Ditulis oleh: Mun’im A Sirry
Menulis 4 halaman respons. Tdk perlu waktu lama, lebih lama waktu merenungkan apa yang mau ditulis. Saya mengidentifikasi penyebab kenapa kaum Muslim umumnya tdk tertarik mempelajari agama lain, termasuk agama Kristen, padahal banyak umat agama lain mempelajari Islam dgn sungguh2.
Pertama, doktrin superioritas Islam. Doktrin ini biasanya diekspresikan melalui pandangan agama Islam merupakan satu-satunya agama yang benar dan agama-agama lain sudah tidak valid. Doktrin ini secara eksplisit dapat ditelusuri pada hadis “al-Islam ya’lu wa-la yu’la alaihi” (Islam itu unggul dan tidak bisa diungguli).
Beberapa ayat al-Qur’an juga dapat dipahami merefleksikan doktrin superioritas itu. Doktrin tersebut memiliki ramifikasi dalam banyak dimensi keilmuan Islam, terutama fikih dan kalam. Misalnya, sejumlah fuqaha menjadikan hadis “al-Islam ya’lu” itu untuk menegasikan kesaksian non-Muslim, sementara kesaksian Muslim berlaku bagi agama apapun.
Kedua, keyakinan umum bahwa Kristen merupakan agama tidak asli dan Alkitab telah mengalami falsifikasi. Simpelnya ialah untuk apa mempelajari agama yang sudah rusak atau Kitab Suci yang tidak otentik.
Saya menyadari bahwa tidak ada hubungan kausalitas antara dokrin superioritas Islam atau falsifikasi Alkitab dan ketidaktertarikan kaum Muslim mempelajari agama lain. Yang saya jelaskan ialah berbagai faktor yang berkontribusi. Sebab, persoalannya sangat kompleks. Contohnya: Orang Kristen bisa jadi tertarik mempelajari Islam kendati menganggap Islam bukan agama yang benar atau al-Quran merupakan Kitab Suci palsu.
Karena itu, terkait faktor berikutnya, urusan tertarik mempelajari agama lain atau tidak ada hubungannya dengan sikap terbuka atau tertutup untuk belajar tentang atau dari tradisi agama atau kultur lain. Di sini, yang menjadi soal ialah kaum Muslim mewarisi legasi masa lalu yang konservatif.
Yakni, diskursus kalam dan fikih yang dirumuskan pada momen imperial di masa lalu. Momen di mana secara politik kaum Muslim begitu dominan. Dalam diskursus keilmuan pun muncul kesan kaum Muslim merasa cukup dengan dirinya sendiri. Tidak perlu kelompok lain, apalagi mempelajarinya.
Lalu, dari mana kaum Muslim mengetahui agama-agama lain? Sumber utamanya ialah al-Qur’an dan penafsiran yang umumnya diproduksi zaman imperial itu. Banyak kaum Muslim merasa cukup dengan melihat kritik-kritik al-Qur’an terhadap doktrin-doktrin agama Kristen, misalnya, tanpa memahami konteks historisnya.
Kritik-kritik al-Qur’an itu dipahami sebagai gambaran tentang Kristen itu sendiri. Padahal, kenyataannya, banyak hal yang dikritik al-Qur’an bukanlah keyakinan yang diimani dan/atau dipraktikkan oleh kaum Kristiani.
Saya kemudian menyarankan perlu mempelajari agama lain, termasuk Kristen, melampaui apa yang dikatakan al-Qur’an. Utk memahami agama Kristen sebagaimana kaum Kristiani sendiri memahami, kita perlu membaca literatur-literatur Kristen langsung.
Di bagian akhir respons saya mengatakan perlunya menggunakan pendekatan kritik-historis dalam memahami konteks historis al-Qur’an. Juga untuk memahami watak ke-Kristen-an yang melatari lingkungan di mana al-Qur’an diproklamirkan Nabi. Sikap kritis itu harus dimiliki.
Kaum Muslim tak perlu mencurigai pendekatan kritik-historis itu akan menghancurkan Islam. Jika kita meyakini Islam itu agama benar, apa yang perlu dikhawatirkan? Sebagai tamsil, agama Kristen terus tumbuh berkembang berkat kesarjanaan kritis, bukan kendatipun dihunjam dengan kesarjanaan kritis.
Kesarjanaan kritis merupakan karakteristik zaman ini. Kita tak mungkin bisa menghindarinya. [Sumber: Akun FB Mun’im Sirry]