Para pengusung khilafah meyakini bahwa suatu saat akan muncul khilafah ‘ala minhajin nubuwwah (khilafah yang berlandaskan kenabian). Suka tidak suka, setuju tidak setuju, ikut memperjuangkan atau hanya jadi penonton, khilafah akan tegak. Dasarnya adalah sebuah hadis Riwayat Ahmad.
Karena ini wilayah keyakinan, tentu kita tidak bisa intervensi. Tapi bagi yang tidak meyakini ramalan itu, sah juga jika mempertimbangkannya secara rasional dan empiris.
Apakah sistem khilafah akan tegak kembali? Secara rasional dan empiris, jawabannya adalah tidak mungkin. Ada banyak hambatan yang menghalangi, antara lain:
Hambatan pertama datang dari kaum muslim sendiri. Agar khilafah bisa berdiri kembali, sistem ini harus disetujui oleh mayoritas mutlak umat Islam di seluruh dunia, atau setidaknya mayoritas mutlak di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim. Mayoritas mutlak berarti sekitar 70% ke atas. Tapi faktanya saat ini yang setuju dengan khilafah masih sangat minoritas. Tidak ada data pasti, tapi survey SMRC tahun 2017 menyebutkan WNI yang setuju NKRI diganti menjadi negara khilafah atau negara Islam ada 9,2%. Itu baru di Indonesia, dan di seluruh dunia kemungkinan juga tak sampai 10%. Tidak akan mudah meyakinkan mayoritas kaum muslim untuk setuju dengan khilafah.
Hambatan kedua datang dari para penguasa di negara-negara berpenduduk muslim. Mereka selama ini sudah menikmati kekuasaan sebagai pemimpin tertinggi di negara-negara tsb. Apakah mereka rela jabatan mereka turun kelas menjadi setara gubernur atau pemerintah negara bagian di bawah kekuasaan khalifah? Pemimpin paling berpengaruh di dunia Islam seperti Erdogan dan Salman, seandainya salah satunya menjadi khalifah, mungkinkah mau dibawahi oleh yang satunya lagi? Yang ada pasti perpecahan, sebagaimana pada zaman kekhalifahan pun wilayah Arab menolak berada di bawah Turki Utsmani.
Hambatan ketiga datang dari letak geografis negara-negara berpenduduk muslim. Membentang dari Maroko sampai Indonesia, diseling beberapa negara non-muslim, belum pernah wilayah seluas ini diperintah oleh satu pemimpin saja, dan tidak mungkin terjadi pula di masa yang akan datang.
Hambatan keempat datang dari kaum non-muslim. Jika khilafah tegak, mereka akan jadi warga kelas dua, yang disebut dengan istilah kafir dzimmi. Sudah tentu lebih nyaman berada di negara demokratis dengan status setara daripada di negara khilafah dengan status kelas dua. Mereka akan menggalang kekuatan antara sesama non-muslim di negara-negara yang berbeda untuk menolak berdirinya khilafah. Belum lagi akan ada dukungan dari negara-negara kuat di Eropa dan Amerika, juga China dan Rusia. Di zaman sekarang ini, sebuah negara akan sulit berdiri tanpa persetujuan negara-negara kuat dunia.
Hambatan kelima datang dari para aktivis khilafah sendiri. Kualitas mereka sangat rendah. Mereka tidak punya ulama berkualitas tinggi dalam keilmuan Islam, yang diharapkan bisa mempengaruhi para ulama di luar kalangan mereka. Sebagai contoh di Indonesia, siapakah ulama eks-HTI yang kapasitasnya menyamai ulama-ulama dari kalangan NU, Muhammadiyah, atau bahkan Salafi? Sepertinya yang muncul ke publik hanya nama Ismail Yusanto dan Felix Siauw, dan keduanya bukan level ulama. Dan sejauh ini, setinggi-tingginya ilmu seorang ulama, pengaruh mereka hanya menjangkau golongannya saja dan tidak laku di golongan yang lain.
Hambatan keenam datang dari fakta sejarah. Sejak runtuhnya Bani Umayyah, wilayah Islam tidak pernah dinaungi oleh satu kekhalifahan tunggal yang menguasai semuanya. Bani Abbasiyah pernah menguasai wilayah yang sangat luas, namun tidak di kawasan Andalusia yang dikuasai keturunan Bani Ummayah. Pada era Utsmaniyah di Turki, lebih banyak lagi dinasti mandiri yang berkuasa di berbagai belahan dunia Islam, seperti Mughal di India dan Safawi di Persia, dan bahkan Mataram di Nusantara, sehingga sebenarnya Utsmaniyah itu tidak layak disebut kekhalifahan, tapi hanya kesultanan. Jadi, jika saat ini ada yang memimpikan kekhalifahan tegak di seluruh dunia Islam, itu lebih banyak merupakan halusinasi tanpa pijakan fakta sejarah.
Hambatan ketujuh datang dari metode yang digunakan. Di antara para aktivis khilafah sendiri, ada perbedaan metode yang sangat tajam. Ada yang menggunakan cara damai ala HT, ada yang menggunakan cara kekerasan ala ISIS. Cara damai sudah berjalan setengah abad lebih, dan hasilnya nyaris nihil, bahkan organisasinya dilarang di berbagai negara Islam. Cara kekerasan sempat berhasil membentuk negara di kawasan Irak dan Suriah, tapi cepat pula runtuhnya, di samping meninggalkan kerusakan yang sangat besar. Ada lagi yang tidak mencita-citakan kekhalifahan internasional, tapi hanya negara Islam level lokal seperti NII, tapi karena dilakukan di negara yang sudah stabil, cita-cita itu pun tidak ada yang berhasil.
Jika kita lihat negara-negara yang berpengaruh di dunia, mereka “menguasai” dunia tidak dengan cara propaganda ideologi, tapi dengan cara memproduksi barang dan jasa yang dibutuhkan oleh warga dunia. Amerika, Jepang, China, Korsel, Jerman, Inggris, Perancis,.., kehidupan sehari-hari kita tak bisa lepas dari hasil karya mereka. Tapi dengan cara itu pun, sejauh ini tidak ada satu negara pun yang berkuasa secara absolut atas semua atau mayoritas wilayah di dunia, dan sepertinya mereka pun tidak sampai mengharapkan hal itu.
Sementara itu para pengusung khilafah hanya mempropagandakan sistem khilafah sebagai solusi semua persoalan di dunia, tapi tidak disertai konsep dan implementasi yang jelas. Dan jelas mereka tidak memberikan karya apa pun yang bermanfaat bagi dunia, selain keributan.
Jadi, mungkinkah khilafah tegak kembali di muka bumi? Hmm… []