MENGGAMBAR AYAH

Cerpen: A.S. Laksana

cerpen menggambar ayah

PADA umur sepuluh tahun, aku suka melompati jendela kamar ketika datang malam dan kemudian tidur telentang di belakang rumah. Di situ aku bisa berpikir tentang apa saja tanpa rasa takut bahwa gaung pikiranku akan tertangkap oleh pendengaran ibu. Aku sering berpikir bahwa mestinya ibu tidak usah membenciku. Akan lebih baik sekiranya ia mencintaiku seperti ibu-ibu yang lain mencintai anaknya. Tetapi rupanya ibu lebih suka membenciku.

Perseteruanku dengan ibu sudah dimulai bahkan ketika usiaku baru empat bulan dalam kandungannya. Ibu menghendaki supaya aku jangan pernah nongol sama sekali dari rahimnya. Ia menyorongkan segala jenis obat-obatan ke dalam perutnya untuk menggodam kepalaku, melubangi paru-paruku, melemahkan jantungku, dan meracuni pertumbuhanku di dalam rahimnya. Karena itulah aku justru berdoa sepanjang siang sepanjang malam agar diberi kekuatan untuk bertahan dari upaya-upayanya memberangus kehadiranku. Selain itu, aku juga memohon pertolongan kepada teman-temanku – makhluk-makhluk putih yang diperintahkan untuk menjagaku – agar mereka membantuku menahan gempuran-gempuran yang dilancarkan perempuan itu.

“Kau pikir, kenapa perempuan itu ingin melumatku?” tanyaku kepada mereka.

“Ia takut melahirkan serigala,” jawab salah satu.

“Ia menganggapku seekor serigala?”

“Perempuan itu mendapatkanmu dari jalanan.”

“Karena itu aku dianggapnya serigala?”

“Karena itu kau dianggapnya serigala.”

Itu bukan salahku. Aku ingin memprotes. Tetapi temanku bilang bahwa perempuan itu tidak peduli apakah aku salah atau tidak. Ia hanya tidak ingin membesarkan benih yang menerobos ke dalam rahimnya dari pipa lelaki jalanan.

“Tapi itu salahnya!” jeritku. “Ia sendiri menyukai jalanan. Bukankah ia selalu melenggang di daerah-daerah di mana lelaki menggelepar di sembarang tempat?”

Aku membayangkan beribu-ribu lelaki menggelepar di semak-semak, bagai ular yang sedang mengintip mangsa. Mungkin ibuku dipagut ular-ular itu dan kemudian tumbuh benih di dalam rahimnya. Tumbuhlah aku.

Mungkin karena malu perutnya makin besar, ibuku lalu ingin merontokkan benih itu. Alangkah jahatnya. Bagaimanapun aku harus lahir, tidak peduli bentukku nanti akan seperti apa. Bila nanti sudah kuat badanku, akan kutampar ibuku agar ia tahu kesalahannya.

TEMAN-temanku membangun benteng yang liat untuk melindungiku. Di depan benteng itu mereka berjaga-jaga. Sekuat-kuatnya mereka menghalau racun yang membidik nyawaku. Meski benteng yang melindungiku sangat kukuh, dan teman-temanku tak pernah lalai menjagaku, kadang-kadang ada juga racun yang lolos dan berhasil menyentuh kulitku. Tubuhku panas sekali dan mataku pedih setiap kali ibuku menjebloskan obat ke dalam perutnya. Dari hari ke hari obat yang ditelannya semakin kuat.

“Kelihatannya aku tak mampu lagi melindungimu,” kata makhluk putih suatu ketika. “Tapi aku tidak akan pernah meninggalkanmu.”

Aku terharu oleh kesetiaannya. Temanku itu memang kelihatannya sudah kepayahan. Tubuhnya yang putih mulai berubah kebiru-biruan. Tapi teman yang baik tidak pernah menghitung keselamatannya sendiri. Aku kasihan melihatnya. Temanku yang satu lagi masih lumayan. Dia lebih kuat daya tahannya. Hanya kepalanya saja yang agak pening.

“Kuharap kau sendiri masih kuat,” katanya kepadaku. “Tinggal setengah bulan lagi.”

Setengah bulan terlalu lama. Tiga hari setelah itu aku memberontak keluar dari perut ibu. Kubilang kepada teman-temanku, aku sudah tidak kuat lagi. Kuminta kepada mereka untuk mendesakku keluar.

“Kau siap?” tanya mereka.

“Mungkin tidak. Tapi ia terus menghujaniku dengan racun. Aku ingin keluar saja,” jawabku.

Mereka mendorongku keluar. Tangisku merobek nyali ibu. Ia pingsan setelah melahirkanku. Kepalaku tidak bagus bentuknya, kedua mataku melotot besar, dan tanganku panjang sebelah. Setelah siuman, ibu membesarkanku dengan rasa marah. Ia menjadi angin puting beliung yang membanting-banting aku. Aku merasa kesepian karena makhluk-makhluk putih tidak lagi berada di sebelahku.

Kupikir mereka kembali lagi ke langit. Karena itu ketika malam jatuh, aku suka melompati jendela dan tidur-tiduran di belakang rumah memandang langit. Aku rindu kepada teman-teman yang menjagaku. Mungkin satu ketika mereka akan tampak di antara bintang-bintang. Melompat-lompat dari bintang satu ke bintang yang lain. Kepada bintang-bintang di langit aku berpesan. “Bila kalian melihat teman-temanku, suruh mereka datang ke rumah. Masuk saja lewat atap rumah, jangan sampai ketahuan Ibu.”

Setelah berpesan demikian biasanya aku masuk lagi lewat jendela yang sama. Di kamar, kubenturkan pandanganku pada langit-langit ruangan sambil terus berharap bahwa teman-temanku akan meluncur dari bubungan atap menemuiku. Tapi biasanya di langit-langit kamar aku hanya bisa menemukan kecoak. Kau tahu, makhluk ini tidak pernah menjadi teman bagi manusia, karena tidak ada manusia yang sudi berteman dengan kecoak. Ibuku juga tidak suka pada kecoak; ia selalu mencopot sandalnya jika melihat seekor kecoak melintas dan memukul-mukulkan sandal di tangannya sampai binatang itu pecah tertampar sandal.

“Kenapa kau tidak melakukan protes?” tanyaku padanya suatu hari.

“Apa yang bisa diprotes?” ia balik bertanya dengan nada sengit.

“Kalian selalu dibunuh tanpa salah.”

“Karena kami kecoak.”

“Begitukah?”

“Kau juga kecoak.”

“Aku manusia.”

“Bagi ibumu, kau adalah kecoak.”

“Kau menghinaku. Ibuku menganggap aku serigala.”

“Kau hanyalah kecoak.”

“Aku ingin membunuhmu karena kau menghinaku.”

Aku betul-betul ingin membunuhnya. Sebab kecoak tidak boleh menghina manusia. Aku melesat ke langit-langit memburu kecoak itu. Ia terbang. Aku melompat-lompat dari tempat tidur ke meja, dari meja ke dinding, dan kemudian dari dinding ke dinding. Kecoak dan aku saling berkejaran menimbulkan suara berdebam-debam.1)

Ibu mendobrak daun pintu kamarku dan menghantamkan caci maki ke telingaku. Mulutnya menyemburkan badai dan bau alkohol. Sebetulnya aku ingin bilang padanya, “Kenapa ibu selalu datang membawa badai kepadaku?” Tapi badai tak pernah bisa disela oleh pertanyaan apa pun. Ditamparnya aku dengan sandal hingga terpelanting. Kecoak yang kuburu terbang keluar kamar.

IBU tidak pernah tahu bahwa aku selalu rindu kepadanya. Bila aku mau, sebetulnya bisa saja aku menyelinap ke kamarnya ketika dia tidur, lalu kucekik batang lehernya. Tapi aku tidak mau melakukan itu. Aku orang yang rindu. Rindu kepada apa saja. Kepada bintang-bintang, kepada kecoak di langit-langit kamar, kepada makhluk-makhluk putih yang telah menyelamatkanku, dan kepada tangan ibu.

Aku rindu tangan ibu di atas dahiku, dan kemudian tangan itu bergerak pelan-pelan mengelusku sampai aku tertidur. Tidak pernah ia melakukan itu. Rasa rindu menjadi racun yang menyumbat jalan darahku. Kadang-kadang nafasku terasa sesak. Mungkin racun itu telah pula menyumbat jalan nafasku.

Aku juga rindu kepada ular-ular. Salah satu dari mereka pasti bapakku. Aku ingin menyapa mereka dan mengatakan, “Selamat pagi, Pak. Ini aku anakmu. Kulihat rambutmu sudah banyak beruban. Aku ingin mencabuti ubanmu agar kau kelihatan lebih muda. Atau kau ingin kubikinkan minuman?”

Ibu tidak pernah memperkenalkan benda yang bisa dipanggil bapak kepadaku. Seandainya suatu hari ia membawa seorang laki-laki dan bilang bahwa lelaki itu adalah bapakku, aku akan sangat berbahagia. Mungkin ia seorang lelaki yang suka membunuh perempuan dan mengisap air liurnya agar memperoleh ilmu kesaktian 2), atau mungkin ia orang yang suka menampar orang lain ketika mabuk. Tak apalah. Yang penting ada orang yang bisa kupanggil bapak. Aku sudah mempersiapkan diri untuk memanggil bapak kepada siapa pun yang dibawa oleh ibu.

Tapi orang yang bisa kupanggil bapak itu tak pernah datang. Agaknya ibu tidak pernah berpikir untuk memberiku seorang bapak. Maka aku membikin sendiri bapakku. Di kamarku, aku menggambar sebatang penis. Panjang seperti ular. Aku sebenarnya menggambar bapakku. Ia melingkar membelit dinding-dinding kamarku. Setiap hari menjelang tidur aku bercakap-cakap dan mengadu kepadanya. Kulihat kepalanya berdenyut-denyut. Ia hidup. Ia bicara. Ia menanggapi semua keluhanku.

Gambar itu kemudian menjadi apa saja. Ia tidak hanya menjadi bapakku, tetapi juga guruku. Aku belajar tentang apa saja dari dia. Belajar bagaimana menyalurkan kehendak, belajar memberontak, dan belajar mempertahankan keinginan. Aku belajar cara mendesakkan keinginan dari gambar penis yang menjulur di dinding kamarku.3)

Makin hari rasanya kami menjadi semakin dekat. Aku dan gambar itu. Aku ingin dia menemaniku di mana pun aku berada. Aku ingin selalu berdekatan dengan bapakku sehingga ia bisa selalu mengawasi pertumbuhanku. Bapak yang baik katanya harus bisa menjadi ayah, guru, dan kawan bermain bagi anaknya. Kalau aku ingin bapakku menjadi kawan bermain, aku menggambarnya dalam ukuran kecil. Bila aku ingin ia menjadi guruku, aku menggambarnya dalam ukuran besar.

“Kau harus selalu di sampingku, Bapak,” kataku. “Kau harus mengawasi pertumbuhanku. Banyak anak-anak yang kehilangan jalan karena terus-menerus ditinggal bapaknya. Aku tidak mau menjadi anak yang hilang jalan.”

Agar ia selalu dekat denganku, maka aku pun menggambarnya di mana-mana dalam berbagai ukuran. Kadang-kadang kupasangkan dasi pada lehernya. Aku senang sekali melihat ia mengenakan dasi, ia tampak seperti orang kantoran. Kadang-kadang kupasangkan kumis di atas mulutnya. Ia tampak berwibawa dan mirip seorang kepala negara.

Sebentar saja dinding rumahku sudah sesak oleh gambar bapakku. Lantas aku menggambari semua dinding yang ada di hadapanku. Anak-anak lain senang melihat aku menggambar muka bapakku di mana-mana. Aku terus berjalan menyusuri tembok-tembok kota. Anak-anak yang menguntitku makin banyak. Kuperkenalkan satu per satu mereka pada bapakku. Mereka tertawa terkekeh-kekeh.

Aku senang melihat mereka terkekeh-kekeh.

Tapi tidak setiap orang suka melihat anak-anak tertawa. Satu hari seseorang marah kepadaku karena aku dianggap mengotori temboknya. Disemburnya aku dengan maki-makian, aku diam saja.

“Anak gila! Di mana otakmu?” hardiknya.

Aku benci sekali kepadanya. Kupikir dialah yang gila. Aku menggambar bapakku, kenapa dia marah?”

“Kamu boleh juga menggambar bapakmu sendiri. Jangan marah-marah kepadaku,” aku membalas hardikannya.

Ketika dia menghapus gambar yang kubikin, aku tidak bisa mendiamkannya. Aku tidak suka perbuatannya. Ia ingin memisahkan aku dari bapakku. Maka kutampar mukanya. Hanya itulah hadiah yang pantas bagi orang yang menggangu urusan rumah tangga orang lain.

“Kalau kau pisahkan lagi aku dengan bapakku, aku akan menamparmu lebih keras.”

Aku senang sekali bahwa rupanya ia kapok berurusan dengan aku. Harus kau ingat ini, terhadap orang yang tidak mau memahami orang lain, kita kadang-kadang memang harus berlaku keras. Itulah yang aku ajarkan kepadanya agar ia bisa menghormati kebahagiaan orang lain. Setiap orang tidak boleh hanya memikirkan kebahagiaannya sendiri.

Namun orang itu rupanya cukup licik. Ia lapor ke ibuku. Dan ibu menggamparku berkali-kali setelah peristiwa itu.

“Anak gila! Di mana otakmu?” ia menirukan orang yang baru aku tampar.

“Aku menggambar bapakku,” jelasku. “Kenapa kau memukulku?”

Ia menatapku seperti melihat onggokan sampah. Aku melihatnya juga seperti melihat onggokan sampah. Bila aku mau, bisa saja nanti malam aku menyelinap ke kamarnya dan mencekik lehernya sampai mampus.

“Bila aku mau, bisa saja nanti malam aku menyelinap ke kamarmu dan mencekik lehermu,” kataku. “Kenapa kau tidak lari saja ke puncak gunung?”

Mataku berpijar bagai sumbu granat. Aku bisa meledak saat itu juga dan menghancurkannya.

“Aku ingin kau menyelamatkan diri ke puncak gunung,” saranku lagi.

Aku harus bilang itu kepadanya. Aku adalah orang yang rindu kepada apa saja. Tapi ibu tidak tahu bahwa aku merindukannya. Dulu ia berpikir bahwa ia akan melahirkan serigala dari rahimnya. Menurutku, ia harus hati-hati terhadap pikirannya sendiri karena pikiran buruk bisa mencelakakan diri sendiri. Jadi biarlah ia pergi ke puncak gunung saja. Kupikir itu jalan yang terbaik baginya. Bila esok pagi matanya masih bertumbuk dengan mataku, aku akan mencekik lehernya. Sebab, tak bisa aku terus-terusan melihat onggokan sampah di dalam rumahku.

Keesokan paginya, ibu merangkak ke puncak gunung.4) Aku tetap menggambar ayah di mana-mana, tetap tidur di belakang rumah ketika gelap turun, dan tetap kangen kepada ibu. Kini aku suka bercakap-cakap dengan puncak gunung yang tampak dari jendela kamarku. Di sana ada ibuku. ***

Catatan:

1) Salah satu tokoh dalam cerpen Orez karangan Budi Darma adalah seorang perempuan hamil yang melompat-lompat dalam kamarnya, dari lantai ke meja wastafel, ke kakus, ke bibir rak, dan seterusnya.

2) Dari berita di koran-koran tentang seorang dukun di Deli Serdang yang membunuh 42 perempuan dan mengisap air liurnya agar ilmunya makin sakti. Menurut pengakuannya, ilmunya akan sempurna jika ia sudah membunuh 70 orang.

3) Dalam cerita pewayangan, seseorang bernama Bambang Ekalaya ingin berguru kepada pendeta Dorna tetapi ditolak karena ia bukan keturunan bangsawan. Ekalaya lantas membuat patung Dorna dan belajar memanah di bawah tatapan patung tersebut sampai ia kemudian menjadi pemanah yang sakti.

4) Dalam kitab suci, anak Nabi Nuh tidak mau naik bahtera bapaknya dan memilih lari ke puncak gunung untuk menghindari banjir besar.

Mampang Prapatan, Mei 1997.

Cerpen ini pertama kali dimuat di Kompas Minggu, 9 November 1997 dan menjadi Cerpen Terbaik Pilihan Kompas tahun 1998.

Profil AS Laksana

as laksana

A.S. Laksana atau biasa dipanggil Mas Sulak adalah seorang sastrawan kelahiran Semarang, 1968. Menulis cerpen dan kritik sastra. Pernah  secara rutin mengisi kolom Ruang Putih di Jawa Pos. Pendiri Sekolah Menulis Jakarta School pada tahun 2004. Belakangan ini kerap mengadakan kursus penulisan untuk umum.

Kumpulan cerpennya antara lain: Bidadari Yang Mengembara (2004), Murjangkung (2013).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *