Oleh: Guru Gembul
Mengapa Timur Tengah begitu kasar dan Nusantara justru malah mencontohnya?
Saya mengenal Timur Tengah dari konflik. Sejak saya kecil dan tahu ada benda yang namanya televisi, nama Timur Tengah selalu berurusan dengan ketegangan, perang, dan polemik. Ia terus-menerus menafkahi media dengan berbagai cerita peperangan, menampilkan gambar di layar televisi dalam wujud tentara dan senjata.
Israel vs Palestina, konflik itu sama tuanya dengan PBB. Lalu ada perang Israel lawan Lebanon, Mesir lawan Israel, Iran versus irak, Irak versus Kuwait, Suriah lawan Israel, Kurdi lawan Irak, Lebanon versus Hizbullah, Hamas versus Fatah, perang internal di Mesir, dan perang internal di Libia, dan entah apalagi. Saya yakin daftar yang saya sebutkan barusan itu tidak lengkap, ada lebih banyak yang terlewat. Coba cek, bukan hanya konflik, negara Timur Tengah juga dikenal sebagai negara dengan pemerintahan yang sangat absolut, kadang diktator, bahkan ada yang tiran. Mungkin bentuk pemerintahan ini adalah ekspresi dari ketidakamanan di kawasan itu.
Di kawasan itu sudah umum ketika wartawan dibungkam, aktivis dihilangkan, dan oposisi tidak bisa bertahan. Jangankan mengkritik pemerintah, berbisik di gang sempit soal apa yang terjadi di istana pun bisa membuat seseorang tidak bisa melihat keluarganya esok hari. Mencekam dan mengerikan.
Memang sebagan negara di sana dianugerahi sumber daya alam yang melimpah, yang membuat kehidupan mereka menjadi lebih baik. Tetapi bahwa uang yang melimpah juga digunakan untuk menyembunyikan penderitaan yang akut di sana juga adalah berita yang benar. Orang lalu bertanya-tanya kenapa wilayah segersang itu justru subur dalam menuai polemik dan konflik? Mari kita uraikan beberapa daftarnya.
Nomor satu, sebagian besar dari mereka adalah negara-negara bekas jajahan yang belum selesai dengan nasionalisme mereka. Batas wilayah mereka ditentukan oleh penjajah. Pemilahan geografis mereka juga ditentukan oleh penjajah. Termasuk kepemilikan sumber daya alam juga ditentukan oleh penjajah. Bahwa Irak dan Kuwait terpisah, misalkan, bukan gara-gara agama mereka, bukan gara-gara tradisi dan bahasa mereka, tetapi gara-gara negara penjajah menginginkan hal itu terjadi.
Orang-orang Aljazair dengan orang-orang Libia itu memiliki bahasa yang sama, adat yang sama, agama yang sama, latar sejarah yang sama ,tetapi mereka terpisah menjadi dua negara yang berbeda yang dibatasi oleh garis khayal itu adalah oleh penjajah mereka. Dan setiap upaya untuk mengubah batas-batas itu akan menghasilkan konflik. Itu yang pertama.
Yang kedua, kawasan Timur Tengah adalah kawasan gersang dari tetumbuhan dan sumber daya pangan dan ini secara tradisional membentuk orang-orang yang ada di dalamnya terbiasa menyelesaikan sengketa dengan perang dan kerusuhan. Di masa lampau orang-orang untuk bisa bertahan hidup mereka harus berebut air, bahkan hanya untuk minum pun mereka harus berperang. Karena itu maka budaya yang mengakar di sana itu adalah budaya perang, budaya kekerasan, budaya intoleransi. Mereka tidak mudah memahami bahwa perbedaan itu tidak harus menjadi konflik. Mereka tidak memahami bahwa perbedaan itu bisa saja diselesaikan dengan toleransi. Itu bukan salah mereka sepenuhnya, tetapi mereka ada di sebuah tempat di mana mereka didorong untuk berebut satu sama lain untuk bisa hidup. Untuk bisa hidup pun mereka bisa saja menyebabkan kematian pada pihak lain.
Masalah yang ketiga, budaya pemarah dan intoleransi yang barusan disebutkan itu kemudian menjadi sakral ketika orang-orang mengaitkan dengan agama Islam. Islam sebenarnya mengajarkan toleransi, menerima perbedaan, dan santun terhadap diskusi. Tetapi ketika ia datang di tengah masyarakat yang menjunjung tinggi perang dan anti toleran, sikap biner ini justru diselubungi oleh sesuatu yang dipahami sebagai nilai-nilai Islam. Bahwa ketika mereka berperang, mereka mengira ini adalah kehendak Tuhan. Bahwa ketika mereka berkonflik, mereka mengira itu adalah jalan menuju surga. Perbedaan Sunni dan Syiah tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan perbedaan antara Hindu dan Buddha, misalkan, atau Katolik dengan Protestan. Tetapi Katolik dan Protestan sudah menyelesaikan konflik mereka dan Hindu Buddha juga demikian. Sedangkan Sunni Syiah sampai hari ini masih perang fatwa yang dimulai dengan basmalah.
Kenapa lagi-lagi alasannya adalah intoleransi di sana disakralkan karena dianggap bermula dari Islam. Artinya Islam dijadikan alat legitimasi untuk melanggengkan perang. Ironi.
Tapi lanjut ke nomor 4, alasan negara-negara di sana begitu gemar untuk berkonflik itu adalah karena minyak. Minyak adalah sumber energi utama di era modern, dia menggerakkan industri-industri besar yang menyuplai kebutuhan peradaban aktual dan Timur Tengah adalah salah satu penyuplai terbesar di dunia saat ini. Ia menjadi beban perdamaian yang bahkan lebih akut lagi. Tanpa adanya minyak orang Timur Tengah sudah mudah konflik apalagi dengan adanya minyak, makin banyak kepentingan. Keinginan menguasai sumber daya alam itu secara dominan membuat pihak-pihak menghalalkan segala cara bahkan termasuk perang.
Dan luar biasanya sekutu-sekutu mereka yang lebih beradab di Barat akan memanfaatkan konflik dan perang itu untuk mendapatkan keuntungan finansial. Jadi kalau Amerika Serikat dan Rusia misalkan berebut minyak di kawasan tertentu, katakanlah misalnya Kanada, mereka harus mengorbankan prajurit-prajurit mereka sendiri untuk mendapatkan kemenangan. Tetapi jika mereka berebut minyak di Timur Tengah maka mereka cukup mengorbankan warga lokal untuk minyaknya bisa mereka ambil. Ini adalah gabungan antara kecerdasan orang-orang barat dengan keluguan orang-orang Timur Tengah.
Nomor lima, keinginan negara-negara asing untuk berebut juga membuat masing-masing dari mereka menciptakan proksi di dalam negara-negara di Timur Tengah. Seperti yang terjadi di Suriah, masing-masing faksi sebenarnya tidak pernah independen. Ada yang berpihak kepada Amerika Serikat, ada yang berpihak kepada Rusia, ada yang menjadi anak buah Turki, dan bahkan ada yang menjadi anak buah Iran dan Israel. Mereka menyerang satu sama lain sambil takbir tanpa tahu bahwa mereka berperang sebenarnya untuk setan yang mengendalikan mereka, katakanlah Amerika Serikat dan Israel. Miris tapi itulah yang terjadi.
Dan nomor enam kenapa negara-negara timur tengah itu gemar untuk berperang karena akumulasi dari banyak potensi konflik. Pemerintah-pemerintah di sana cenderung otoriter. Sifat pemerintahan ini pada akhirnya memunculkan budaya korupsi yang akut, ketidakpuasan masyarakat yang meluas, dan kelengahan dari para pemimpin mereka. Tiga hal ini lagi-lagi mengerucut pada satu hal yang sama yaitu perang. Oposisi akan memperkuat diri menandai setiap kelemahan dan kelengahan penguasa yang kemudian akan mereka manfaatkan begitu saatnya tiba, persis seperti kasus Bashar al-Asad.
Nomor tujuh, dan jika oposisi kerap gagal maka mereka akan menjadi kelompok teroris kelompok radikal, kelompok yang selalu menganggap bahwa dirinya adalah korban yang disalahkan dan dikalahkan, dianiaya dan diintimidasi. Merekalah yang kemudian merasa bahwa mereka harus melakukan apa pun dengan tindakan apa pun dan cara apa pun untuk mencapai kemenangan. Kelompok inilah yang menjadi ancaman keamanan yang sangat akut di negara-negara Timur Tengah. Karena teroris dan kelompok-kelompok radikal selalu muncul di sini karena pemerintahan yang jahat, dan pemerintahan yang jahat muncul gara-gara ketidakamanan, dan ketidakamanan muncul gara-gara kepentingan dan tradisi. Kalau sudah begini ya rungkad.
Tapi celakanya adalah bahwa konflik di Timur Tengah tidak bisa diisolasi, ia menyebar ke mana-mana. Agen-agen Timur Tengah mengatasnamakan agama datang ke berbagai wilayah di dunia termasuk di Nusantara menebar budaya intoleransi, kekacauan, dan permusuhan. Kalau misalkan kita mau menyimak sebenarnya kebalikan dari Timur Tengah, budaya Nusantara itu adalah budaya yang sangat terbuka dan toleran.
Kalau di negara Timur Tengah itu satu bangsa satu agama satu bahasa yang sama pecah menjadi 24 negara, di Indonesia ratusan bahasa puluhan bangsa bisa terikat dalam kerukunan, dalam satu kesatuan negara yang sama. Luar biasa. Tetapi bukannya orang-orang di sini yang mengekspor budaya toleransi ke Timur Tengah, budaya Timur tengahlah yang anti toleransi yang datang ke Nusantara dan mencoba untuk merusak, mengajak orang-orang Nusantara yang santun menjadi jahiliah dalam berkomentar, dalam berbuat, dalam bertindak. Mereka menyerang tradisi lokal, kebiasaan-kebiasaan lokal, bahkan menganggapnya sesat dan musyrik.
Sekarang Indonesia mulai pecah-belah. Beda pengajian bisa saling geruduk, beda keyakinan bisa saling bakar rumah ibadah. Sampai kapan ini bisa dibiarkan ya, sayangnya melawan mereka juga bentuk lain dari intoleransi. Dan yang lebih parah menjadi kelemahan bagi orang-orang di Nusantara itu adalah mereka cenderung mengalah. Kalau ada konflik, kalau ada apa-apa, ya sudah mereka mengalah. Termasuk juga budaya intoleransi menjadi menguat karena orang-orang yang bertoleran mengalah. Mereka adalah mayoritas tapi diam dan bungkam membiarkan semua yang terjadi terjadilah begitu saja. Kita tidak tahu bagaimana wujud Indonesia ke depan. [Transkrip dari video Guru Gembul]