Di kampung kami, pernah hidup seorang perempuan tua. Kami memanggilnya Nenek Rum. Dia tinggal sendiri, terpencil di sebuah gubuk kecil di ujung kampung. Sehari-hari ia bekerja sebagai penjual bunga di makam keramat dekat kampung kami. Tiap pagi, dia berkeliling menjajakan nasi uduk dari rumah ke rumah. Rasa nasi uduknya lumayan lezat. Harganya pun sangat murah, bisa sampai setengah dari harga nasi uduk di tempat lain. Tampaknya Nenek Rum hanya mengutip sekadar yang dibutuhkannya untuk mempertahankan hidup.
Meski sudah tua, atau mungkin justru karena sudah tua, Nenek Rum sangat rajin beribadah. Tiap hari, setelah jualannya habis, dalam perjalanan pulang Nenek Rum selalu singgah di masjid untuk melaksanakan shalat dhuha. Dia pun tidak pernah ketinggalan ikut pengajian tiap hari Jumat pagi. Pengajian itu diasuh oleh Kiyai Sahro, seorang ulama yang cukup dihormati di daerah kami. Kiyai Sahro mengasuh sebuah pondok pesantren kecil yang letaknya agak terpencil di luar kampung.
Suatu ketika di pengajian Jumat pagi, Nenek Rum mendengar Kiyai Sahro bercerita tentang sebuah kisah pada zaman Nabi Muhammad Saw. Diceritakan bahwa suatu hari seorang sahabat dari golongan Anshar datang kepada Nabi dengan wajah muram dan sedih. Saking sedihnya ia sampai tak sanggup berkata apa-apa begitu sampai di hadapan Nabi, padahal kedatangannya kepada Nabi adalah untuk mengatakan sesuatu.
Akhirnya Nabi mendahului bertanya, “Mengapa engkau terlihat muram dan sedih?”
Sahabat itu menjawab dengan terbata-bata.
“Ya Rasulullah, kalau hari ini setiap pagi dan petang kami bisa datang kepadamu, kalau hari ini kami bisa duduk berdekatan denganmu, kalau hari ini kami bisa memandang wajahmu, wahai Rasulullah, sementara esok engkau akan dikumpulkan oleh Allah bersama golongan para nabi dan rasul, tentu nanti kami tidak akan bisa berjumpa denganmu selama-lamanya.”
Baginda Nabi tercenung. Lama beliau diam, hingga sahabat Anshar itu yakin bahwa kata-katanya tidak keliru, yakni bahwa di akhirat nanti dia memang tidak akan berjumpa dengan Sang Nabi tercinta. Memikir ke situ, wajahnya menjadi tambah muram.
Saat itulah malaikat Jibril datang kepada Nabi Muhammad, menyampaikan firman Allah yang artinya, “Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (An-Nisâ ayat 69)
Nabi Muhammad segera menyampaikan ayat tersebut kepada sahabat Anshar, seraya berkata, “Jangan khawatir, sahabatku. Di akhirat kelak, engkau akan dikumpulkan oleh Allah bersama orang-orang yang engkau cintai. Jika hari ini engkau mencintai aku, maka engkau akan dipertemukan denganku. Hari ini engkau mencintai para sahabat, engkau pun akan dikumpulkan dengan mereka. Jika hari ini engkau mencintai orang-orang shaleh, insya Allah engkau pun akan dikumpulkan bersama mereka.”
Betapa bahagianya orang Anshar yang tadi sedih karena membayangkan tidak dapat berjumpa lagi di akhirat dengan sang kekasih dan junjungan, Nabi Muhammad Saw., seperti hari-hari di dunia.
Lalu Kiyai Sahro menyampaikan sebuah hadis, bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Barang siapa mengucapkan shalawat kepadaku satu kali, maka Allah akan membalas mengucapkan shalawat kepadanya sepuluh kali.”
Nenek Rum sangat terpengaruh oleh kisah tersebut. Sejak itu ia mengembangkan satu kebiasaan baru. Seperti telah diceritakan, Nenek Rum tiap hari melakukan shalat dhuha di masjid. Masjid itu terletak di tengah kampung, di pinggir jalan. Di depan masjid berdiri sebatang pohon jambu air. Biasanya, sehabis shalat dhuha, berzikir dan berdoa secukupnya, Nenek Rum langsung pulang.
Tapi Sabtu pagi itu penglihatannya seolah menjadi muda lagi. Tatkala keluar dari pintu masjid, matanya terbelalak melihat betapa banyaknya daun jambu yang berserak di halaman masjid. Lalu bagai digerakkan oleh ilham, turunlah Nenek Rum ke halaman, memunguti daun-daun jambu yang berguguran itu satu demi satu. Setelah daun-daun itu habis, Nenek Rum berdiri, mengambil bakul nasi uduknya, lalu dengan wajah bersinar oleh kebahagiaan, dia melangkahkan kaki menuju gubuknya di ujung kampung.
Besoknya, Nenek Rum melakukan hal yang sama. Setelah jualannya habis, dia pulang. Saat melewati masjid, dia mampir. Setelah mengambil wudhu, dia shalat. Sehabis salam, dia berzikir dan berdoa. Kemudian dia membuka pintu, menyapukan matanya ke seantero pelataran, lalu turun tangga, berjongkok, merangkak ke halaman perlahan-lahan seraya memunguti daun-daun jambu satu per satu. Keringat mengalir dari wajahnya, namun tetes-tetes keringat itu berkilau-kilau bagai embun di daun jambu.
Begitulah setiap hari yang dilakukan Nenek Rum. Dia melakukannya dengan gembira. Orang yang sempat menyaksikan Nenek Rum mengatakan, bahwa wajah Nenek Rum pada saat memunguti daun-daun jambu itu begitu riang sebagaimana riangnya anak kecil saat menang main gundu.
Awalnya tiada seorang pun yang menaruh perhatian pada perbuatan si nenek. Tapi lama-kelamaan orang-orang merasa tersentuh. Ketika mereka membicarakan hal itu, para pengurus masjid bagai ditampar pipinya. “Mengapa kita kalah oleh seorang nenek tua?” kata mereka. “Harusnya kita malu. Mengapa bukan kita yang membersihkan rumah Allah?”
Maka diaturlah jadwal piket untuk membersihkan halaman masjid tiap pagi, agar saat Nenek Rum datang, pohon jambu itu belum lagi menggugurkan daunnya.
Pagi itu seperti biasa Nenek Rum berjalan pulang membawa bakul kosongnya. Sesampainya di masjid, tanpa lirik sana-sini dia lantas masuk, menaruh bakulnya di balik pintu, lalu mengambil wudhu. Setelah itu dia shalat, berzikir, dan berdoa. Lalu dia membuka pintu. Tatkala dia mengedarkan pandang ke halaman, tiba-tiba matanya terbelalak. Terbelalaknya mata itu persis seperti saat pertama kali mata itu melihat betapa banyaknya daun berserakan di halaman masjid. Hanya saja mata itu kini terbelalak melihat betapa di halaman yang sama tak sehelai pun daun yang tampak.
Tiba-tiba matanya menjadi sayu. Pandangannya yang biasanya terang seolah rabun kembali. Lama dia mematung di pintu, bagai tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Diusapnya kedua matanya yang agak membasah, kemudian berlalu dari situ.
Ketika esok harinya dia sampai di masjid, kembali matanya yang tua mendapati tak ada sehelai daun pun di bawah pohon jambu. Tapi dia tetap melakukan shalat dhuha. Setelah itu dia pergi ke rumah seorang pengurus masjid yang rumahnya tidak seberapa jauh dari masjid. Ketika Nenek Rum datang, kebetulan pengurus masjid itu belum berangkat ke sawah.
Setelah saling mengucap salam, Nenek Rum bertanya, “Kenapa halaman masjid itu dibersihkan sebelum saya datang?”
Pengurus masjid tampaknya sudah memperkirakan pertanyaan Nenek Rum akan seperti itu. Bahkan ia pun tampaknya sudah menduga bahwa Nenek Rum akan datang ke rumahnya. Maka ia menjawab, dengan kalimat yang tentunya juga sudah dipersiapkan.
“Maafkan kami, Nek. Kenapa halaman masjid itu kami bersihkan, sesungguhnya karena kami malu kepada Nenek. Kami malu, kenapa kami yang telah diamanahi untuk mengurus masjid malah membiarkan halamannya kotor oleh daun-daun berguguran. Kami juga terenyuh dan kasihan melihat Nenek yang sudah tua. Biarlah Nenek ibadah saja, kami yang muda-muda ini yang bekerja. Maka kami pun bersepakat untuk membersihkan masjid tiap pagi sebelum Nenek datang.”
“Kalau kalian merasa kasihan kepada saya, berilah saya kesempatan untuk ikut membersihkan rumah Allah. Hanya itu yang dapat saya lakukan dalam sisa umur saya.”
“Kami mengerti. Kalau Nenek ingin beribadah sebanyak-banyaknya kepada Allah, pintu masjid tidak pernah dikunci.”
“Saya hanya ingin memunguti daun-daun yang berserakan itu.”
“Tidak mungkin, Nek.”
“Kenapa?”
“Selain kami malu kepada Nenek, kami juga malu kepada orang-orang. Mereka membicarakan kami dan mempertanyakan apa saja kerja kami di masjid. Begitulah, Nek, saya harap Nenek maklum.”
Nenek Rum mendesah. Ia tak berkata apa-apa lagi. Ia pun pulang ke gubuknya dengan wajah kecewa.
Pengurus masjid menangkap gurat kekecewaan pada wajah si nenek. Maka siang harinya, bakda shalat zuhur, ia dan beberapa pengurus masjid datang ke pondok Kiyai Sahro. Mereka mengadukan persoalan Nenek Rum, dan meminta bantuan Kiyai Sahro untuk memberikan penjelasan kepada Nenek Rum.
Mendengar pengaduan mereka, Kiyai Sahro tertawa. “Memang kenapa kalau Nenek Rum tetap dibolehkan membersihkan halaman masjid?”
“Waduh, Kiyai, yang lebih menjadi persoalan bagi kami sebetulnya omongan orang-orang. Mereka ngomong seenaknya saja tentang kami, seakan-akan kami tidak pernah memperhatikan masjid. Padahal mereka masuk masjid saja paling-paling cuma seminggu sekali. Kiyai tahu sendiri, omongan orang-orang itu bagaimana rasanya.”
“Ohh, jadi sebetulnya bukan karena kalian kasihan kepada Nenek Rum?”
“Bukan begitu, Kiyai. Kami kasihan kepada Nenek Rum, dan kami juga tidak tahan omongan orang-orang.”
“Ya, ya. Tapi yang lebih kalian pikirkan adalah omongan orang-orang.”
Pengurus masjid terdiam. Diam berarti ya. Meskipun dalil ini tidak selalu tepat, Kiyai Sahro tahu kali ini dalil tersebut tepat sekali.
“Tapi baiklah,” kata Kiyai Sahro. “Saya akan penuhi permintaan kalian untuk membujuk Nenek Rum.”
“Terima kasih, Kiyai. Kami berjanji akan lebih memperhatikan kebersihan dan perawatan masjid.”
Sore harinya, dengan ditemani seorang santri, Kiyai Sahro datang ke gubuk Nenek Rum. Ia sudah tahu kasus Nenek Rum dan ia pun ingin tahu rahasia apa gerangan yang melatari perbuatan Nenek Rum sampai harus membersihkan halaman masjid dengan tangannya langsung.
Saat itu Nenek Rum tengah duduk berzikir sehabis sembahyang asar. Ia terkejut mendengar salam Kiyai Sahro. Buru-buru ia mempersilakan Kiyai Sahro dan santrinya duduk di amben depan. Gubuk Nenek Rum itu hanya memiliki satu ruangan sehingga tak mungkin ia menerima tamunya di dalam.
Setelah menyuguhkan dua gelas air minum, Nenek Rum duduk di ujung amben. Wajahnya tertunduk saja. Maklum, ia sangat jarang kedatangan tamu, apalagi orang seterhormat Kiyai Sahro. Tamu paling terhormat yang mampir ke gubuknya hanyalah pak RT, yang kadang-kadang datang untuk membagikan raskin.
“Bagaimana kabar Nenek?” tanya Kiyai Sahro.
“Alhamdulillah, baik.”
“Maaf kedatangan saya mengganggu Nenek yang sedang beribadah. Begini, Nek. Saya mendapat amanah dari pengurus masjid untuk bicara kepada Nenek. Sebenarnya mereka ingin bicara langsung dengan Nenek, tapi katanya mereka takut Nenek marah kepada mereka.”
Kiyai Sahro berhenti sejenak untuk melihat reaksi Nenek Rum. Tapi Nenek Rum masih tertunduk.
“Mereka khawatir Nenek tersinggung karena tidak dibolehkan lagi membersihkan halaman masjid,” lanjut Kiyai Sahro. “Jadinya saya yang diminta untuk menjelaskan kepada Nenek.”
Nenek Rum tampak tersipu-sipu.
“Maaf, Kiyai, saya tidak tahu kalau perbuatan saya malah merepotkan Kiyai.”
“Tidak apa-apa. Saya senang bisa berkunjung ke tempat Nenek. Malah seharusnya sejak dulu saya mengunjungi Nenek, bukan saat ada keperluan saja.”
“Maaf, Kiyai, yang bisa saya suguhkan hanya air putih.”
“Air putih itu berkah,” kata Kiyai Sahro sambil tersenyum. “Begini, Nek. Para pengurus masjid ingin tahu apa sebenarnya yang menggerakkan Nenek untuk membersihkan halaman masjid. Bahkan Nenek membersihkan dengan tangan langsung, padahal di sana ada sapu lidi. Barangkali Nenek bisa mengatakannya kepada saya?”
Nenek Rum tak menjawab. “Silakan diminum airnya, Kiyai.” Malah itu yang ia katakan.
“Terima kasih, Nek.” Kiyai Sahro meneguk gelasnya, diikuti oleh santrinya. Kiyai Sahro melanjutkan.
“Mereka juga minta saya menyampaikan permohonan agar Nenek tidak marah kepada mereka. Maksud mereka sebenarnya baik, tak terbetik sama sekali niat untuk menyinggung perasaan Nenek. Malah mereka sangat berterima kasih kepada Nenek karena merasa telah diingatkan untuk lebih memperhatikan rumah Allah.”
Nenek Rum diam. Ia tertunduk seraya mempermainkan ujung kainnya.
“Kalau bisa, saya ingin sekali mendapat jawaban dari Nenek, agar nanti saya sampaikan bahwa Nenek telah memaafkan mereka.”
“Mereka tidak salah,” kata Nenek Rum akhirnya.
“Kalaupun tidak salah, mereka tetap mengharapkan maaf dari Nenek.”
“Saya telah memaafkan mereka.”
“Alhamdulillah. Terima kasih, Nek. Tapi mereka juga ingin tahu, kenapa Nenek merepotkan diri membersihkan halaman masjid, sampai-sampai Nenek terlihat kecewa ketika pekerjaan tersebut diambil alih oleh mereka.”
Kembali Nenek Rum diam. Kiyai Sahro mengulang pertanyaannya. Nenek Rum tetap diam. Kiyai Sahro tidak putus asa. Berulang-ulang ia terus menanyakan hal yang sama dengan bahasa yang berbeda dan kalimat yang berlainan.
Akhirnya Nenek Rum bicara. “Saya tidak akan bicara, kecuali…”
Kata-kata Nenek Rum tak bisa dilanjut karena tiba-tiba ia menangis terisak-isak. Kiyai Sahro jadi tak enak hatinya. Ia menyesal telah memaksa orang tua itu untuk bicara. Ia tahu, sebenarnya yang lebih menginginkan Nenek Rum untuk menceritakan alasan perbuatannya adalah ia sendiri. Ia berpendapat, jika seseorang melakukan perbuatan yang aneh dengan sengaja, pasti di baliknya tersimpan suatu rahasia yang tidak sederhana. Dan jika perbuatan aneh itu merupakan perbuatan baik, rahasia di baliknya pun pastilah sangat luar biasa.
“Maafkan saya, Nek. Saya tidak akan memaksa lagi.”
Nenek Rum tersenyum. Air matanya masih mengucur.
“Saya akan bicara. Tapi saya ingin Kiyai berjanji satu hal.”
“Nenek tidak keberatan? Tidak merasa terpaksa?”
“Sekarang saya ingin mengatakannya. Saya takut umur saya tak sempat lagi. Tapi saya harap Kiyai mau berjanji.”
“Terima kasih, Nek. Apa yang harus saya janjikan?”
“Kiyai berjanji bahwa apa yang saya katakan ini tidak akan diceritakan kepada orang lain selagi saya masih hidup di dunia.”
“Saya berjanji. Insya Allah saya jaga amanat Nenek,” kata Kiyai Sahro.
Nenek Rum kembali diam. Setelah ditunggu agak lama, ia tak juga bicara. Saat menoleh ke samping, Kiyai Sahro sadar bahwa rupanya di situ masih ada santrinya.
“Tolong kamu belikan rokok dulu,” kata Kiyai Sahro seraya menyerahkan selembar uang. Dengan sigap sang murid melesat ke warung terdekat yang ternyata jaraknya cukup jauh.
Akhirnya Nenek Rum memulai ceritanya. Suaranya terpatah-patah, diseling isak dan air mata yang mengalir perlahan-lahan.
“Kiyai, saya ini orang bodoh. Waktu kecil saya malas belajar, makanya saya tidak banyak tahu tentang agama. Saya pun orang miskin, amal saya sedikit, apalagi sedekah saya tak bisa. Tapi saya ingat bahwa Kiyai sendiri pernah berkata, bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda, ‘Barang siapa yang membaca shalawat kepadaku satu kali, maka Allah akan membalas mengucapkan shalawat kepadanya sepuluh kali.’ Ketahuilah, Kiyai, sambil memunguti daun-daun itu, sesungguhnya saya tak henti-hentinya mengucapkan shalawat kepada Kanjeng Nabi Muhammad. Untuk satu helai daun yang saya pungut, satu kali pula mulut saya mengucapkan shalawat. Saya tidak pernah menghitung berapa daun yang telah saya sentuh. Saya hanya punya harapan satu-satunya, mudah-mudahan daun-daun itulah yang akan menjadi saksi di hadapan Allah dan Rasulullah kelak di hari kiamat, agar saya mendapatkan syafaat dari Kanjeng Nabi Muhammad.”
Mendengar penuturan Nenek Rum, Kiyai Sahro terpana. Tak disangka, rahasia yang susah payah dikorek-koreknya itu ternyata sederhana saja. Tapi Kiyai Sahro sama sekali tak kecewa. Bukan hanya tidak kecewa, ia pun sangat bahagia. Lalu air matanya pun menitik tanpa terasa.
Hari-hari berikutnya, Nenek Rum tetap berjualan nasi uduk seperti biasa. Sampai beberapa bulan kemudian, kami masih bisa menikmati lezatnya nasi uduk buatan Nenek Rum, masih bisa melihat sosoknya yang rapuh yang kalau berjalan seolah hendak rubuh, dan masih bisa mendengar suara teriakannya yang hampir tak terdengar. Hingga suatu hari, yaitu beberapa hari yang lalu, akhirnya Nenek Rum pergi meninggalkan dunia ini untuk menghadap ilahi rabbi.
“Demikianlah, sekarang Nenek Rum sudah tidak ada lagi di permukaan bumi,” ujar Kiyai Sahro yang kini tengah menyampaikan khotbah Jumat di masjid kampung kami. “Maka saya boleh menceritakan kepada jamaah sekalian, penggalan terakhir dari kisah hidupnya yang penuh pengabdian dan ketulusan, agar menjadi teladan bagi kita semua. Mungkin beliau bukan seorang yang dianugerahi ilmu dan pengetahuan yang tinggi. Tetapi Allah telah menggerakkan hatinya dengan taufik dan hidayah-Nya, sehingga beliau memiliki rasa cinta dan hormat yang begitu tinggi kepada kekasih Allah, Nabi Muhammad Saw., serta harapan yang begitu besar untuk mendapatkan syafaatnya di hari kiamat. Beliau pun kita tahu bukanlah seorang yang dikaruniai harta benda berlimpah. Namun tahukah kita, jamaah sekalian, bahwa untuk tiap bungkus nasi uduk yang kita beli dari Nenek Rum, sesungguhnya kita telah menerima infak dari beliau sejumlah selisih uang yang kita perlukan untuk membeli nasi uduk di tempat lain? Bârakallâhu…”
Kiyai Sahro menutup khotbah pertama, lalu duduk di belakang mimbar. (Terinspirasi dari khutbah Jumat oleh Ust Mizan Sya’roni). #
Ciputat, Juli 2007