Sastra berbeda dengan kenyataan. Meski bersumber dari kenyataan, ia bukan kenyataan dan karena itu tidak boleh diperlakukan sebagai kenyataan. Sastra mempunyai kebenarannya sendiri, yang tidak harus sama dengan kebenaran dalam kenyataan.
Dalam hubungan ini, sastra bisa dituliskan dengan dua cara, semirip mungkin dengan kenyataan (realisme) atau terlepas dari hubungan kemiripan dengan kenyataan (surealisme). Realisme menggunakan logika kenyataan, seperti halnya logika yang kita pakai sehari-hari. Ketidaksesuaian antara logika cerpen dan logika kenyataan dalam cerpen realis merupakan cacat. Meskipun demikian, cerpen realis bukanlah kenyataan dan tidak boleh diperlakukan sama dengan kenyataan. Sedangkan cerpen surealis mempunyai logika tersendiri yang berlaku hanya pada cerpen tersebut.
Di sini kita akan membahas secara singkat cara-cara mengembangkan unsur-unsur intrinsik dalam cerpen, yang meliputi tema, alur, karakter tokoh, dan latar.
Pentingnya Riset
Setelah ide cerita diperoleh, cerpen bisa dikembangkan dengan cara melakukan riset, menyelidiki kembali secara lebih detail pokok soal itu. Kecuali unsur-unsur yang kita angkat sudah akrab betul dengan pengalaman kita, riset sangat penting untuk menghindari kesalahan-kesalahan yang tidak perlu, meskipun itu kecil. Dalam hal ini, riset terutama ditujukan untuk memperjelas latar dan karakter tokoh. Riset bisa dilakukan dengan cara membaca atau terjun langsung untuk mengalami suatu kejadian. Tentu saja riset untuk cerpen tidak serumit riset untuk novel.
Riset jangan dimaknai secara kaku seperti halnya riset dalam penelitian ilmiah. Riset di sini adalah menyelidiki kembali pengetahuan kita terhadap suatu masalah. Misalnya kita menulis cerita tentang seorang anak buruh miskin di pinggiran kota yang harus bekerja untuk bisa bersekolah. Ada dua hal yang setidaknya perlu kita selidiki lebih lanjut: latar (tempat dan waktu) cerita ini terjadi, dan karakter umum seorang anak buruh miskin. Jangan sampai kita menggambarkan pinggiran kota, tapi suasananya lebih mirip di desa atau di tengah kota. Kita menggambarkan anak seorang buruh, tetapi kebiasaan-kebiasaannya lebih mirip diri kita sendiri (kecuali kita juga anak seorang buruh). Pekerjaan yang dipilih si anak pun disesuaikan dengan jenis pekerjaan yang mungkin dan wajar dikerjakan olehnya. Mungkin ia jadi pengamen, pelayan rumah makan, penjual koran, atau pemulung. Kalau ia menjadi guru privat matematika, misalnya, harus dijelaskan bahwa ia memang memiliki kemampuan untuk itu.
Hal-hal di atas terutama mutlak dalam cerpen jenis realisme. Dalam cerpen surealis, konvensi-konvensi atau kewajaran semacam itu memang bisa dilanggar. Masing-masing memiliki logikanya sendiri. Tapi riset di sini dimaksudkan untuk memastikan bahwa antara tema, alur, latar, dan karakter itu saling berkesuaian (koheren) satu sama lain.
Mengembangkan Tema
Tema boleh diartikan secara bebas: pokok permasalahan yang diangkat dalam cerita. Tema sebaiknya berkaitan dengan hal-hal yang diketahui atau akrab dengan pengarang. Jangan menulis tentang sesuatu yang tidak diketahui, atau tulisan anda akan dangkal. Jika ingin menulis sesuatu yang tidak begitu akrab, sebaiknya lakukan riset terlebih dahulu.
Tema dikembangkan dengan cara menajamkan konflik. Dari sini mungkin akan muncul persoalan-persoalan lain yang menjadi subtema, namun kesemuanya terfokus kepada tema utama. Dalam cerita bertema bekerja keras untuk mencapai cita-cita, mungkin ada persoalan-persoalan lain yang dihadapi tokoh utama. Misalnya hubungan dia dengan teman-temannya di sekolah, bagaimana dia mengatur waktu antara mengerjakan peer dengan bekerja mencari uang, dsb.
Menyusun Alur (Plot)
Alur adalah urutan/rangkaian peristiwa dalam cerita. Dengan kata lain, alur adalah cerita itu sendiri. Alur dibedakan menjadi dua, alur maju dan alur mundur. Alur maju umumnya mengikuti urutan berikut: perkenalan keadaan – perkembangan – klimaks – antiklimaks (penyelesaian). Alur mundur disebut mundur bukan berarti kebalikan dari proses alur maju. Tetapi cerita bisa dimulai misalnya dari klimaks atau dari antiklimaks, baru kemudian urutan-urutan lainnya. Dalam alur mundur (tidak mundur benar sebetulnya) digunakan teknik flashback (kilas balik).
Dalam cerpen, karena ruangnya sempit, kita sebaiknya memulai cerpen dari bagian yang paling menarik atau langsung dari pokok persoalan. Tidak perlu menghabiskan ruang dengan pelukisan suasana, kecuali ada efek tertentu yang dikehendaki. Penggunaan alur maju atau alur mundur disesuaikan dengan garis besar cerita, mana yang lebih cocok. Tidak perlu dipaksakan menggunakan alur mundur kalau cerita lebih cocok disusun dengan alur maju.
Mengembangkan Karakter (Penokohan)
Karakter adalah kualitas-kualitas atau sifat yang dimiliki tokoh. Karakter bisa dikembangkan dari bermacam titik tolak. Misalnya umur. Jika umur si tokoh sepuluh tahun, bagaimana kira-kira sifat-sifat yang pantas untuknya, kebiasaannya, kemampuan berpikirnya, tingkah lakunya terhadap guru dan teman-temannya, gaya bahasa yang digunakannya, pakaian yang sering dipakainya, dsb. Kesemua sifat itu harus sesuai atau wajar untuk anak seusianya.
Titik tolak lainnya adalah lingkungan, keadaan ekonomi keluarga, lokasi, dan waktu. Pepatah “Jarang mengungkapkan segalanya adalah hal bijak” tetap berlaku di sini. Karakter tokoh bisa eksplisit atau implisit. Akan lebih baik jika kita menuliskan hal-hal yang perlu saja, dan selebihnya implisit atau tidak disebutkan secara tegas. Sifat bertanggung jawab, berani, melindungi, perhatian, dan setia kawan bisa dirangkum dalam satu kejadian. Misalnya dengan menceritakan apa yang dilakukan si tokoh saat melihat seorang temannya diancam oleh preman.
Karakter bisa berubah seiring waktu. Karakter si anak sebelum bekerja dan sesudah bekerja tentu ada perbedaan. Mungkin dia lebih bertanggung jawab, lebih berani, atau mungkin lebih pemarah, lebih liar, dsb.
Kewajaran yang disarankan di atas bukan berarti si tokoh tidak boleh mempunyai karakter yang khas, yang membedakannya dengan tokoh-tokoh lain. Karakter khas ini bahkan harus ada. Kalau tidak kita akan jatuh pada stereotipe, karakter umum yang tidak menjelaskan apa-apa. Yang khas pada si anak tadi mungkin cara berpakaiannya yang rapi meskipun sederhana, gaya bicaranya yang rendah hati, dll. Karakter itu tidak perlu disebut langsung. Bisa pula disebut dalam perbandingan dengan tokoh lain.
Menggambarkan Latar (Setting)
Latar adalah keterangan mengenai tempat, waktu, dan suasana dalam cerita. Latar adalah wahana atau media di mana cerita berjalan. Untuk menciptakan cerita yang kuat dan koheren, latar harus disesuaikan dengan unsur-unsur lainnya, atau sebaliknya, unsur-unsur lain harus disesuaikan dengan latar. Misalnya, jika cerita terjadi di daerah Ciputat pada sekitar tahun 2005, akan tidak logis jika anak-anaknya digambarkan suka main gobak. Contoh lain, tema kawin paksa lebih cocok jika memakai setting tahun pra-kemerdekaan, dan akan ganjil jika terjadi di abad 21 di kota Jakarta, meski hal itu bukan tak mungkin.
Penggambaran tempat, misalnya sebuah kamar, berhubungan dengan karakter penghuninya. Penyebutan tahun dan tempat tertentu berhubungan dengan kebudayaan masyarakatnya. Jika kita bermaksud membuat cerita dengan latar yang belum kita kenal, misalnya Jakarta abad 19, kita perlu melakukan riset yang relevan dengan cerita. Cari tahu bentuk rumah waktu itu bagaimana, jalan-jalannya bagaimana, sudah ada kereta api atau belum, bagaimana strata sosial waktu itu antara pribumi, orang Belanda, orang Arab, dan orang Cina, dsb.
Kalau tempat dan waktu bersifat fisik, suasana bersifat nonfisik. Keduanya saling mendukung. Suasana bisa dibangun dengan menempatkan unsur-unsur fisik sedemikian rupa sehingga menciptakan efek tertentu. Anton Chekov bersabda: jika anda ingin melukiskan keindahan bulan purnama, jangan katakan sinarnya terang dan putih, melainkan katakan betapa pecahan kaca di pinggir sungai berkilau tertimpa sinar bulan.
Latar (setting) harap dibedakan dengan latar belakang (back ground). Latar belakang adalah unsur sosial budaya yang menyertai cerita, misalnya cerita berlatar belakang penjajahan Belanda, cerita berlatar belakang adat Minang, dsb.
Penutup
Beberapa pengarang ada yang memiliki kelebihan khusus dalam salah satu unsur di atas. Umar Kayam, terutama dalam cerpen Kunang-Kunang di Manhattan, dikenal pandai melukiskan suasana sehingga dikatakan bahwa cerpen tersebut tidak bercerita (tidak ada alurnya), melainkan menyajikan suasana saja.
Iwan Simatupang sangat mahir membolak-balik alur; dalam novel Ziarah ia menggunakan teknik flashback yang bertingkat-tingkat sehingga orang jadi sulit mengenali dan merangkai alur ceritanya. Dalam cerpen, teknik flashback bisa pula digunakan, tapi tentu tidak akan serumit dalam novel dikarenakan terbatasnya ruang.
Ada juga yang kuat dalam tema. Pengarang semacam ini senang dengan tema-tema besar, yang aktual dan sosiologis. Jika unsur-unsur lain tidak terabaikan kualitasnya, cerpen topikal ini bisa menjadi cerpen besar. Saat isu cerpen koran muncul dalam perdebatan di surat kabar, yang sering dipermasalahkan adalah tendensi sosiologis dan aktualitas dari cerpen-cerpen yang dimuat di koran itu, sehingga pengembangan karakter dan latar terabaikan.
Pengarang yang kuat dalam pengembangan karakter, misalnya Nh. Dini (ia juga kuat dalam penggambaran latar dan alur). Dalam novel-novelnya ia memperhatikan betul sedetil-detilnya perubahan pandangan dan pikiran sang tokoh setelah mengalami kejadian-kejadian tertentu. [Asso]