imaji

Imaji (image) adalah gambaran, kesan, bayang-bayang, atau apa yang ada dalam pikiran ketika kita membayangkan atau mengingat sesuatu. Imaji bisa berupa gambaran visual, suara, bau, rasa, atau gabungan dari semua penginderaan itu.

Ketika misalnya sang kekasih berkata: ingatkah engkau ketika kita berdua berkejar-kejaran di pasir pantai, sementara ombak bergulung-gulung seakan-akan ikut berlari bersama kita? Maka dalam kepala kita secara otomatis akan hadir gambaran pantai itu, ombaknya yang bergulung-gulung, juga gemuruh suaranya, beserta sosok kita bersama sang kekasih yang tengah berkejar-kejaran. Barangkali akan muncul juga sederetan awan putih di cakrawala dan burung-burung camar yang melayang-layang.

Imaji merupakan unsur yang cukup penting dalam puisi. Puisi yang tak mampu membangkitkan imaji pembacanya boleh dikatakan sebagai puisi yang gagal. Imaji membuat puisi menjadi hidup dan bergerak. Imaji bisa ditimbulkan dengan menghadirkan benda-benda konkret, memposisikannya dalam bentuk personifikasi atau metafora.

Beberapa penyair bahkan menempatkan imaji sebagai unsur yang dominan dalam puisi mereka. Misalnya Sapardi Djoko Damono, puisi-puisi liriknya membuatnya dikenal sebagai penyair imajis. Menurut Sapardi dengan imaji-imaji yang konkret sajalah pembaca dapat menghidupkan fantasi-fantasinya. Sajak-sajak Sapardi umumnya dikenal sebagai sajak suasana, karena unsur imaji yang digunakannya sangat dominan. Kata-kata demikian dipilih dan diperhitungkan secara cermat untuk membangkitkan suasana yang imajis.

Berikut ini beberapa contoh puisi-liris dari Sapardi Djoko Damono dan sepotong lagu-liris dari Ebiet G. Ade. Mudah-mudahan bisa menghidupkan suasana hati anda. Selamat menikmati.

Sapardi Djoko Damono

Hujan dalam Komposisi 3

dan tik-tok jam itu kita indera kembali akhirnya
terpisah dari hujan.

 

DUKAMU ABADI

Masih terdengar sampai di sini
dukaMu abadi. Malampun sesaat terhenti
sewaktu dingin pun terdiam, di luar
langit yang membayang samar

Kueja setia, semua yang sempat tiba
sehabis menempuh ladang kain dan bukit Golgota
sehabis menyekap beribu kata, di sini
di rongga-rongga yang mengecil ini

Kusapa dukaMu jua, yang dahulu
yang meniupkan zarah ruang dan waktu
yang capai menyusun huruf. Dan terbaca:
sepi manusia, jelaga

 

Mata Pisau

Mata pisau itu tak berkejap menatapmu;
kau yang baru saja mengasahnya
berpikir: ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam;
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu.

 

Bola Lampu

Sebuah bola lampu menyala tergantung dalam kamar. Lelaki itu menyusun jari-jarinya dan bayang-bayangnya tampak di dinding; “Itu kijang,” katanya. “Hore!” teriak anak-anaknya, “sekarang harimau!”
“Itu harimau.” Hore! “Itu gajah, itu babi hutan, itu kera …”

Sebuah bola lampu ingin memejamkan dirinya. Ia merasa berada di tengah hutan. Ia bising mendengar hingar-bingar kawanan binatang buas itu. Ia tiba-tiba merasa asing dan tak diperhatikan.

 

Percakapan dalam Kamar

Puntung rokok dan kursi bercakap tentang seorang yang tiba-tiba menghela nafas panjang lalu berdiri.

Bunga plastik dan lukisan dinding bercakap tentang seorang yang berdiri seperti bertahan terhadap sesuatu yang akan menghancurkannya.

Jam dinding dan penanggalan bercakap tentang seorang yang mendadak membuka pintu lalu cepat-cepat pergi tanpa menutupkannya kembali.

Topeng yang tergantung di dinding itu, yang mirip wajah pembuatnya, tak berani mengucapkan sepatah kata pun; ia merasa bayangan orang itu masih bergerak dari dinding ke dinding; ia semakin mirip pembuatnya karena sedang menahan kata-kata.

 

Ebiet G. Ade
Ebiet G Ade

Camelia 1

Camelia
puisi dan pelitaku
kau sejuk seperti
titik embun membasah di daun jambu
di pinggir kali yang bening
sayap-sayapmu kecil lincah berkepak
seperti burung camar
terbang mencari tiang sampan
tempat berpijak kaki dengan pasti
mengarungi nasibmu
mengikuti arus air
berlari …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *