Pada suatu hari, Desi Susan didatangi oleh Tuhan yang berkata kepadanya dengan nada penuh rintihan.
“Wahai Desi Susan, Aku sakit. Mengapa engkau tidak menjenguk-Ku?”
Desi Susan terkejut. Tak salah lagi, itu memang Tuhan. Suara-Nya, Desi Susan masih ingat, itulah suara yang dulu, menjelang ia dilahirkan ke dunia, pernah bertanya kepadanya, “Bukankah Aku Tuhanmu?” Dan Desi Susan juga masih ingat jawab yang ia berikan, “Benar, aku bersaksi bahwa Engkau Tuhanku.”
Keyakinan ini membuatnya sangat bahagia. Telah lama Desi Susan mencari dan merindukan Tuhan, dan kini kerinduannya berbalas meski hanya lewat suara. Tetapi Desi Susan terheran-heran karena Tuhan mengaku diri-Nya sakit.
Maka ia bertanya, “Engkau sakit?”
“Bahkan sakit-Ku teramat parah.”
“Tuhanku, Engkau Mahakuasa dan Mahaperkasa. Bagaimana mungkin Engkau sakit, dan bagaimana aku menjenguk-Mu?”
Tuhan menjawab, “Hamba-Ku yang bernama Yan, dia sakit.”
“Yan?”
Desi Susan tercengang. Itu adalah nama seorang pemuda yang dulu pernah menyatakan cinta kepadanya namun ia tolak karena cintanya hanya untuk Tuhan.
“Ya. Jenguklah dia, maka kau akan menemukan-Ku di sana.”
Desi Susan masih tercenung lama sekali ketika suara Tuhan tak terdengar lagi. Ia tak mengerti, kenapa Tuhan sampai menyuruhnya pergi menjenguk Yan. Sakit apakah Yan, dan ada hubungan apakah dia dengan Tuhan sampai Tuhan menemaninya di sana.
Tapi teringat bahwa ia akan bertemu Tuhan, berangkatlah ia ke rumah Yan. Sepanjang jalan, perasaan Desi Susan masih campur baur antara heran dan gembira, antara enggan dan bahagia. Namun gembira dan bahagianya lebih besar ditambah dengan rasa penasaran yang tak tertahankan.
Apalagi Tuhan sendiri jelas-jelas menyuruhku, pikir Desi Susan, jadi kenapa aku harus ragu?
Sesampainya di rumah Yan, Desi Susan disambut dengan sebuah tatapan dalam penuh kerinduan. Ia mendengar Yan berkata kepadanya dengan penuh perasaan.
“Akhirnya engkau datang juga, wahai Desi Susan. Aku telah menunggumu sekian lama.”
Desi Susan terheran-heran karena Yan sama sekali tidak tampak sakit. Ia pun kecewa karena tidak melihat Tuhan di rumah Yan.
“Bukankah engkau sakit, wahai Yan?”
“Ya, aku sakit. Aku sakit cinta dan sakit rindu padamu, Desi Susan.”
Desi Susan menanggapi dengan datar. “Aku mendapat petunjuk dari Tuhan untuk menjengukmu yang sedang sakit, dan aku akan berjumpa dengan Tuhan di sini. Mana Dia?”
“Kau mendapat petunjuk dari Tuhan?”
“Hemm.”
Yan berpikir sejenak. “Wahai Desi Susan, jika Tuhan bicara kepadamu, cobalah untuk tidak memaknainya secara harfiah.”
“Hemm..?”
“Yang disuruh jenguk adalah hatiku, dan yang harus menjenguk adalah hatimu. Tahukah engkau, Desi Susan, sejak tiga tahun lalu ketika kau menolak cintaku, tiap hari aku selalu berdoa kepada Tuhan, minta agar Dia membawamu ke hadapanku. Siang malam aku mengadu, ‘Ya Allah, aku sakit. Aku sakit karena Desi Susan. Ya Allah, aku sakit. Aku sakit cinta kepada Desi Susan. Ya Allah, aku sakit rindu kepada Desi Susan. Ya Allah, bawakan dia kepadaku.’ Begitulah. Dan sepertinya doaku mulai dikabulkan sekarang.”
Desi Susan termenung. “Benarkah demikian?”
“Aku tak punya tafsiran lain.”
Desi Susan masih termenung.
Yan melanjutkan. “Lihat hatimu sendiri, apakah kau yakin bahwa petunjuk itu benar-benar datang dari Tuhan?”
“Aku yakin.”
“Kalau begitu, keputusannya terserah padamu.”
“Jika aku menerima cintamu, apakah aku akan berjumpa dengan Tuhan?”
“Ya, tapi ini pun jangan dipahami secara harfiah pula.”
“Baiklah,” kata Desi Susan, “kalau begitu aku menerima cintamu karena Allah.”
“Oh, terima kasih, wahai Desi Susan. Dan apakah engkau pun bersedia menjadi istriku?”
“Aku bersedia menjadi istrimu karena Allah.”
Maka demikianlah, Desi Susan pun menikah dengan Yan.
Dengan menjadi istri Yan, Desi Susan berpikir bahwa ia telah melaksanakan perintah Tuhan. Dengan tinggal serumah, sekamar, bahkan satu selimut dengan Yan, Desi Susan berharap bahwa ia dapat menjumpai Tuhan di rumah atau pada diri Yan. Jika Tuhan sampai secara khusus menyuruhnya menjenguk Yan, tentu pria yang kini menjadi suaminya itu memunyai kedudukan khusus di mata Tuhan. Maka Desi Susan pun menjalankan tugasnya sebagai istri dengan sesempurna mungkin. Ia melayani suaminya seakan-akan melayani Tuhan. Setiap perintah dan larangan suaminya ia anggap pula perintah dan larangan Tuhan.
Namun setelah beberapa lama menjalani hidup sebagai istri Yan, apa yang diharapkannya tidak kunjung menjadi kenyataan. Yan memang sangat baik sebagai suami, bertanggung jawab dan penuh perhatian. Kasih sayangnya pun boleh dikata sangat berlebihan. Tapi Desi Susan hanya ingin berjumpa Tuhan, dan sampai saat ini suaminya tidak dapat memertemukannya dengan Tuhan.
Maka mulailah ia dilanda keraguan. Jangan-jangan dulu ia telah salah menafsirkan perkataan Tuhan. Jangan-jangan yang dimaksud menjenguk Yan bukanlah menikah dengan Yan. Mungkin ada arti lain. Tetapi apa arti lain itu, Desi Susan tidak paham.
Karena sering memikirkan hal itu, Desi Susan pun menjadi tidak bahagia, meski kalau dilihat dari luar, kehidupan rumah tangganya dengan Yan tampak baik-baik saja.
Begitu pun Yan. Awalnya ia sangat bahagia bisa memersunting Desi Susan, gadis yang telah dicintainya sejak bertahun-tahun silam. Meskipun Desi Susan pernah menolak pernyataan cintanya sekitar tiga tahun sebelum mereka menikah, cintanya kepada Desi Susan tetap menyala-nyala. Ia berusaha memadamkan cinta itu, tetapi api cinta itu malah semakin menggila. Lalu ia memohon kepada Tuhan agar Desi Susan mau menerima cintanya.
Maka ketika sang kekasih telah sah menjadi istrinya, Yan pun berusaha menampilkan dirinya sebagai suami yang ideal, bertanggung jawab, penuh perhatian dan kasih sayang. Tak sekalipun ia menyakiti istrinya, karena jika istrinya tersakiti, ia pun akan merasa sakit. Ia selalu ingin agar istrinya bahagia, karena kebahagiaan istrinya akan menjadi kebahagiaannya pula.
Tapi akhir-akhir ini, Yan merasakan sesuatu yang aneh dan tidak mengenakkan, yang mengurangi rasa bahagianya. Bukan hanya itu, sesuatu yang aneh dan tidak mengenakkan itu pun terasa menyakitkan. Ada apakah gerangan?
Ia tahu, hidup berumah tangga tidak akan selamanya menyenangkan. Suatu ketika mestilah ada cekcok mulut, ribut, hingga sesekali pisang ranjang. Penyebabnya pun bisa macam-macam. Mungkin karena uang belanja kurang, cemburu, perbedaan pendapat, keinginan tidak terpenuhi, atau sekadar salah paham. Itu wajar. Malah jika yang semacam itu berhasil dilalui dengan baik, cinta kedua pihak akan semakin tebal dan kekal.
Tapi kenapa…?
“Istriku, apakah engkau bahagia hidup bersamaku?” tanyanya satu ketika. Yan memutuskan untuk menjernihkan masalah yang mengganggu hatinya, yang juga ia duga tengah merayapi hati istrinya, dengan cara berterus terang.
Desi Susan kaget mendengar pertanyaan itu. Ia sendiri pernah menanyakan hal yang sama kepada dirinya, dan ia enggan mengakui jawabannya.
“Suamiku, tentu saja aku bahagia hidup bersamamu. Mengapa engkau bertanya seperti itu?”
Tetapi Yan malah bertanya lagi.
“Istriku, apakah engkau menyesal menikah denganku?”
“Suamiku, mengapa pertanyaanmu aneh sekali?” Desi Susan malah balik bertanya. Dan tiba-tiba ia kaget sendiri. Selama ini ia tidak pernah membantah suaminya atau mengelakkan pertanyaannya. Kalaupun ia ingin balik bertanya, ia selalu mendahuluinya dengan jawaban. Tapi kali ini…, ah, mungkin pertanyaan suaminya memang aneh sekali.
“Istriku, aku hanya ingin kita bicara terbuka. Kalau ada yang salah, mari kita perbaiki bersama-sama.”
Desi Susan tercenung. “Apanya yang salah?”
“Kalau tidak ada yang salah, mengapa tampaknya engkau tidak bahagia?”
“Apakah aku terlihat tidak bahagia?” Suara Desi Susan menaik. Tampaknya sesuatu pada kalimat Yan telah memantik api kekecewaan di lubuk hatinya.
“Tentunya kau lebih tahu.”
“Justru kaulah yang tampak tidak bahagia!” Kini suara Desi Susan terdengar tegas. Ia sudah memutuskan, toh Yan bukan Tuhan, jadi tak ada salahnya kalau suaranya sedikit lebih keras.
Yan tercengang. Meskipun demikian, di dalam hatinya ia gembira karena istrinya mulai berterus-terang. “Aku terlihat tidak bahagia? Jika benar begitu, itu pasti karena aku melihatmu tidak bahagia.”
Hening sejenak. Yan menatap Desi Susan pada bola matanya, mencoba mencari sesuatu yang mungkin tersembunyi di sana. Desi Susan pun menatap bola mata Yan, seraya meyakinkan keberaniannya yang ia rasakan telah terkumpul perlahan-lahan.
“Aku memang tidak bahagia!” kata Desi Susan.
Tandasnya jawaban ini membuat Yan tidak bisa berkata apa-apa. Ia memang menginginkan jawaban yang jujur. Tapi kebenaran ternyata tidak selalu menyenangkan. Bayangkan, selama ini ia telah berusaha sekuat tenaga, segenap hati dan pikiran, untuk membahagiakan istrinya. Nyatanya usahanya sia-sia. Siapa yang tidak kecewa?
Desi Susan sendiri serasa mendapat pelepasan dengan pernyataan itu. Dadanya menjadi sedikit lapang. Seolah sudah terlanjur, ia pun bermaksud mengungkapkan semua yang ia rasakan.
“Apakah kau ingin membuatku bahagia?” tanyanya.
“Tak ada suami yang tak menginginkan istrinya bahagia.”
“Baiklah,’ ucap Desi Susan. “Dengarkan ini: aku ingin berjumpa Tuhan! Dulu aku menjengukmu yang tengah sakit, bersedia menerima cintamu dan menikah denganmu, itu kulakukan karena aku ingin bertemu Tuhan.”
Yan mendesah. Hal ini sudah diduganya, tapi baru kali ini terartikulasikan lewat kata-kata istrinya. Demi cintanya kepada Tuhan dan hasrat yang kuat untuk bertemu dengan-Nya, Desi Susan rela melakukan apa pun yang diperintahkan Tuhan. Segala macam ibadah tekun dikerjakan, dari yang wajib sampai yang sunah. Termasuk perintah untuk menjenguk Yan pun ia kerjakan demi dapat bertemu dengan Tuhan.
“Maafkan aku, istriku.” Suara Yan terdengar melemah, menyiratkan nada menyerah. “Agaknya aku telah gagal menjadi suamimu.”
Desi Susan diam saja. Sebenarnya ia ingin mengatakan sesuatu untuk menghibur suaminya. Bagaimana pun suaminya teramat baik kepadanya. Tidak pantas ia sebagai istri menyiksa perasaannya. Tapi karena ucapan suaminya bukan pertanyaan, ia pun jadi bingung menanggapinya.
“Istriku, aku ingin bertanya sesuatu yang amat penting padamu. Bolehkah?”
Bahkan untuk bertanya pun kini suaminya menyempatkan diri meminta izin. Desi Susan tak enak hati jadinya. Mungkin karena tadi pertanyaan suaminya selalu dibalikkan.
“Aih, maafkan aku juga, suamiku. Yang tidak penting pun boleh kau tanyakan, apalagi yang penting. Katakanlah.”
“Kau akan menjawabnya?”
“Aku akan menjawabnya.”
“Kau akan menjawabnya dengan jujur?”
“Tentu, suamiku. Aku akan menjawabnya dengan jujur.”
“Istriku…”
Yan tampak meragu.
“Hemm…”
Desi Susan menunggu.
“Istriku…”
“Ada apa, suamiku? Tanyakan saja.”
“Apakah kau…”
“Aku kenapa?”
“Apakah engkau… apakah engkau mencintaiku?”
Desi Susan melohok. Heran ada, senang ada, gemas ada, tapi mangkel juga ada. Bagaimana tidak, suaminya bertanya dengan nada gugup, ragu, penuh takut-takut, seakan-akan seorang pemuda yang hendak nembak alias menyatakan cinta kepada calon pacarnya tapi takut ditolak.
Tetapi Desi Susan menjawab juga pertanyaan itu.
“Tentu saja aku mencintaimu.”
Berbinar kedua mata Yan.
“Benar kau mencintaiku?”
Seharusnya Yan tidak mengulangi pertanyaan ini. Sekali sang kekasih berkata, seharusnya ia segera percaya. Seandainya Desi Susan balik bertanya, “Apakah kau tak memercayai ucapanku?” tentu ia akan menyangkal. Maksudnya memang hanya ingin mendapat penegasan. Namun di dunia ini ada hal-hal tertentu yang tidak perlu ditegaskan lebih lanjut. Ada hal-hal tertentu yang jika seseorang mengetahuinya dengan lebih jelas, ia akan menyesal.
“Aku mencintaimu demi Tuhan yang membolak-balikkan hatiku,” jawab Desi Susan.
Begitulah. Tiba-tiba mata Yan melayu.
“Ah, rupanya itu masalahnya.”
Desi Susan tak mengerti. “Masalahnya apa?”
“Engkau mencintaiku demi Tuhan.”
“Apanya yang salah? Sebagai hamba Tuhan, semua yang kita lakukan memang haruslah demi dan karena Tuhan.”
“Justru itu. Artinya sebenarnya engkau tidak mencintaiku. Engkau menerima cintaku bukan demi aku, tapi demi yang lain.”
“Masya Allah! Istigfar, suamiku. Masa Tuhan kau cemburui?”
Yan telah mulai memahami persoalannya. Tetapi agar percakapan mereka tidak berubah menjadi percekcokan, diturutinya saran sang istri untuk mengucap istigfar. Lalu ia merangkul istrinya dan istrinya pun merangkulnya dan begitulah seterusnya. Ketika mereka berhubungan layaknya suami istri, Yan merasa memang tak ada yang salah dengan keadaan mereka. Ia merasa puas, dan ia yakin istrinya pun puas.
Tetapi ia tahu ada masalah yang tersembunyi di balik kemesraan hubungan mereka. Dan baru saja masalah itu terbuka: istrinya tidak mencintainya. Istrinya menerima cintanya dan mau menikah dengannya karena ia merasa itu kehendak Tuhan.
Yan jadi sedih. Sebelum ia memahami permasalahan antara ia dan istrinya, ia didera penasaran dan kepenasaranan itu mengurangi kebahagiaannya. Namun setelah ia memahaminya, kebahagiaannya ternyata tidak kembali seketika. Malah hatinya kemudian diganduli bermacam perasaan yang tidak jelas. Sedih, gundah, cemburu, resah.
Meskipun demikian, di depan istrinya ia mencoba tetap bersikap wajar seolah tak terjadi suatu apa. Hanya saja ia jadi sering pergi menyendiri untuk mengadukan persoalannya kepada Tuhan.
“Ya Allah, aku cemburu pada-Mu. Ternyata aku belum juga mendapatkan cintanya. Ia hanya mencintai-Mu.”
Setelah berkali-kali mengadu, akhirnya doa Yan mendapat jawaban. Pada suatu hari Tuhan menjumpainya dan bertanya, “Kau cemburu pada-Ku?”
Yan tergagap. “Apa tidak boleh?”
“Hahaha…, tahukah engkau, hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku pun cemburu kepadanya? Aku mencintaimu, tetapi hatimu lebih berat kepadanya.”
Yan melengak.
“Engkau pun cemburu?”
“Kenapa? Apa tidak boleh Tuhan cemburu?”
“Soalnya sifat itu tidak ada di asmaul husna.”
“Hahaha…, orang yang merumuskan sifat-sifat itu terlalu sungkan pada-Ku.”
“Oh, begitu rupanya. Kalau begitu, maafkan aku, ya Allah. Hamba-Mu ini memang salah, telah banyak mengabaikan-Mu. Tapi hamba sungguh sangat mengharapkan cintanya.”
“Hahaha…, baiklah. Aku akan membuat dia mencintaimu. Tapi apa balasanmu untuk-Ku?”
“Terima kasih, Tuhanku. Jika Engkau dapat membuat istriku mencintaiku, aku akan mencintai-Mu tujuh kali lipat dari cintaku saat ini.”
”Wah, tujuh kali lipat itu, bagaimana kau mengukurnya?”
”Tentu saja Engkau, Tuhan, yang mengukurnya. Jika nanti realisasinya masih kurang, boleh Kau tagih lagi. Aku akan percaya penuh pada hitungan-Mu.”
Tuhan tertawa. ”Sebenarnya, dengan atau tanpa cintamu, Aku takkan mendapatkan atau kehilangan apa pun. Tapi baiklah, Kuanggap perjanjian ini adil,” ucap-Nya.
Yan pun tertawa. Tuhan benar-benar baik, pikirnya.
Sementara itu Desi Susan kembali dibuat terkejut sekaligus gembira ketika didengarnya Tuhan berkata kepadanya. “Wahai Desi Susan, Aku cemburu. Mengapa engkau tidak menghibur-Ku?”
Tapi suara-Nya yang terdengar memelas membuatnya terheran-heran.
“Engkau cemburu?”
“Ya. Bahkan cemburu-Ku begitu besarnya.”
Tentu saja. Tuhan Mahabesar, cemburu-Nya pun pasti Mahabesar.
“Tuhanku, Engkau Mahaindah dan Mahagagah. Bagaimana mungkin Engkau cemburu, dan bagaimana aku menghibur-Mu?”
“Hamba-Ku yang bernama Yan, dia cemburu. Hiburlah dia, maka cemburu-Ku pun akan reda.”
Mendengar ini, seketika sadarlah Desi Susan. Ia paham apa yang membuat suaminya tidak bahagia, dan mungkin pula apa yang membuat dirinya sendiri tidak bahagia. Sejak percakapan yang terus-terang itu, Desi Susan merasa bahwa suaminya berubah, yakni menjadi lebih rajin beribadah. Jika sembahyang, tampak ia sering berlama-lama dalam rukuk dan sujudnya, seakan-akan ada yang ia pinta secara khusus dari Tuhan. Suaminya jadi lebih rajin puasa, makin sering ke masjid, kian rutin bersedekah kepada orang-orang miskin, dan lebih ringan tangan menolong orang yang kesusahan.
Desi Susan tidak begitu mengerti hakikat perubahan suaminya itu. Tetapi sepanjang itu baik, ia bersyukur saja. Ia sendiri, meskipun masih merindukan Tuhan, mulai dapat menerima keadaannya sebagai istri Yan. Toh selama ini Yan tidak pernah melalaikan kewajibannya sebagai suami, baik lahir maupun batin. Yang kurang dari perubahan itu hanyalah bahwa suaminya menjadi lebih pendiam dan sering menyendiri.
Namun kedatangan Tuhan telah memberinya pengertian mendalam akan apa yang sesungguhnya terjadi. Maka lekaslah ia mendapati suaminya. Ia meraih tangan suaminya dan mencium tangan itu.
“Wahai, suamiku, maafkan istrimu ini. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu sebagai perempuan mencintai lelaki, sebagai istri mencintai suami. Aku mencintaimu karena cintamu yang begitu besar dan tulus kepadaku, karena engkau memang pantas dan seharusnya kucintai.”
Yan terperangah. Direngkuhnya kepala Desi Susan dan dibenamkannya ke dadanya.
“Oh, istriku, terima kasih. Akhirnya kudapatkan cintamu.”
Kebahagiaan pun memancar dari wajah Yan. Desi Susan terpesona. Ia seolah-olah melihat Tuhan pada diri suaminya. Maka demikianlah, ketika keduanya melakukan persetubuhan, Desi Susan merasa dirinya tengah bersetubuh dengan Tuhan. Suaminya bagaikan telah berubah menjadi sosok Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuat, Yang Mahajantan.
Mengertilah Desi Susan akan satu hal: mencintai Tuhan hanya mungkin jika ia mencintai manusia. Maka bahagialah ia. Ia telah menemukan apa yang dicarinya. [Asso]