Cerita ini diambil dari novel Nagabumi Buku II Bab 11, karya Seno Gumira Ajidarma.

berjalan di atas air

’’Dengarlah cerita ini,’’ katanya, ’’seorang pelajar yang sangat tekun mempelajari agama, setelah bertahun-tahun memusatkan perhatian kepada sejumlah mantra, pada suatu hari dianggap telah mencapai pengetahuan yang cukup mendalam untuk mulai mengajar. Kerendahhatian pelajar itu masih jauh dari sempurna, tetapi guru-gurunya di pertapaan itu tidak khawatir.

’’Setelah bertahun-tahun meraih keberhasilan dalam pengajaran, pelajar ini merasa sudah tidak perlu lagi belajar dari siapa pun. Namun ketika didengarnya bahwa ada seorang pertapa tua di dekat tempat tinggalnya, ia tak bisa menahan diri untuk melewatkan kesempatan menambah ilmu.

’’Pertapa itu tinggal di sebuah pulau di tengah danau. Jadi pelajar ini menyewa perahu dan pendayungnya agar bisa sampai ke pulau tersebut. Pelajar ini sangat menghormati sang pertapa tua. Ketika dijamu minum teh segeralah pelajar ini bertanya tentang olah kejiwaan yang sang pertapa. Adapun orang tua itu berkata tidak melakukan olah kejiwaan apa pun, kecuali mengulang-ulang suatu mantra bagi dirinya sendiri. Sang pelajar merasa senang, karena pertapa itu menyebutkan mantra yang sering digumamkannya juga. Namun ketika pertapa tersebut mengucapkannya dengan keras, sang pelajar tampak sangat terkejut.’’’Ada apa?’ tanya pertapa itu.

’’’Sahaya tak tahu harus berkata apa. Sahaya takut Bapak telah menyia-nyiakan seluruh hidup Bapak! Mantra itu Bapak ucapkan dengan salah!’

’’’Ah! Betapa gawatnya! Bagaimana Bapak harus mengucapkannya?’’

Pelajar agama itu lantas menyampaikan cara pengucapan yang benar, dan pertapa tua itu merasa sangat berterima kasih. Ia segera memohon dibiarkan sendiri agar bisa mulai belajar mengucapkannya. Dalam perjalanan pulang menyeberangi danau, pelajar ini yang merasa telah diresmikan layak sebagai guru, merenungkan nasib buruk pertapa tersebut.

’’Alangkah beruntungnya diriku datang. Setidak-tidaknya ia punya waktu sebentar untuk melakukannya dengan benar sebelum meninggal dunia.’’

Namun saat itu dilihatnya bahwa tukang perahu sangat terkejut, karena ternyata pertapa itu telah berada di dekat perahu, dengan berdiri di atas air!

’’’Maafkan, Bapak tidak enak mengganggu, tetapi Bapak lupa lagi cara pengucapan yang benar. Bolehkah kiranya diulangi lagi

’’Bapak sudah jelas tidak membutuhkannya lagi,’’ ujar sang pelajar tergagap-gagap, tetapi pertapa itu dengan sangat sopan terus memohon, sampai akhirnya pelajar itu merasa kasihan juga, dan mengucapkan kembali bagai­mana mantra itu harus diucapkan. []

Catatan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *