cak nur di mata anak muda

Di Aula Insan Cita HMI Cabang Ciputat, pada akhir tahun 2005, pernah diadakan acara mengenang wafatnya Cak Nur. Pada acara itu hadir istri Cak Nur, Omi Komariah, serta dua anaknya, Nadia dan Mikail. Istri dan dua anak Cak Nur diberi kesempatan memberi sambutan. Mereka bicara tentang Cak Nur sebagai pribadi, sebagai suami dan ayah, dan tentang saat-saat terakhir hidup almarhum. Pemikiran almarhum sama sekali tidak disinggung. Malah, kalau saya tidak salah ingat, Mikail, anak kedua Cak Nur, mengatakan bahwa dia tidak sepenuhnya paham pemikiran keislaman dan keindonesiaan ayahnya.

Mendengar ini, seorang kawan berbisik ke telinga saya, “Secara biologis, dia anak Cak Nur. Tetapi secara intelektual, kitalah anak Cak Nur yang sebenarnya”.

Saya setuju.

Dan memang, sejak saya masuk Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Cak Nur menjadi tokoh yang gagasan-gagasannya paling banyak mempengaruhi ruang batin saya. Buku-buku dan makalahnya telah banyak saya baca, meski yang belum saya baca masih lebih banyak lagi. Bahkan, satu naskah karya beliau yang dijadikan pedoman ideologi HMI, yaitu Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP), saya baca berulang-ulang dengan intensitas yang kiranya hanya bisa dilebihi oleh bacaan saya atas al-Qur’an. Saya membacanya karena tuntutan kebutuhan sebagai orang yang pernah bercita-cita menjadi pemateri NDP di training HMI.

Walaupun demikian, bukan berarti pemikiran Cak Nur telah saya pahami seutuhnya. Itu jauh sekali, dan tampaknya agak mustahil. Pemikiran Cak Nur terlalu luas bagi saya, terlalu ensiklopedik, dan saya bukan jenis orang yang memiliki kemampuan untuk tertarik pada banyak hal. Tetapi seberapa pun yang saya peroleh dari Cak Nur, saya yakin nilai-nilai keislaman yang saat ini saya pegang banyak bersumber dari pikiran beliau.

Sungai dan Laut

Aktif di HMI mendorong saya untuk tertarik pada wacana pemikiran Islam. Tetapi pemikiran Cak Nur saya kenal lewat jalan yang sedikit berputar. Mulanya saya membaca buku-buku karangan H.M. Rasjidi, Daud Rasyid, Ahmad Husnan, Hartono Ahmad Jaiz, dan saya menyaksikan betapa buruk reputasi Cak Nur dan para pembaharu Islam di mata para kritikus itu. Sedikit banyak mungkin saya terpengaruh oleh mereka.

Tapi belakangan saya bertanya-tanya: benarkah Cak Nur seperti apa yang mereka gambarkan? Lalu saya membaca buku-buku karangan Cak Nur sendiri dan buku-buku yang memihak pembaruan pemikiran Islam. Berikutnya, saya mendapati diri saya berada dalam arus dialektika yang menggerus ketenangan.

Perubahan ide hampir tidak pernah berlangsung spontan. Meski ide baru dapat langsung menggoyahkan, butuh waktu lama untuk menjadikannya sebuah pegangan.

Tapi satu hal segera dapat saya pastikan: gaya tulisan Cak Nur telah membuat saya terpukau. Sastra adalah salah satu minat saya, dan karenanya gaya tulisan menjadi soal yang penting. Jika gaya Rasjidi dan kawan-kawan ibarat sungai, gaya Cak Nur ibarat lautan, atau setidaknya telaga. Sedalam-dalamnya sungai, tak mungkin sedalam telaga, apalagi laut. Maka sungai memamerkan deras agar orang menjadi takut. Pada karangan Cak Nur, saya menemukan keluasan dan kedalaman telaga. Juga ketenangan, keteduhan, dan kelembutan yang memesona. Saat membaca tulisan Cak Nur, saya merasa bahwa beliau adalah seorang guru yang bijak, luas pengetahuannya, dalam wawasannya, jernih pandangannya, serta tenang sikapnya.

Kesan tersebut saya akui tidak murni saya tangkap melulu dari tulisannya, sebab foto dan sosok Cak Nur cukup sering tampil di media massa. Wajahnya yang teduh, tergolong tampan meski tidak terlalu, tatapannya yang lembut, senyumnya yang cool, gaya bicaranya yang runtut, dan pembawaannya yang sejuk, semakin mengukuhkan kesan itu. Meski tidak dibekali janggut panjang dan rambut yang seluruhnya telah memutih, figur Cak Nur mengingatkan saya akan arketipe “orang tua bijaksana” dalam kategori Carl Gustav Jung.

Gaya tulisan dan profil fisik adalah tampilan luar. Mungkin ini sedikit ada hubungannya dengan strategi pemasaran: perlahan tapi pasti, ide-ide Cak Nur menyusup dan menempel di benak saya bagai asap rokok menjelaga di paru-paru. Andaikata gaya tulisan Cak Nur seperti sungai, atau sosoknya tidak menyerupai arketipe “orang tua bijaksana”, barangkali penerimaan saya akan berbeda, setidaknya pada kualitas. Sebagai orang HMI, kemungkinan besar saya akan tetap membaca Cak Nur, tetapi rasanya pasti berbeda.

Entahlah.

Terselamatkan

Goenawan Mohamad, dalam pengantarnya untuk buku Pintu-pintu menuju Tuhan, dan Budhy Munawar-Rachman dalam pengantar Ensiklopedi Nurcholish Madjid, mengakui bahwa dengan membaca atau mendengar kuliah Cak Nur, ada yang terselamatkan dalam iman mereka.

Pergulatan saya tentu tidak segawat mereka, sehingga tanpa Cak Nur pun sepertinya iman saya tidak akan berada dalam bahaya. Justru sebaliknya, dengan adanya Cak Nur, juga Ahmad Wahib dan para pemikir lain, iman saya seringkali seperti tengah bermain sirkus meniti tali di udara. Kadang saya jatuh, dan saya akan menganggapnya sebagai satu bentuk kesembronoan anak muda. Dan kalau kaki saya tidak patah atau patahnya tidak parah, saya akan segera bangkit dan meniti tali kembali.

Dulu saya sangat takut kepada permainan macam ini. Tapi lama-lama saya menikmatinya. Tidak teringat oleh saya bagaimana jika saya jatuh dari tali dan yang patah adalah tulang leher saya. Anak-anak muda biasanya tidak berpikir panjang soal nyawa. Bagaimanapun, petualangan pikiran ini terlalu menggairahkan untuk dilewatkan. Malah sesekali saya mengajak teman, yaitu kader-kader baru HMI di mana kebetulan saya berbicara di depan mereka.

Saya mengamati, sesi materi NDP di Latihan Kader HMI selalu menjadi arena pertunjukan sirkus yang mendebarkan. Siapa pun pematerinya, seburuk apa pun penyampaiannya, peserta pasti akan membawa pulang satu atau beberapa pertanyaan semacam: apakah Tuhan ada? Apakah Islam itu agama yang paling benar? Apakah kebenaran? Dan seterusnya.

Apa pun jawabannya, dan bagaimana pun cara menjawabnya, menanyakan persoalan-persoalan mendasar semacam itu, di samping berbahaya, dapat menumbuhkan satu etos intelektual penting yang sangat dihargai oleh Cak Nur, yaitu bertanya dan mencari kebenaran. Tidak semua peserta akan sampai pada etos ini, malah yang kemudian menggeluti tema ini biasanya sedikit sekali. Saya meyakini, etos ini adalah sesuatu yang membuat kita merdeka, meskipun dengan itu, hidup kadang menjadi penuh luka.

Dengan membaca tulisan-tulisan Cak Nur, dibantu oleh tulisan-tulisan inspiratif lain, sedikit demi sedikit saya menguak jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu. Saya tahu, dari pengalaman, satu jawaban akan mengantar saya pada pertanyaan lanjutan. Tapi mau bagaimana lagi? Ikuti saja rangkaian pertanyaan dan jawaban itu. Mudah-mudahan dengan itu kita akan sampai pada Kebenaran.

Anak Intelektual

Setiap orang HMI yang serius akan merasakan sentuhan Cak Nur begitu kuat dalam dirinya. Serius dalam arti aktif secara keorganisasian, meresapi sejarahnya, menghayati nilai-nilainya, dan menggeluti pergulatan pemikiran di dalamnya.

Itu menjadi lebih terasa lagi jika Anda seorang HMI Ciputat: jejak Cak Nur seolah masih tampak di berbagai tempat, seakan baru ditorehkan di tanah becek sisa hujan tadi malam. Cak Nur disebut dalam pembicaraan dengan senior, Cak Nur berkelebat dalam diskusi sembari minum kopi, dan – tentu saja – Cak Nur selalu muncul di arena latihan kader, khususnya saat penyampaian materi sejarah HMI dan NDP.

Terlalu banyak gagasan Cak Nur yang terhadapnya saya hanya bisa menganggukkan kepala. Tentu ada yang tidak saya setujui dari gagasannya, karena setuju sepenuhnya berarti bertentangan dengan prinsip relativitas kebenaran manusia yang didengungkan Cak Nur sendiri. Tetapi saya tidak yakin dapat menyebutkan contoh meskipun satu. Barangkali karena saya kurang banyak membaca. Tapi rasanya bukan tindakan menjilat jika kemudian saya menganggap diri saya sebagai anak intelektual Cak Nur.

Sejauh ini gagasan-gagasan Cak Nur saya cerap dan saya pergunakan sebatas untuk diri saya sendiri. Terkadang, jika ada kesempatan, saya percikkan sebagian gagasan itu ke dalam kepala kader-kader baru HMI. Dalam hal ini saya mungkin tidak akan mencapai taraf Cak Nur yang sanggup membuat pertanyaan-pertanyaan besar, memproduksi gagasan-gagasan besar, sekaligus menyebarkan dan memerjuangkan perwujudannya dalam kenyataan. Tetapi api pencarian kebenaran yang telah beliau pantik di dada saya, sampai kapan pun takkan saya biarkan padam.[]

Keterangan:

Esai ini dimuat dalam buku All You Need Is Love: Cak Nur di Mata Anak Muda, Jakarta: Paramadina, 2008

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *