La Peste (Sampar) karya Albert Camus adalah novel biasa seperti umumnya sebuah novel. Tetapi novel tersebut, oleh pengamat filsafat, kerap diperlakukan sebagai referensi untuk menunjukkan filsafat eksistensialisme Camus, khususnya berkaitan dengan konsep absurditas dan manusia pemberontak. Padahal tak satu pun istilah filsafat, eksistensialisme, absurditas, ataupun manusia pemberontak dapat ditemukan di dalamnya. Tokoh yang ditampilkan pun bukan seorang filsuf atau mahasiswa filsafat.
Barangkali karena pengarangnya seorang filsuf, novelnya pun diasosiasikan dengan konsep filsafat.
Perlakuan serupa terjadi pula pada novel karya filsuf eksistensialis Jean-Paul Sartre, semisal Le Mur (Dinding) dan La Nausea (Muak). Dalam pembahasan tentang filsafat Sartre, dua novel tersebut hampir selalu disebut, padahal di dalamnya tak tercantum istilah ataupun tokoh yang berhubungan dengan filsafat.
Tak bisa disangkal bahwa tiga karya yang disebut di atas tergolong baik mutunya menurut ukuran sastra. Artinya, novel tersebut dibuat sesuai dengan kaidah-kaidah sastra yang baik, dan meskipun mengandung unsur pemikiran tertentu, pemikiran tersebut tidak memberati atau mengintervensi novel sebagai karya sastra.
Tetapi, seperti itukah novel yang disebut novel filsafat?
Pada tahun 1995, terbit Dunia Sophie (terjemahan dari Sophie’s World karya Jostein Gaarder), sebuah buku yang di sampul depannya ada tulisan ”Sebuah Novel Filsafat”. Pada dasarnya buku tersebut merupakan sejarah filsafat yang disajikan dalam bentuk cerita. Hanya memang unsur cerita yang membingkai unsur filsafatnya cukup bagus dan membantu pemahaman pembaca mengenai konsep filsafat yang diterangkan.
Namun, sudah tepatkah sebutan ”novel filsafat” itu?
Di Indonesia, diskusi tentang novel filsafat sudah dimulai pada akhir enam puluhan ketika Iwan Simatupang menerbitkan serangkaian novel yang sangat kental dengan nuansa filsafat, yakni Ziarah, Merahnya Merah, Kering, dan Kooong. Iwan Simatupang sendiri sebelumnya sudah dikenal sebagai penggiat eksistensialisme yang konsisten, baik secara teori maupun praktik. Hanya waktu itu istilah ”novel filsafat” tidak dicantumkan di sampul bukunya.
Baru-baru ini terbit pula dua buah buku yang menyebut dirinya ”Sebuah Novel Filsafat”, yakni Payudara karya Chavcay Saifullah dan Jejak Sabda karya Faiz Noor. Kedua novel tersebut menghadirkan filsafat dengan cara yang berbeda. Filsafat pada Payudara ditampilkan sebagai latar, pada Jejak Sabda sebagai pokok. Bahwa keduanya berani menyebut karyanya ”novel filsafat”, hal ini menunjukkan belum adanya persepsi yang seragam mengenai apa itu yang disebut novel filsafat.
***
Menilik contoh-contoh yang ada, hubungan antara novel (karya sastra) dan filsafat mewujud dalam tiga bentuk. Pertama, novel biasa, dalam arti tak memunyai hubungan apapun secara tekstual dengan filsafat, namun kerap dijadikan referensi untuk menerangkan filsafat. Contohnya karya-karya Camus dan Sartre. Pada dasarnya novel apa pun bisa dijadikan referensi filsafat. Muatan filsafat pada La Peste dan Le Mur adalah berupa pandangan dan tindakan moral, yakni apa yang harus dilakukan seseorang saat berada dalam situasi tertentu. Muatan seperti ini bisa terdapat pada novel apa saja, karena setiap novel berbicara tentang kehidupan. Novel semisal Olenka (Budi Darma), Para Priyayi (Umar Kayam), Saman (Ayu Utami), bahkan Karmila (Marga T), serial Wiro Sableng (Bastian Tito), dan cersil Kho Ping Hoo pun banyak berisi persoalan filsafat, setidaknya filsafat dalam arti kehidupan atau pandangan moral. Hanya mungkin karena pengarangnya tidak dikenal sebagai filsuf atau penggiat filsafat, meski bisa jadi mereka membaca filsafat, pun karena muatan di dalamnya tidak hanya filsafat, maka novel-novel itu tidak dikenal sebagai novel filsafat. Lagi pula, jika La Peste, Le Mur, dan novel-novel yang disebut kemudian itu digolongkan sebagai novel filsafat, konsep novel filsafat jadi kabur karena semua novel akan berhak disebut novel filsafat.
Kedua, (kita sebut saja) filsafat-sastrais, yakni filsafat yang disajikan dalam media sastra. Contohnya Dunia Sophie dan Jejak Sabda. Jika unsur cerita pada novel semacam ini dibuang, yang tinggal adalah pelajaran filsafatnya. Hakekatnya novel ini adalah buku filsafat karena filsafatlah yang menjadi pokok, bukan sastra. Oleh karena itu, kritik yang bersifat sastra tidak perlu ditujukan pada karya sastra jenis ini. Terserah orang mau menerangkan filsafat lewat media apa saja: novel, film, bahkan komik, yang penting maksud dan tujuannya sampai. Kalau ingin mengritik, alamatkan pada materi filsafatnya. Sebuah pujian boleh disampaikan kalau mutu ceritanya bagus, namun celaan atas unsur cerita tidaklah perlu biarpun jelek.
Ketiga, sastra-filosofis, yakni karya sastra yang lahir dan dilatarbelakangi oleh gagasan filsafat tertentu. Contohnya novel-novel Iwan Simatupang, Grotta Azzura (Sutan Takdir Alisjahbana), Cala Ibi (Nukila Amal), dan Payudara. Model inilah menurut penulis yang lebih pas disebut novel filsafat. Dalam bentuknya yang berhasil, novel filsafat akan muncul sebagai sebuah karya yang unik, memukau, mengherankan, dan tentu saja indah. Seperti pada Ziarah dan Cala Ibi, aroma eksistensialisme dan teknik literer yang pekat membuat kita merasakannya penuh nikmat.
Tetapi kenikmatan itu bukan disebabkan muatan filsafatnya, melainkan lebih karena kualitas novelnya bagus dan bernilai sastra tinggi. Filsafatnya sendiri tidak terasa lagi sebagai filsafat karena telah larut dalam cerita.
Sutan Takdir Alisjahbana adalah seorang profesor filsafat; dalam hal filsafat kiranya dia lebih pakar ketimbang Iwan Simatupang. Tetapi Grotta Azzura karangannya kerap dinilai gagal sebagai novel filsafat, bahkan sebagai novel, karena filsafat yang ditampilkannya lebih berasa seperti garam belum diaduk. Sisi inilah yang banyak dikritik sebagai kelemahan dari novel filsafat, yakni penyajian filsafat yang terlalu letterlijk (tekstual, harfiah) baik dalam narasi maupun dialog.
Ditinjau dari segi ini, pencapaian Payudara sebagai novel filsafat pun, hemat penulis, sulit dikatakan berhasil. Banyak dialog filsafat yang monoton dan membosankan. Hal ini bukan saja potensial menggagalkan novel sebagai novel filsafat yang baik, tetapi juga sebagai novel yang baik.
***
Selain novel filsafat, kita juga kerap menjumpai novel (karya sastra) yang disebut novel sejarah, novel sosiologis, novel psikologis, fiksi sains, sastra sufi, dan istilah-istilah lain. Penyandingan dua kata itu menunjukkan adanya hubungan tertentu antara novel dan kata setelahnya. Tetapi, apapun hubungan itu, yang pokok tetaplah novel itu sendiri. Lainnya hanyalah tambahan latar atau aroma yang ditiupkan untuk menjiwai tubuh novel, seperti halnya rasa jeruk pada sirup. Sebagai ”pemain latar”, ia tidak boleh merangsek menjadi ”pemain utama”, karena akan merusak kualitas novel sebagai karya sastra.
Sekadar perbandingan, unsur sejarah pada novel sejarah yang berhasil adalah sebagai latar saja. Cerita dan tokohnya tetap sebagai pokok, baik cerita dan tokoh itu fiksi atau bukan. Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer) dengan tokoh Minke pada peralihan abad 20, atau Tutur Tinular yang menceritakan Arya Kamandanu di zaman Majapahit, adalah contoh yang bagus dari karya sastra berlatar sejarah.
Jika unsur sejarahnya bukan latar, misalnya riwayat hidup Nabi Muhammad, kisah hidup Mohammad Hatta, atau sejarah Mataram, maka ia lebih tepat disebut biografi, memoar, atau buku sejarah yang sastrais. Demikian pula unsur sosiologis dalam novel sosiologis yang berhasil, unsur antropologis dalam novel antropologis yang berhasil, dan unsur lain dalam novel jenis lain yang berhasil, adalah tetap sebagai latar, bukan pokok.
***
Novel filsafat. Novel adalah substansi, pokok; filsafat adalah aksidensi, sifat. Jika sebuah novel lebih sarat dengan kuliah filsafat ketimbang cerita, kenapa harus ditulisi ”novel filsafat”?
Bikin saja buku filsafat. []
Catatan:
Esai ini pernah dimuat di Media Indonesia, Minggu 13 Februari 2005.