kitab omong kosong

Baru saja aku menamatkan novel Kitab Omong Kosong gubahan Seno Gumira Ajidarma. Novel yang luar biasa. Tebal (524 halaman) tapi tak menyurutkan minat membaca. Aku membelinya dua minggu lalu di kampus UIN, mulai membacanya lima hari lalu, dan menamatkannya pada hari ini pukul 8 malam.

Seno Gumira Ajidarma termasuk pengarang yang paling kukagumi. Di genre prosa, menurutku dialah yang terbaik saat ini. Selain itu, lewat karya-karyanya Seno telah mengajariku banyak hal. Dan melalui Kitab Omong Kosong, dia mengajariku lebih banyak lagi.

Kitab Omong Kosong merupakan sebuah refleksi atas kisah Ramayana karya Walmiki. SGA menampilkan penggalan-penggalan Ramayana dan dengan itu ia sekaligus memberikan tanggapan. Tanggapannya kadang berupa kritik, kadang rasa heran, kadang kagum, dan kadang berupa protes. Aku yang belum terlalu lama membaca Ramayana secara utuh merasa mendapat pengayaan yang menyegarkan dari novel ini.

Kitab Omong Kosong juga merupakan sebuah refleksi tentang hakikat bercerita itu sendiri. Ini adalah sebuah metacerita: cerita tentang cerita. Walmiki yang ahli membuat cerita, oleh SGA dimasukkan sebagai tokoh dalam cerita. Digambarkan bahwa Walmiki kebingungan ketika tokoh-tokoh dalam ceritanya satu per satu berdatangan, menggugat, memprotes, dan memutuskan keluar dari cerita untuk memilih kisah kehidupannya sendiri. Walmiki tentu tidak akan suka dengan ulah SGA, tapi itulah ganjaran yang pantas untuk tukang cerita. (Mungkin SGA pun akan diganjar seperti itu pula oleh pengaran lain).

Oleh karena itu, pada akhirnya, Kitab Omong Kosong merupakan refleksi atas kehidupan manusia di dunia ini.

Kitab ini juga berisi rangkuman atas macam-macam aliran filsafat. Lewat lima bagian kitab omong kosong yang menjadi pusaka rebutan dalam kisah ini, SGA menerangkan alur pemikiran manusia atas dunia. Dimulai dari filsafat yang menganggap mampu mengetahui dunia sebagaimana adanya, lalu dibantah dengan filsafat yang menganggap dunia ini ada karena adanya manusia, kemudian ada yang menyebut dunia tidak ada dan yang ada adalah gambaran manusia tentang dunia, berikutnya ada yang tidak peduli dengan semua itu dan menganggap ukuran dari segala sesuatu adalah nilai guna, dan terakhir: keheningan yang harus diisi oleh manusia.

Sebelumnya, aku telah belajar dan memperoleh banyak dari SGA. Sepertinya orang ini tahu banyak hal dan bisa melakukan banyak hal. Gaya tulisannya merambah beragam aliran dan semuanya bagus. Dari realisme, jurnalisisme, surealisme, absurdisme, sampai dongeng dan cerita silat. Cersilnya Pendekar Naga Bumi sangat mengagumkan, meski aku belum membaca semuanya. Dia merenungkan hakikat dunia persilatan dengan mengemukakan hal-hal yang mengherankan dari dunia itu.

SGA sangat obsesif dengan senja. Obsesinya tentang senja sungguh sangat mengherankan. Cerpen-cerpennya banyak yang bicara tentang senja, seperti Sepotong Senja untuk Pacarku (cerpen yang paling kusukai), Peselancar Agung, Tujuan: Negeri Senja, dsb. Dia juga telah menulis novel khusus tentang senja, berjudul Negeri Senja.

Dia tahu sangat detail tentang jaz, seperti kubaca dalam novel Jaz, Parfum, dan Insiden. Kumpulan cerpennya Atas Nama Malam menyajikan renungan mendalam atas kesepian dan penderitaan manusia. Lalu esai-esainya dalam kumpulan Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara mengayakan pemahamanku atas dunia sastra.

Tentang sosok pribadinya, tidak banyak yang diketahui. Seno hanya sesekali tampil di publik. Profilnya jarang ditulis atau ditulis lengkap di buku-bukunya. Tampaknya orang ini manusiakamar sejati. Kerjanya hanya membaca dan menulis. Ia pun tidak membuat blog atau website. Blog sukab.wordpress.com dibuat oleh penggemarnya. Kesimpulanku atas diri SGA: dia hanya ingin orang-orang mengetahui dirinya dari tulisan-tulisannya.

Jika seperti itu, maka itulah yang akan kulakukan. Aku tidak akan memimpikan untuk bertemu dengannya. Biarlah itu terjadi kebetulan saja. [Catatan lama, ditulis tanggal 27 Desember 2010]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *