iblis tidak pernah mati

Kumpulan cerpen Iblis Tidak Pernah Mati karya Seno Gumira Ajidarma termasuk buku yang layak dikoleksi karena nilai sastra dan sejarahnya yang kuat. Kumpulan ini berisi 15 cerpen, ditulis sejak 1994 sampai 1999. Sebagian besar cerpen di buku ini memancing pembaca untuk mengaitkannya dengan peristiwa di luar teks. Apalagi penyusunan cerpen di dalamnya dilakukan secara kronologis, dengan judul-judul bagian yang menandakan waktu: Sebelum, Ketika, Sesudah, dan Selamanya. Dan ternyata peristiwa di luar teks dalam bagian Ketika yang menjadi acuannya adalah peristiwa kerusuhan massal Mei 1998 seputar lengsernya Suharto.

Banyak cerpen yang sangat bagus di buku ini dan kucatat sebagai cerpen-cerpen berkesan. Inilah komentar singkatku atas cerpen-cerpen di buku ini.

Kematian Paman Gober (1994), dengan tepat melukiskan jiwa zaman itu yang menginginkan perubahan namun dengan nada putus asa karena sang penguasa masih amat sangat terlampau berkuasa dan tampaknya hanya kematiannya yang dapat menimbulkan perubahan. Dibaca dari kacamata zaman sekarang, cerpen ini sangat futuristik, seolah meramalkan masa depan akan runtuhnya Suharto.

Dongeng Sebelum Tidur (1994) menyiratkan sebuah kekuasaan yang teramat besar di mata media massa. Dikemas indah dalam sebuah cerita antara ibu yang gemar mendongeng dan anaknya yang tak bisa tidur kalau tidak didongengi lebih dulu.

Sembilan Semar (1996) merupakan peringatan atas berbagai kebobrokan manusia mengelola kehidupannya, yang disampaikan lewat tokoh wayang Semar.

Pada Suatu Hari Minggu (1998) membuatku awalnya merasa sayang karena pernah melepas pekerjaan di sebuah kantor, tapi lalu merasa beruntung karena berarti aku akan terhindar dari “kematian” 15 tahun kemudian.

Taksi Blues (1998) lebih enak kubaca sebagai sebuah cerita lucu ketimbang cerita seram, padahal isinya seram. Sebuah ironi. Di sini, SGA juga menyisipkan suasana kesepian lewat potongan lagu blues di beberapa tempat, yang sama sekali tak berhubungan dengan peristiwa yang dialami tokoh utama, seorang sopir taksi.

Jakarta, Suatu Ketika (Mei 1998) dan Clara (Juni 1998) menggambarkan peristiwa kerusuhan Mei 1998. Yang pertama lebih mirip berita, namun tidak kehilangan human interestnya. Sedangkan yang kedua memukul rasa kemanusiaan kita, membuat kita ikut bertanya-tanya mesti disebut apakah seseorang yang kejamnya sangat keterlaluan: memerkosa seorang korban perkosaan.

Partai Pengemis (1998) adalah sebuah cerita silat, adaptasi dari komik Walet Merah karya Hans Jaladara. Ceritanya biasa saja, padahal aku biasanya suka cerita silat. Mungkin karena tidak orisinal SGA.

Tujuan: Negeri Senja (1998) berefleksi tentang kematian. Cerpen ini pernah dimuat dalam buku Kumpulan Cerpen Kompas Derabat (1999). Di sini SGA mengeksplorasi senja dan menghubungkannya dengan kematian.

Kisah Seorang Penyadap Telepon (1998) mungkin mengingatkan kita akan kasus tersadapnya pembicaraan telepon antara Habibie dan Andi Galib, namun sebetulnya lebih merupakan cerita lucu.

Cinta dan Ninja (1999) adalah potongan drama, di mana cinta mengalahkan kekerasan, namun keduanya terus bertarung tak ada habis.

Patung (1999) berkisah dengan cukup menarik, tentang seorang laki-laki yang menunggu kekasihnya bertempur melawan iblis, namun iblis tidak mati-mati sehingga kekasihnya pun tidak pernah kembali. Setelah berpuluh tahun, akhirnya laki-laki ini berubah menjadi patung, dijadikan objek wisata oleh pemerintah setempat. Judul kumpulan (Iblis Tidak Pernah Mati) kemungkinan besar diambil dari isi cerpen ini.

Anak-Anak Langit (1999) dan Eksodus (1999) sangat menyentak kemanusiaan. Keduanya dengan sublim melukiskan fenomena jatuhnya kemanusiaan kita: ketika anak-anak kecil menjadi pengemis di jalanan, dan ketika sekelompok suku “pendatang” diusir oleh suku pribumi padahal para pendatang itu sudah beratus tahun tinggal di situ. Yang pertama mengingatkan kita pada meruyaknya anak-anak jalanan di Jakarta akibat berlarut-larutnya krisis ekonomi sejak 1997. Cerpen kedua, tampaknya, melukiskan tragedi pengusiran dan pembantaian suku Madura oleh penduduk asli Kalimantan.

Terakhir, cerpen Karnaval (1999) adalah sebuah perayaan besar-besaran atas perjalanan hidup manusia di dunia. Di sini kembali SGA memainkan eksplorasinya yang memikat terhadap cahaya, sebagaimana biasa dia lakukan terhadap senja.

Pada hampir setiap cerpen, SGA tidak pernah kehilangan selera humornya yang bermutu, bahkan walaupun saat itu dia tengah melukiskan penderitaan. Dia juga pandai menyentak rasa kemanusiaan kita lewat kontras yang tajam antara kepolosan anak-anak dengan kekejaman orang dewasa.

Meski muatannya kebanyakan di seputar politik, aku lebih suka menganggap kumpulan cerpen ini sebagai upaya kesekian kalinya dari SGA untuk terus-menerus mengingatkan dan mempertajam nilai-nilai kemanusiaan kita. Di situlah cerpen-cerpen SGA menjadi tak bisa kulupakan. [Asso]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *