Dua tahun terakhir ini para nasabah asuransi kesehatan di Indonesia kerap dikejutkan dengan datangnya “surat cinta” dari perusahaan asuransi, yang isinya memberitahukan bahwa premi atau biaya asuransi akan mengalami kenaikan, yang secara halus disebut repricing. Kenaikan ini mulai berlaku pada saat ulang tahun polis.
Nasabah tidak punya pilihan selain menerima kenaikan tersebut. Jika tidak, perlindungan berakhir. Ketika nasabah mencari alternatif dari asuransi lain, ternyata kondisinya sama. Kalau preminya belum naik, maka akan naik.
Mengganti asuransi kesehatan juga tidak mudah karena harus mengulang masa tunggu dari awal. Dan jika sudah ada riwayat sakit atau pernah klaim, perusahaan asuransi yang baru belum tentu mau menerima dengan kondisi yang sama.
Ya, sejak pandemi Covid-19, bisnis asuransi kesehatan memang sedang tidak baik-baik saja. Hampir semua perusahaan asuransi mengalami rasio klaim yang tinggi di lini bisnis asuransi kesehatan, dan terkadang klaim yang harus dibayar melebihi premi yang diterima. Dengan kata lain, perusahaan asuransi mengalami kerugian di bisnis asuransi kesehatan. Agar operasional perusahaan asuransi bisa tetap berjalan, mau tak mau premi harus dinaikkan.
Hal ini tentu saja memberatkan bagi nasabah. Agen pun ikut direpotkan karena menjadi pihak pertama yang menerima komplain dan harus dapat menjelaskan hal yang terjadi kepada nasabah.
Yang jadi pertanyaan, kenapa bisa terjadi rasio klaim yang tinggi? Apakah perusahaan asuransi salah berhitung saat menetapkan premi, sehingga mengakibatkan kerugian?
Penyebab Tingginya Rasio Klaim
Ada beberapa penyebab yang dapat disebutkan:
Pertama, inflasi medis. Harga obat, alat kesehatan, jasa dokter, selalu naik setiap tahun. Penggunaan teknologi medis yang semakin canggih juga ikut menyumbang terhadap inflasi. Di Indonesia, inflasi medis juga dipengaruhi penurunan nilai mata uang karena banyak obat dan alat kesehatan yang harus impor.
Data menyebutkan inflasi medis di Indonesia dalam tiga tahun terakhir mencapai belasan persen per tahun. Jika inflasi rata-rata 13%, harga akan jadi dua kali lipat dalam enam tahun.
Sebenarnya sejak dulu inflasi selalu ada, tapi kenapa baru sekarang terjadi repricing?
Kedua, indikasi adanya perawatan yang berlebihan (over-treatment) oleh pihak rumah sakit terhadap pasien yang memiliki asuransi kesehatan. Dugaan ini banyak muncul dalam berita di media massa.
Manfaat tertentu juga kerap disalahgunakan secara berlebihan, misalnya manfaat akomodasi pendamping, yang sering diaplikasikan dalam bentuk voucher makan. Pendamping pasien bebas menggunakan voucher itu untuk makan di kantin rumah sakit, bahkan bisa mengajak orang lain selama masih tercakup dalam limit voucher. Ini sudah di luar peruntukan manfaat akomodasi pendamping.
Penyebab kedua ini turut menyumbang rasio klaim, tapi saya kira bukan yang utama.
Ketiga, sejak pandemi Covid-19, tampaknya jumlah orang yang sakit meningkat dibanding sebelumnya. Pandemi covid-19 juga menumbuhkan kesadaran di masyarakat tentang semakin pentingnya asuransi, sehingga produk asuransi kesehatan semakin banyak dimiliki. Namun hal ini juga membuat orang yang melakukan klaim semakin banyak.
Beberapa laporan menunjukkan kerugian terbesar di bisnis asuransi kesehatan dialami perusahaan asuransi dengan nasabah terbanyak (Prudential, Allianz, Manulife, AIA, AXA). Sebenarnya ini agak aneh mengingat asuransi seharusnya bekerja menurut hukum bilangan besar, di mana semakin banyak nasabah maka kerugiannya semakin sesuai dengan prediksi.
Berarti di sini kemungkinan besar ada yang salah dalam menetapkan premi. Dan ini terkait dengan penyebab keempat.
Keempat, faktor produknya itu sendiri, yang tidak memberikan batasan terhadap klaim biaya pengobatan, selain limit tahunan yang sangat besar.
Produk asuransi kesehatan model terbaru ini dicirikan dengan plan kamar berdasarkan jumlah tempat tidur dan manfaat sesuai tagihan dengan limit tahunan yang sangat besar (miliaran hingga puluhan miliar per tahun). Produk semacam ini baru muncul sekitar tahun 2020. Sebelumnya, produk asuransi kesehatan pada umumnya menerapkan inner limit untuk tiap manfaat.
Produk model terbaru ini meniscayakan repricing (perubahan harga) secara berkala, yang secara normal disebabkan inflasi medis. Namun seharusnya perubahannya tidak setiap tahun, mungkin yang wajar setiap tiga sampai lima tahun.
Tampaknya semua perusahaan asuransi masih meraba-raba ketika menetapkan premi asuransi kesehatan model terbaru ini. Semua berusaha menawarkan premi yang relatif murah agar dapat bersaing dengan kompetitor. Namun setelah dicoba beberapa tahun, ternyata preminya tidak cukup untuk menutup klaim.
Dulu tidak ada repricing karena produk asuransi kesehatan masih menerapkan limit untuk tiap manfaat (jasa dokter, obat-obatan, pembedahan, dll). Dengan adanya inner limit, nilai klaim sudah dibatasi secara otomatis.
Tapi sejak adanya produk sesuai tagihan dengan plan kamar berdasarkan jumlah tempat tidur (1 bed, 2 bed), nilai klaim seakan menjadi tanpa batas. Inilah yang tampaknya belum diantisipasi sepenuhnya saat awal membuat produk.
Strategi Perusahaan Asuransi
Strategi apa yang dilakukan perusahaan asuransi untuk mengatasi kondisi ini? Tiap perusahaan tentu berbeda, tapi secara umum tidak jauh-jauh dari yang disebutkan berikut ini:
Pertama, menaikkan premi (repricing). Bisnis apa pun jika sudah merugi, salah satu langkah yang dilakukan pasti harus menaikkan harga.
Kenaikan premi asuransi kesehatan sudah terjadi pada tahun 2022. Lalu tahun 2023 ada repricing lagi, dan tahun 2024 pun kembali repricing. Kenaikan premi bervariasi antara 10 sd 50% setiap kali repricing. Hal ini tentu di luar perkiraan semula, namun harus dilakukan agar bisnis dapat terus berjalan dan perlindungan kepada para nasabah dapat terus diberikan.
Kedua, menerapkan standar prosedur penanganan medis yang lebih ketat dengan rumah sakit. Saat ini sistem kerja sama asuransi dengan rumah sakit mengarah ke konsep preferred hospital (rumah sakit pilihan), bukan sekadar rekanan cashless biasa. Sebelumnya prosedur penanganan medis dan biayanya diserahkan sepenuhnya ke rumah sakit, sekarang dibuat lebih terstandar. Dengan adanya standar, biaya penyakit jadi lebih terprediksi.
Dengan kesepakatan baru ini, prosedur penjaminan bisa lebih cepat baik saat masuk ataupun pulang. Tidak perlu lagi ada perdebatan antara pihak rumah sakit dengan provider asuransi tentang suatu layanan apakah ditanggung atau tidak, hal yang selama ini bisa bikin lama proses penjaminan. Prosedur baru ini pun diharapkan lebih nyaman bagi nasabah.
Ketiga, menerapkan deductible atau co-pay (nasabah ikut menanggung biaya klaim). Deductible ini ada yang bersifat pilihan, ada yang sampai mewajibkan. Premi dengan deductible akan lebih murah daripada premi tanpa deductible.
Di negara-negara maju, pada umumnya asuransi kesehatan memang menerapkan deductible. Sekarang hal ini tampaknya mulai jadi tradisi di Indonesia.
Keempat, memberikan apresiasi kepada nasabah yang tidak klaim. Ada yang berbentuk potongan premi perpanjangan (no-claim discount), ada yang berupa dana cadangan yang bisa dipakai nasabah untuk membayar deductible atau biaya rawat jalan.
Kelima, menghapus atau mendefinisikan ulang beberapa manfaat yang bikin klaim jebol, seperti manfaat akomodasi pendamping.
Keenam, menutup produk dan menggantinya dengan yang baru. Penutupan ini berlaku untuk pembelian baru, ada pun untuk nasabah yang lama pada umumnya masih bisa memperpanjang dengan premi yang lebih tinggi (repricing).
Saran
Untuk nasabah, apabila premi dirasa terlalu tinggi, bisa mempertimbangkan untuk turun plan atau mengambil plan dengan deductible. Bisa juga mengambil asuransi kesehatan dengan inner limit seperti zaman dulu, lalu ditambah dengan mengambil asuransi penyakit kritis.
Untuk perusahaan asuransi, selain menerapkan beberapa strategi seperti sudah disebutkan, alangkah baiknya jika membuat juga produk asuransi kesehatan dengan inner limit (jika belum ada), sebagai pilihan yang lebih terjangkau bagi nasabah dan juga lebih tahan terhadap repricing.
Demikian. [Asso. Artikel ini merupakan pendapat pribadi.]