Ketika Jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Karena bila Jurnalisme bicara dengan fakta, sastra bicara dengan kebenaran. Fakta-fakta bisa diembargo, dimanipulasi, atau ditutup dengan tinta hitam, tapi kebenaran muncul dengan sendirinya, seperti kenyataan. Jurnalisme terikat oleh seribu satu kendala, dari bisnis sampai politik, untuk menghadirkan dirinya, namun kendala sastra hanyalah kejujurannya sendiri. Buku sastra bisa dibredel, tapi kebenaran dan kesusastraan menyatu bersama udara, tak tergugat dan tertahankan. Menutupi fakta adalah tindakan politik, menutupi kebenaran adalah tindakan paling bodoh yang bisa dilakukan manusia di muka bumi.
Kesusastraan hidup di dalam pikiran. Di dalam sejarah kemanusiaan yang panjang, kebenaran dalam sastra akhirnya menjulang dengan sendirinya, di tengah hiruk-pikuk macam apa pun yang diprogram secara terperinci lewat media komunikasi massa. Rekayasa media massa yang paling canggih pun akan cepat lumer seperti es krim, namun kesusastraan yang ditulis di atas kertas cebok dipadang-padang pengasingan, dari Buru sampai Siberia, dari detik ke detik memunculkan dirinya, bicara dalam segala bahasa di delapan penjuru angin. Jangan salah tafsir, ini bukan pemahlawanan para sastrawan, ini hanya menunjukkan keberadaan sastra. Setiap kali kepala seorang sastrawan dipenggal, kebenaran dalam sastra itu akan menitis ke kepala seribu sastrawan lain — yakni siapa pun mereka yang “dikutuk” untuk menuliskan kebenaran.
Waktu yang dibutuhkan barangkali bisa panjang, tidak hanya 29 tahun seperti JFK, yang mengguncang setiap kamuflase sekitar pembunuhan presiden Kennedy. Melainkan bisa berabad-abad, seperti secuil prasasti yang muncul dari dalam tanah, hanya untuk meluruskan jalannya sejarah. Perjalanan Nagarakertagama adalah contoh yang bagus, tentang bagaimana karya sastra pada gilirannya menjadi lorong waktu, yang menembus zaman mengamankan kebenaran.
***
Adalah Prapanca, reporter dari Majapahit itu, yang di luar kebiasaan para pujangga yang hanya bisa memuji-muji rajanya, menuliskan kebenaran lain dari kerajaan yang kebesarannya masih dipoles-poles sampai sekarang, dalam syair panjang yang kemudian disebut Nagara Kertagama. Namun untuk bisa dimengerti dalam bahasa Indonesia sambil tiduran, Nagarakertagama mengalami perjalanan ratusan tahun.
Meski sudah ditulis tahun 1365 dilereng gunung, di desa Kalamsana, Jawa Timur, dengan huruf dan bahasa Jawa Kuno, ia baru ditemukan (itu pun naskah salinan tahun 1740 oleh arthapamasah dengan huruf Bali) di Lombok pada 1894 ketika tentara Hindia Belanda menyerbu dan menjarah Puri Cakranagara, lantas dibawa ke Belanda. Bagaimana naskah salinan itu bisa berada di Lombok, menurut Slamet Mulyana karena pada akhir abad XVII sampai pertengahan abad XVIII, kekuasaan Raja Karangasem di Klungkung memang sampai ke sana. Sedangkan, seperti diketahui, kejayaan budaya Majapahit — dan Jawa Kuno –memang diabadikan di Bali, ke mana orang-orang Majapahit yang militan menyingkirkan diri, semenjak kedatangan Islam.
Penafsiran dan terjemahan Brandes terbit dalam huruf latin dan Bahasa Belanda pada tahun 1902. Disusul oleh sederet sarjana Belanda plus Poerbatjaraka. Negarakertagama diperkenalkan dalam bahasa Inggris lewat Java in the 14th century, antara 1960-1963, oleh Pigeaud. Dipopulerkan lewat kalangwan, juga dalam bahasa Inggris, oleh Zoetmulder, pada 1974, sebagai salah satu naskah sastra Jawa Kuno yang dikumpulkan di sana. Dan baru pada 1979 untuk pertama kalinya Nagarakertagama bisa dibaca dalam bahasa Indonesia lewat terjemahan Slamet Mulyana.
Diperlukan waktu 614 tahun bagi turunan orang-orang Majapahit, untuk tidak hanya mendapat gambaran tentang kehidupan di dalam istana, di mana biasanya para pujangga bercokol di menara gadingnya, melainkan sebuah desawarnana (deskripsi mengenai desa-desa). Prapanca tidak mendapatkan kebenaran itu dengan gratis, ia harus memisahkan diri dari rombongan Hayam Wuruk, dalam perjalanan keliling tahun 1359, untuk melihat kenyataan lain, yang tidak semua penulis masa itu berani melakukan, apalagi menuliskannya.
Ketika para pujangga Jawa terbiasa menjadi mabuk oleh keindahan alam, Prapanca malah berkata “ndatan kacaritan kalangwan ikanan ranu” — kami tidak akan bicara tentang keindahan danau itu. Dengan kata lain sebuah Nagarakertagama, satu-satunya sumber tiada tara tentang keberadaan Majapahit, hanya bisa dilahirkan oleh sebuah visi yang berani melawan kemapanan, bukan hanya dalam penulisan sastra, tapi juga kemapanan politik. Dalam analisisnya Slamet Mulyana mengungkapkan, meski naskah itu merupakan sebuah pujasastra kepada Dyah Hayam Wuruk Sri Rajasanagara, namun paham politik Prapanca sebenarnya tidak sejajar dengan Gajah Mada, yang telah menjadi pedoman semenjak pemerintahan Tribuwana Tunggadewi.
Kalangwan, yang begitu terperinci melaporkan kebenaran di alam Jawa Kuno, baru terbaca dalam bahasa Indonesia tahun 1983 lewat terjemahan Dick Hartoko. Selain memuat Nagarakertagama, juga mengungkap isi sumanasantaka yang ditulis Monaguna. Secara mengejutkan dalam naskah itu terdapat teks tentang daerah pedesaan seperti, “pada marek adum unggwan yan wwang sresti humaliwat/asila-sila ri pinggir ning margamalaku sereh” — rakyat untuk sementara meninggalkan pekerjaan sementara pawai itu lewat dan minta sedekah berupa sirih, yang menujukkan indikasi adanya kemiskinan.
Monaguna tak berhenti di sana, ia tuliskan pula bahwa didesa-desa itu “alumbung alit-alit/ teka ri sapi nikalit norakral-kral amedusi” — lumbung-lumbung kecil dan lembu-lembunya sedemikian kurus di bawah ukuran wajar, sehingga lebih menyerupai domba-domba. Tentu saja di semesta kalangon (nyanyian keindahan) yang membaluti hampir segenap Teks dalam sastra Jawa Kuno, deskripsi macam ini merupakan kebenaran, yang meskipun secuil tapi menjelaskan bagaimana kemiskinan struktural menancap dengan kokoh di tanah jawa sejak dahulu kala.
***
Barangkali harus ditambahkan, bahwa Nagarakertagama menurut para ahli, besar kemungkinan tidak populer pada zamannya. Selain karena bentuk penulisan, yang menyempal dari kaidah estetika waktu itu, juga karena Prapanca diduga merupakan seorang tokoh tersingkir. Prapanca adalah nama samaran. Bahkan ada juga dugaan tak pernah terbaca di kalangan istana. Jadi merupakan sastra yang tidak diakui. Tak sepotong prasasti pun menyebutnya, jika Nagarakertagama memang sepenting seperti yang ditemukan sekarang . Ini hanya membuktikan, bahwa seringkali sisi lain kebenaran memang mebutuhkan waktu yang panjang untuk ditemukan. Berg mengutik-utik Nagarakertagama selama 30 tahun lebih untuk menemukan bahwa Nagarakertagama bagaikan sebuah planet yang dikelilingi satelit-satelit lain dalam konfigurasi-kakawin.
Slamet Mulyana dalam terjemahan tahun 1979 mengungkapkan, bahwa pada 1978 telah ditemukan salinan naskah-naskah Nagarakertagama lain, masing-masing di Amlapura, Geria Pidada Klungkung, dan Geria Carik Sideman. Kita belum tahu kebenaran apalagi yang bisa terungkap dari naskah-naskah lontar yang belum diteliti itu. Namun kisah tentang salin menyalin naskah itu sendiri, sudah merupakan fakta yang menakjubkan tentang bagaimana buah pikiran manusia dipertahankan dan diselamatkan dari zaman ke zaman.
Kebenaran dalam kesusatraan adalah sebuah perlawanan bagai historisisme, sejarah yang hanya diciptakan bagi pembenaran kekuasaan. Kebenaran dalam kesusastraan sama sekali tidak teragntung pada tanah dan karas — keduanya alat tulis Jawa Kuno– maupun komputer, melainkan oleh visi dalam kepala yang dengan sendirinya antikompromi terhadap pemalsuan sejarah. Perangkat sastra seperti kertas dan disket bisa terpendam, dilupakan, dan dimusnahkan, tapi kesusastraan akan tetap hadir sebagai kebenaran dari pojok bisu mana pun, karena kehidupan sastra berada di dalam pikiran. *
*) Dipublikasikan pertama kali di Harian Kompas, Minggu 3 Januari 1993. Dibukukan dalam kumpulan Essay “Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara”, Bentang, 1997.
Tentang Seno Gumira Ajidarma
Seno Gumira Ajidarma (sering disingkat SGA) adalah seorang sastrawan yang sangat produktif dan juga seorang akademisi. Pernah menjadi rektor IKJ (Institut Kesenian Jakarta) tahun 1996-2020.
Penghargaan yang pernah diberikan kepadanya antara lain: Sea Write Award (1997), Dinny O’Hearn Prize for Literary (1997), Khatulistiwa Award (2005), dan Ahmad Bakrie Award (2012, namun ditolak).
Karya-karyanya antara lain: Atas Nama Malam, Wisanggeni—Sang Buronan, Sepotong Senja untuk Pacarku, Saksi Mata, Biola tak Berdawai, Kitab Omong Kosong, Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi, Negeri Senja, Naga Bumi, dan Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara.