kritik sastra

Tulisan Ahmad Nurullah berjudul Yang Betul: Novel Filosofis (Media Indonesia 27 Pebruari 2005), yang menanggapi tulisan sebelumnya dari Chavchay Saifullah (20 Pebruari 2005) dan Asep Sopyan (Menimbang Novel Filsafat, 13 Pebruari 2005), mengilhami saya untuk berpikir mengenai etika dalam kritik sastra. Istilah etika yang saya maksud berhubungan dengan kemungkinan pertanggungjawaban yang harus diberikan kritikus berkaitan dengan kerja kritiknya. Bidang ini sepertinya memang kurang mendapat perhatian dari para teoritisi sastra. Yang lebih banyak dibahas biasanya etika dalam penciptaan sastra, misalnya kasus plagiat, adaptasi, dan penerjemahan.

Lepas dari apakah saya setuju atau tidak dengan kritik Nurullah, ada tiga hal dari tulisannya yang memancing perhatian saya. Pertama, di paragraf awal, Nurullah dengan jujur mengakui bahwa ia belum membaca dua novel filsafat yang dipermasalahkannya. Oleh karena itu, kedua, ia mengarahkan kritiknya hanya kepada pengarang, khususnya pengarang novel Payudara, yakni Chavchay Saifullah. Lalu ketiga, banyaknya pendapat dari pengarang kaliber dunia yang dikutip dalam tulisannya.

Ketiga soal tersebut terkait dengan kualitas penulisan kritik sastra kita dewasa ini, yang sepertinya tidak beranjak membaik sejak didengung-dengungkan mengalami krisis pada tahun 1980-an. Ketika H.B. Jassin dan A. Teeuw masih segar bugar dan produktif, kritik sastra kita cukup diperhitungkan. Namun setelah itu kita tidak memiliki lagi kritikus-kritikus yang berwibawa dan disegani para pengarang karena profesionalitas dan dedikasi mereka yang tanpa batas. Sapardi Djoko Damono, Ignas Kleden, dan Nirwan Dewanto mungkin bisa disebut. Namun fokus mereka tidak hanya pada keilmuan dan kritik sastra. Yang satu merangkap sebagai penyair, yang kedua lebih dikenal sebagai filsuf epistemologi sosial, dan yang terakhir dikabarkan tengah mencoba-coba menulis novel.

***

Secara sederhana, kritik sastra dapat diartikan sebagai penilaian terhadap mutu karya sastra berdasarkan kriteria dan pendekatan tertentu. Untuk dapat menentukan apakah suatu karya itu mutunya baik atau buruk, seorang penilai tentu harus membaca karya itu terlebih dahulu. Pembacaan seorang kritikus berbeda dengan yang bukan kritikus (pembaca biasa); ia membaca tidak sekadar untuk menikmati, melainkan juga memikirkan dan menelaahnya.

Dari hasil membaca itu, kritikus memperoleh bahan untuk melakukan interpretasi atau penafsiran. Berdasarkan teks, dianalisis lewat teori dan pendekatan tertentu, serta penggunaan sumber-sumber lain yang relevan, kritikus menyingkap makna-makna yang mungkin ada dalam karya sastra, yang dengan pembacaan biasa mungkin tidak akan tampak. Makna-makna ini dapat berupa makna tekstual (intrinsik) atau referensial (ekstrinsik). Dari sini, barulah kritikus dapat menyimpulkan (mengevaluasi, menilai) apakah karya sastra yang dikajinya itu bermutu baik atau buruk menurut kaidah-kaidah sastra yang dianutnya.

Di sini saya tidak hendak merumuskan kaidah-kaidah etika dalam kritik sastra, karena bisa jadi apa yang secara khusus disebut etika dalam kritik sastra itu tidak ada. Jikapun harus dikatakan, sederhana saja saya kira: etika kritik sastra terletak pada proses kritik itu sendiri. Sepanjang sang kritikus telah melalui proses-proses dalam kritik sastra, maka apa pun hasilnya, ia telah berlaku secara etis. Jika tiap tahapan kritik sudah dijalani dengan benar, hasil kritiknya pasti bisa dipertanggungjawabkan. Kalaupun kritiknya lebih banyak berupa pujian, ia mendasarkan pandangannya pada argumen-argumen yang relevan. Pun jika kritiknya lebih sarat dengan cacian, ada alasan yang bisa diberikan.

Persoalan-persoalan etika selain yang disebut di atas barangkali masih bisa disebut. Tetapi pada dasarnya semua berpulang pada etika ilmiah secara umum. Kritik sastra memang tidak semuanya ilmiah, lebih banyak lagi yang berbentuk bebas. Tetapi bahkan dalam kritik sastra-bukan-ilmiah pun, yang lazim disebut esai atau kritik sastra kreatif, setiap pendapat, apalagi pendapat orang lain, tetap memerlukan pertanggungjawaban. Ada pun soal bahasa yang dipergunakan, misalnya jika mencaci tidak boleh berlebihan atau dengan bahasa yang kasar, hal itu masuk dalam lingkup etiket atau sopan santun dalam berpendapat, bukan etika.

***

Berdasarkan etika ini, dengan mudah dapat disimpulkan bahwa mengkritik karya sastra tanpa membacanya terlebih dahulu adalah suatu pelanggaran. Secara logika, mana mungkin kita dapat menilai sesuatu tanpa mengetahui apa sesuatu itu. Untungnya apa yang dilakukan Nurullah bukanlah kritik sastra, melainkan semacam tinjauan saja tentang perlu tidaknya seorang pengarang mencantumkan novel filsafat di sampul bukunya. Tetapi bagaimana pun ini satu persoalan serius yang sangat mempengaruhi kehidupan kritik sastra kita. Sekadar perbandingan, saya ambil contoh penulisan resensi buku sastra. Umumnya peresensi buku, termasuk buku sastra, belum membaca tuntas, apalagi serius, buku yang diresensinya. Cukup dengan membaca ringkasan di sampul belakang, kata pengantar (kalau ada), biografi pengarang, dan beberapa lembar isi buku, sebuah resensi bisa diselesaikan dan dimuat di media massa.

Ada yang menyebut resensi buku sastra sebagai salah satu bentuk kritik sastra. Namun kritik sastra yang benar-benar kritik tentu tidak boleh sekelas dengan resensi. Jika sebuah tulisan yang diniatkan sebagai kritik sastra proses pembuatannya sama dengan resensi, artinya tidak diawali dengan pembacaan yang serius, kualitasnya pasti tidak jauh beda. Dan inilah sepertinya yang terjadi pada sebagian besar kritikus sastra kita. Malas membaca.

Soal kedua tidak berkaitan langsung dengan etika. Di bagian tengah tulisannya, Nurullah mengutip diktum Roland Barthes tentang kematian pengarang. Tentunya ia menganut diktum tersebut, sebagaimana telah ia terapkan untuk mengritik penulisan novel filsafat. Namun jika ia menganggap pengarang telah mati, ada inkonsistensi ketika ia masih mengotak-atik pengarang, bahkan membanding-bandingkannya dengan pengarang-pengarang kaliber dunia macam Nietzsche, Marquez, dan Kundera. Bahwa pengarang-pengarang dunia itu tidak melabeli novel-novelnya dengan tulisan, misalnya, novel filsafat, tidak lantas berarti Chavchay Saifullah dan Faiz Noor, pengarang “novel filsafat” Tapak Sabda, tidak boleh melakukannya. Terserah mereka mau melabeli novelnya dengan tulisan apa pun dan untuk kepentingan apapun (termasuk kepentingan pasar). Mengacu pada Barthes, maka novel berikut segala teks yang ada di dalam dan di luar sampulnya telah mempunyai hidup dan dunianya sendiri, juga kematiannya sendiri (misalnya jika tidak laku dijual), bebas dari intervensi pengarang. Ini berarti, bertentangan dengan diktum Barthes yang dianutnya, Nurullah menganggap pengarang masih hidup. Sedangkan teksnya sendiri ia anggap mati karena tidak dibahasnya sama sekali (karena belum dibaca).

Jika pada tahun 1980-an teriakan ketidakpuasan terhadap kehidupan kritik sastra sudah sangat ramai, seperti diceritakan Budi Darma dalam Solilokui, rupanya sampai sekarang teriakan itu tetap tinggal teriakan. Tidak banyak yang berubah. Kritik sastra kita sedikit saja yang benar-benar memenuhi syarat sebagai kritik sastra, baik syarat secara akademis maupun etis. Kebanyakan kritik sastra kita tidak ditulis secara serius. Hasilnya pun tak jauh dari sekadar memuji-muji atau mencaci-maki. Kritik yang dikatakan ilmiah pun ternyata banyak yang hanya gagah-gagahan: kutip sana-sini, tapi tidak nyambung alias tidak koheren.

Soal kutip-mengutip ini tampaknya mem-parade sekali pada tulisan Nurullah. Untuk mendefinisikan filsafat saja, ia mengutip banyak ahli (Bochenski, Gasset, Delfgaauw, Confucius, Tolstoi, Wittgenstein, Bergson, bahkan Nietzsche). Tetapi ketika bicara metode, ia memakai Popper. Padahal belum tentu Popper melandaskan metode filsafatnya pada pengertian filsafat yang sama seperti ahli-ahli yang banyak disebut barusan. Ada loncatan ide yang tiba-tiba, dan bisa jadi tidak memiliki relevansi dan koherensi. Ini akan jadi kesalahan etis jika penulisnya tidak bisa mempertanggungjawabkan kaitan tiap pendapat. Dengan kata lain, ia hanya membawa-bawa nama-nama besar untuk menaikkan prestisenya.

***

Kehidupan kritik sastra yang demikian mempengaruhi resepsi pembaca atas karya-karya sastra kontemporer kita. Lihatlah apa yang terjadi pada novel-novel bagus belakangan ini: Saman (Ayu Utami) dan Cala Ibi (Nukila Amal). Umumnya kritik terhadap dua novel tersebut hanya berisi pujian sekelas resensi. Dari kritikus sekaliber Sapardi Djoko Damono yang mungkin kekurangan waktu untuk melakukan pembacaan yang serius, hingga kritikus-kritikus pemula yang silau oleh bunga-bunga pada gaya bahasa Saman dan Cala Ibi, semuanya hanya memuji. Semua pujian itu mungkin disertai alasan-alasan yang masuk akal. Namun yang terjadi sepertinya kritik-kritik itu tidak berhasil merangsang pembaca untuk lebih bergairah menyelami dunia sastra. Demam Saman dan Cala Ibi beberapa waktu lalu lebih sebagai tren sesaat. Oleh karena itu, entah karena kelebihan pujian atau karena faktor lain, pantaslah jika sekarang Saman dan Cala Ibi tak banyak lagi dibicarakan orang.

Sangat disayangkan, karya-karya sastra bermutu yang muncul akhir-akhir ini tidak diimbangi dengan kritik sastra yang baik, yang diperoleh lewat cara dan etika yang dapat dipertanggungjawabkan. Jika dibiarkan terus berlangsung, ini akan semakin membentangkan jarak antara karya sastra dan pembaca. Apalagi karya sastra sekarang, khususnya novel, banyak ditulis dengan tingkat pencapaian bahasa yang kian liris dan puitis. Ahli-ahli sastra kita kurang punya waktu untuk melakukan penelaahan secara serius. Namun karena kita kekurangan narasumber, mereka masih sering melontarkan, atau dimintai, pendapatnya meski tanpa melalui proses kritik sesuai etika. Barangkali mungkin, kita harus memanggil kembali H.B. Jassin dari kuburnya. []

Catatan:
Esai ini pernah dimuat di Media Indonesia, 13 Maret 2008. Dimuat kembali di sini dengan beberapa editan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *