Hubbu, novel karya Mashuri, adalah pemenang pertama sayembara novel DKJ 2006. Judul “Hubbu” kemungkinan diambil dari bahasa Arab yang artinya “cinta”. Kata “hubbu” sendiri tidak terdapat dalam novel. Pemakaian judul “Hubbu” terdengar eksotis. Dan memang novel ini pekat dengan aroma antropologis, lewat latar sebuah desa santri di pedalaman Jawa bernama Alas Abang.
Hubbu menggelar kisahnya dalam tiga bagian. Pertama, Sihir Masa Lalu, menceritakan mimpi yang mengingatkan Abdullah Sattar alias Jarot, tokoh utama, akan masa kecilnya dan harapan orang-orang di tanah kelahirannya agar ia bersedia memimpin pesantren warisan keluarga. Bagian kedua, Persimpangan, melukiskan kebimbangan Jarot menentukan langkah: menuruti harapan keluarga ataukah mengejar ambisi pribadi. Bagian ketiga, Lompatan Waktu, mengambil setting tahun 2040, saat Jarot sudah meninggal, dan anaknya, Aida, melakukan napak tilas ke masa lalu ayahnya untuk menguak rahasia dan obsesi-obsesi sang ayah.
Hubbu dibuka dengan prolog (Prawayang: Lontar Lokapala) tentang kisah Begawan Wisrawa yang melakukan kesalahan besar telah menyetubuhi calon istri anaknya. Sosok Begawan Wisrawa ini kemudian membayangi kepribadian Jarot dan diidentikkan olehnya sebagai gambaran dirinya sendiri.
Hubbu tergolong novel realis dengan gaya bahasa yang halus meski tidak sampai liris. Dari awal sampai akhir, susunan kalimatnya ketat terjaga, menunjukkan kematangan penulisnya dalam mengolah kata. Hal ini sangat menunjang suasana psikologis yang dirasakan saat membaca novel. Suasana tersebut bahkan tidak berubah atau berkurang meski pengarangnya menggunakan sudut pandang yang berganti-ganti, antara sudut pandang orang pertama dan sudut pandang orang ketiga.
Namun, novel yang secara teknik sangat apik ini masih menimbulkan banyak pertanyaan di benak saya. Jika “Dewan juri memilih Hubbu karena sangat utuh dan padu ceritanya” (kutipan Ahmad Tohari di sampul belakang buku), saya justru kebingungan. Apa yang disebut utuh dan padu, bagi saya adalah ketidakjelasan. Mula-mula novel ini memang cukup memesona. Namun memasuki pertengahan dan seterusnya, saya bertanya-tanya apa sebenarnya masalah inti yang dihadapi Jarot dan apa yang ia lakukan untuk menyelesaikannya. Meski kejiwaan Jarot tergali secara mendalam, dan di beberapa bagian terasa seperti monolog interior, namun fragmen-fragmen yang ditampilkan tidak menunjukkan kesungguhan Jarot dalam menggapai obsesinya.
Jarot terkesan enggan menerima warisan pesantren; tampak dari pilihannya untuk bersekolah di sekolah umum (SMA) dan kuliah di jurusan sekular (Sastra Indonesia). Namun apa yang dia cita-citakan dari pilihan itu tidaklah terang benar, dan mengapa cita-cita itu sampai membuatnya ragu untuk kembali ke kampung halaman. Padahal tidak terlihat ada kontras antara mengurus pesantren dengan mengerjakan proyek pribadi. Keraguan Jarot dipatahkan oleh sebuah kasus: Jarot terjatuh dalam hubungan seksual dengan Agnes, teman perempuannya yang beragama Katolik. Peristiwa ini membuat Jarot memutuskan hubungan dengan tanah asal, dan bersama Agnes ia hijrah ke Maluku.
Itulah titik lemah novel ini. Konflik batin yang sejak awal digarap secara serius dan mendalam, menjadi nihil ketika faktor yang membuat Jarot melepaskan tanggung jawab atas pesantren yang telah dipersiapkan untuknya hanyalah karena ia berzina dengan seorang perempuan.
Bukan berarti zina itu sesuatu yang remeh. Jarot sendiri digambarkan sangat menyesal setelah melakukannya, seperti terungkap lewat mulut Teguh, teman Jarot, yang berkata, “Jarot memang tak bisa bermain-main untuk masalah yang bernama dosa” (hal. 170). Tetapi ini janggal, mengingat bahwa sebelumnya Jarot suka minum arak, kerap meninggalkan salat, dan sering berdekatan dengan zina (pacaran, berduaan dengan perempuan dalam kamar, bahkan tidur bersama). Kekolotan Jarot memandang dosa (khususnya zina) tidak didukung oleh perilaku kesehariannya dalam bergaul dengan wanita.
Apa yang dikatakan terus menghantui pikiran dan bawah sadar Jarot, seperti sihir masa lalu, Sastra Gendra, ramalan Jayabaya, obsesi mempertemukan Islam dan Jawa, dsb., hanya tampak sebagai persoalan namun tidak dalam penyelesaian. Alur yang bergulir tidak nyambung dengan masalah yang dikemukakan. Kepergian Jarot ke Maluku malah semakin menjauhkannya dari masalah awal. Epilog (Rahasia Sebuah Nama) yang diharapkan dapat menjawab semua tanya pun hanya memberitakan sebuah rahasia yang sebelumnya sudah diberitahukan kepada pembaca.
Orang dengan bakat spiritual dan intelektual tinggi semacam Jarot, sepantasnya jika ia bergulat untuk menjawab permasalahannya dengan bergelut dalam wadah yang memberi ruang lapang bagi pemikiran. Mungkin lembaga studi, atau setidaknya organisasi mahasiswa macam PMII atau HMI. Jarot memang digambarkan sebagai orang yang bisa bergaul dengan siapa saja, tapi yang dimunculkan dalam cerita hanyalah pergaulannya dengan mahasiswa-mahasiswa hedonis dan gila pesta seperti Putri, Teguh, dan Savitri.
Secara umum perwatakan tokoh-tokoh novel ini pun meragukan. Seorang anak broken home seperti Putri dapat dimaklumi kalau ia menjadi maniak seks dan terjebak narkoba, tapi diperlukan keterangan khusus kalau ia juga gemar membaca, bahkan bisa berdebat dengan fasih soal Kant, Marx, dan Derrida. Di masa reformasi 1998, Jarot dan Teguh ikut terlibat sebagai eksponen gerakan mahasiswa. Hal ini aneh karena sebelumnya tidak diterangkan bahwa Jarot, apalagi Teguh, adalah aktivis. Jika keduanya sekadar menjadi bagian dari massa, itu tidak apa-apa. Tapi menjadi pemimpin demonstrasi hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang terlatih sebagai aktivis atau organisatoris.
Selaku penikmat sastra, terus-terang saya tidak mendapatkan kenikmatan dari membaca novel ini. Namun yang lebih mengganggu adalah adanya beberapa cacat yang, sayangnya, sangat elementer, yaitu kesalahan dalam menghitung waktu. Kesalahan tersebut antara lain:
Pertama, kesalahan menentukan waktu kematian Agnes. Agnes meninggal saat ia melahirkan anak. Awal kehamilannya terjadi sekitar tahun 1998, sehingga ia melahirkan dan meninggal selambatnya pada tahun 1999. Namun dalam novel disebutkan bahwa Agnes meninggal tahun 2006 (hal. 177).
Kedua, kesalahan menghitung usia Sonya dan perbandingannya dengan usia Aida. Sonya lahir ketika ibunya, Agnes, meninggal dunia. Sedangkan Aida lahir tahun 2017. Perbedaan usia mereka hampir 20 tahun, tetapi mereka digambarkan sebagai dua saudara yang tumbuh bersama. Mereka bicara soal perlakuan ayah, soal yang satu dibelikan boneka dan lainnya alat gambar, seakan-akan usia keduanya terpaut 3-5 tahun saja. Bahkan Aida menyaksikan Sonya sakit pada waktu kakaknya itu duduk di SMP, padahal seharusnya Aida belum lahir (hal. 226).
Selain itu ada hal kecil yang terasa ganjil. Di jurusan Sastra Indonesia Universitas Airlangga Surabaya, pada akhir semester lima, ada mata kuliah bahasa Arab, dan yang diajarkan adalah aiu babibu tatitu tsatsitsu. Seingat saya, aiu babibu tatitu tsatsitsu (alif-ba-ta-tsa) bukan pelajaran bahasa Arab, melainkan pelajaran membaca aksara Arab dan paling banter termasuk bahasan ilmu tajwid. Jika di akhir semester lima saja yang dibahas masih pengenalan huruf dan cara membunyikannya, tak dapat dibayangkan apa yang dipelajari pada awal semester, sebab dalam ilmu tajwid tak ada pelajaran yang lebih rendah daripada itu. Lebih ganjil lagi tatkala dalam UAS Bahasa Arab ada soal mengenai isim munsharif (isim yang menerima tanwin). Apakah berarti isim munsharif diajarkan sebelum materi membunyikan huruf?
Novel dengan cacat elementer sebetulnya tidak layak mendapat apresiasi. Tapi Hubbu adalah pemenang sayembara DKJ. Pemenang sebuah lomba memang belum pasti baik, sebagaimana juara AFI belum tentu seorang penyanyi bagus. Namun lembaga setingkat Dewan Kesenian Jakarta dan dewan juri sekelas Ahmad Tohari biasanya memiliki standar sastra tertentu.
Standar itulah yang tidak tampak pada Hubbu. [Tulisan lama dari blog sebelumnya, dimuat kembali di sini – Asso]