cenderung untuk saling tidak sependapat mengenai hampir segala hal. (Berger)
Uang adalah satu-satunya hal yang bersifat absolut, satu-satunya standar yang tersisa dalam masyarakat posmodern. Sedangkan untuk hal lainnya, apa pun bisa terjadi. (Berger)
Pemikiran posmodern sepertinya menghujat segala sesuatu, namun tak mengajukan apa-apa. [] seakan penghancuran adalah satu-satunya hal yang dikuasai dengan baik oleh pemikiran pormodern. (Zigmunt Bauman)
Pada intinya, yang menjadi argumen Foucault adalah bahwa fakta itu tidak ada. Yang ada cuma beragam penafsiran atas dunia. Tak ada apa pun yang memiliki makna tunggal. Sesuatu harus dipahami dari berbagai cara yang ada untuk memandangnya. Dan semakin banyak perspektif yang anda miliki atas sesuatu, maka semakin baik. (Berger)
Cinta telah mengalami devaluasi habis-habisan… seperti uang. Dalam banyak kasus, orang berhubungan seks dengan hasrat dan keterlibatan yang sama seperti saat ia memecan Big Mac atau Whopper. Dan moralitas kini hanyalah kata yang hampa makna. Tiap orang adalah predator. Kalau bukan predator, merekalah korbannya. (Berger)
Keseriusan moral modernisme tinggi digantikan oleh ironi, kolase, sinisme, komersialisme, dan pada beberapa kasus malah digantikan dengan telak oleh nihilisme. (Douglas Kellner)
Eklektisisme adalah derajat nol dari kebudayaan umum kontemporer: orang mendengarkan musik reggae, nonton film koboi, menyantap McDonald untuk makan siang dan masakan lokal untuk makan malam, menggunakan parfum Paris di Tokyo dan pakaian ‘retro’ di Hongkong. (Jean-Francois Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge)
Posmodernitas itu tidak optimis tidak pula pesimis. Posmodernitas adalah permainan dengan sisa-sisa dari apa yang telah dihancurkannya sendiri. (Jean Baudrillard, On Nihilism)
Ciri kedua dari daftar posmodernisme ini adalah pengaburan yang terjadi di dalamnya atas beberapa batasan kunci atau pemisahan. Yang paling jelas terlihat adalah terkikisnya perbedaan yang dulu ada antara kebudayaan tinggi dengan apa yang disebut sebagai kebudayaan massa atau kebudayaan pop. (Fredric Jameson, Postmodernism and Consumer Society)
Dengan sangat menyederhanakan, saya definisikan posmodernisme sebagai suatu “keraguan terhadap metanarasi”. (Jean-Francois Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge)
Kita tahu orang seringkali lebih memilih untuk melihat di televisi apa yang sebenarnya bisa mereka lihat dengan mata kepalanya sendiri saat melongok ke luar jendela. Sebuah parade tengah melintas di jalan depan tempat anda tinggal. Apakah anda memandang keluar jendela untuk melihat parade sesungguhnya atau anda menonton parade tersebut di televisi? … Jika anda menonton parade yang sesungguhnya, anda akan kelewatan komentar para ahli yang mengatakan bagaimana seharusnya kita menyikapi parade tersebut, komentar yang memberi anda informasi latar mengenainya. Anda juga akan kelewatan syut-syut jarak dekat serta sudut-sudut kamera menarik yang membuat parade tersebut tampil seru. Realitas dan citra berbaur, dan memaksa kita mempertimbangkan masalah representasi dan tentang mana yang nyata atau asli. (Berger)
Kehidupan telah menjadi teater dan hidup kita semakin tidak mirip ‘aslinya’ namun kian lama kian mirip seni pertunjukan. (Berger)
Masih bisa diperdebatkan apakah posmodernitas benar-benar keterputusan dari modernitas atau justru hanya sekadar kelanjutannya. (Steinar Kvale, Postmodern Psychology: A Condition in Terms?)
Salah satu ciri khas posmodern adalah adanya daftar, seolah kebudayaan itu acara obral cuci gudang. (Todd Gitlin, Postmodernism Defined, At Last)