chin yung

Mungkin Anda masih ingat dengan serial televisi Kembalinya Pendekar Pemanah Rajawali yang dua versinya pernah ditayangkan di layar Indosiar. Di tanah air kisah cinta Yo Ko – Siaw Lionglie yang diperankan Andy Lau dan Idy Chan sempat membuat jalan-jalan raya hingga gang-gang sempit lengang setiap serial televisi produksi TVB-HK itu diputar.

Walau tidak sebeken versi tahun ’80, versi tahun ’90 serial berjudul sama yang diperankan oleh Louis Koo dan Carmen Lee juga cukup diminati orang. Belakangan kisah itu kembali mendunia lewat bentuk komik karya komikus asal Singapura Wee Tian Beng (Huang Chanwu).

Kisah Pemanah Burung Rajawali (Sintiaw Enghiong/Xindiao Yingxiong Zhuan) dan Kembalinya Pendekar Pemanah Rajawali (Sintiaw Hiaplu/Shendiao Xialü) hanya dua kisah dari 15 kisah lain yang lahir dari goresan pena Chin Yung yang lantas begitu populer di seluruh dunia.

Kisah lain yang mungkin telah Anda kenal adalah kisah pendekar Cina yang kabarnya seorang muslim, Tan Keelok (Chen Chialuo) dalam Pedang dan Kitab Suci (Book and Sword), kisah Boekie dalam Pedang Pembunuh Naga (To Liong To), serta Demi-gods and Semi-devils (Tianliong Patpoh/Tian Long Ba Bu). Ketiga kisah itu sudah pernah dibuat serial televisi yang pemutarannya di Indonesia cukup mendapat sambutan.

Bukan Jagoan Kungfu

Dalam pertemuan dengan Chin Yung sekitar satu tahun silam di kantornya di bilangan Java Road, Hongkong, general manager Mingho Copyright Agency (HK) Limited, Peggy N.S. Lee juga mengutarakan fakta tentang kepopuleran kisah-kisah buah pena Chin Yung di mancanegara. “Entah sudah berapa ratus kali cerita-cerita itu diterbit-ulangkan,” tuturnya sambil mengajak kami ke ruang kantor Chin Yung yang menghadap ke sebuah teluk.

Di kantornya yang tampak mewah itu, kami bahkan bisa menemukan sejumlah novel karya Chin Yung yang diterbitkan di mancanegara, termasuk versi terjemahan ke dalam bahasa Prancis, Thai, Vietnam, dan Korea. Di RRC, novel-novel Chin Yung bahkan diterbitkan oleh beberapa penerbit, belum termasuk edisi bajakannya. Uniknya, menurut Peggy Lee, walau banyak menghasilkan novel laga petualangan, Chin Yung sama sekali tidak menguasai ilmu kungfu. “Justru setelah membaca novel-novelnya banyak ahli bela diri yang menyatakan kekagumannya … mereka sendiri tidak bisa menciptakan jurus-jurus yang diakui sangat dahsyat itu.”

Chin Yung memang bukan ahli kungfu, namun jurus-jurus maut macam “Jurus Kodok” (Ha Mo Kang) milik tokoh rekaan Auwyang Hong (Ouyang Feng) atau “Jurus Delapan Belas Telapak Naga” (Hanliong Sipat Chiang) andalan tokoh rekaan Kwee Ceng (Guo Qing) merupakan dua dari sekian banyak jurus kungfu rekaannya, yang menurut keterangan beberapa orang ahli bela diri memang memiliki akar yang kuat dari ilmu kungfu itu sendiri.

Keistimewaan lain dari kisah laga Chin Yung bersumber dari gaya penceritaannya mengenai ilmu kungfu. Kungfu di tangan Chin Yung tidak sekadar dilukiskan sebagai ilmu yang sakti mandraguna dan tidak terkalahkan. Dalam trilogi Sintiaw Enghiong, Sintiaw Hiaplu, dan To Liong To (selanjutnya disebut trilogi SSY) seperti dilambangkan oleh Kiuim Simkeng (Kitab Sembilan Bulan) dan Kiuyang Simkeng (Kitab Sembilan Matahari), ilmu kungfu dilambangkan sebagai ilmu yang memadukan kekuatan dan kelemahan, gelap dan terang, rembulan dan matahari.

Hal itu selaras dengan konsep yin – yang yang menjabarkan di dalam kegelapan ada setitik terang, di dalam terang ada setitik kegelapan, namun manakala kedua unsur ini bersatu, maka yang akan lahir adalah suatu ilmu yang tidak akan terkalahkan.

Lebih Romantis Ketimbang Shakespeare

Kepopuleran novel-novel Chin Yung itu membuatnya menjadi novel yang paling sering dibajak, selain novel-novel roman karya Chiung Yao. Di Indonesia saja, misalnya, beredar beberapa versi To Liong To yang dicetak dan diperjualbelikan tanpa izin dari sang pengarang.

Dari sekian banyak terbitan hanya versi novel Sintiaw Enghiong terjemahan OKT, terbitan PT Gramedia Pustaka Utama dan versi komik Sintiaw Hiaplu, terbitan PT Elex Media Komputindo, yang langsung mendapat izin dari sang penulis untuk diterbitkan di Indonesia. Sisanya merupakan hasil saduran tanpa izin, yang beberapa di antaranya bahkan hanya mencantumkan nama penyadurnya tanpa sama sekali menyebutkan nama Chin Yung sebagai penulis orisinalnya.

Unsur lain yang membuat kelima belas novelnya digandrungi orang adalah keromantisan. Jika sebagian pembaca pria tertarik dengan kehebatan aneka jurus kungfu rekaan Chin Yung, pembaca (juga pemirsa) wanita umumnya terpikat dengan jalinan kisah cinta para tokoh utama yang terasa begitu menyentuh.

Kisah cinta Tan Keelok dan Putri Hianghiang mungkin masih terkenang dalam ingatan sebagian pemirsa TPI yang pernah menyaksikan serial Pedang dan Kitab Suci. Perjuangan Oey Yong dalam memperoleh restu ayahnya untuk menjalin hubungan dengan Kwee Ceng yang pintar-pintar bodoh juga masih belum hilang dari ingatan.

Namun kisah yang paling mengharukan adalah kisah cinta Yo Ko dan Bibi Lung. Perpisahan dengan Bibi Lung membuat rambut di kening Yo Ko memutih seketika. Keduanya harus berpisah selama 16 tahun sebelum dapat bersatu kembali. Adegan Yo Ko mengejar matahari terbenam agar janji bertemu setelah berpisah 16 tahun dapat terwujud dalam serial Sintiaw Hiaplu produksi tahun ’80-an hingga kini masih disebut sebagai adegan paling romantis di televisi. Tak heran bila pernah ada sekelompok orang yang menyebut roman Chin Yung sebagai kisah yang jauh lebih romantis ketimbang kisah-kisah karya Shakespeare.

Mendobrak Tradisi

Barangkali tidak banyak yang tahu kalau kisah cinta Yo Ko dan Siaw Liongli dalam Sintiaw Hiaplu merupakan karya yang lahir dari pena Chin Yung lantaran dia “beradu jago” dengan penulis kisah laga petualangan lain, Liang Yisheng. Liang menulis kisah percintaan yang tidak kalah menyentuh, tentang seorang bernama Kim Saiyu yang harus berpisah puluhan tahun dan mengalami berbagai gejolak sebelum dapat bersatu kembali dengan tunangannya dalam kisah Perjodohan Busur Kemala.

Sedangkan Chin menulis kisah Yo Ko (Yang Guo) yang menjalin cinta dengan gurunya Siaw Lionglie. Hebatnya unsur roman dalam karya Chin Yung tidak sekadar bercerita tentang cinta secara enteng, namun juga menyiratkan kebesaran cinta yang dapat mengatasi berbagai masalah besar. Chin juga kerap mengangkat topik pendobrakan terhadap tradisi, yang diarahkan kepada tradisi yang terlalu kolot, dan bukan dalam pengertian harus menghapuskan seluruh tradisi yang sudah ada.

Tokoh Oey Yong, misalnya, digambarkan sebagai seorang pendekar wanita yang pandai dan cantik. Sang ayah sangat memanjakan dan membebaskannya dalam bertindak. Namun ketika tiba saatnya Oey Yong mencari pasangan hidup Oey Yoksu masih menginginkan putrinya menikah dengan pemuda yang pandai, sehingga dia menolak keberadaan Kwee Ceng yang pintar-pintar bodoh sebagai kekasih anaknya. Oey Yong sendiri misalnya, walau ketika muda begitu “bengal”, dia tetap bersikap patuh pada suami ketika sudah menjadi istri. Lewat kisah-kisah ini pembaca bisa merasakan adanya napas emansipasi, namun masih dalam kerangka budaya dan kodrat seorang wanita.

Pendobrakan lain yang pernah dituliskannya adalah mengenai percintaan antara guru dengan murid yang diwakili oleh Yo Ko dan Siaw Lionglie. Masa klasik Cina menabukan hubungan semacam ini, namun Chin dengan berani mengangkatnya ke permukaan. Dia bahkan berhasil membuat pembaca bersimpati mendukung percintaan terlarang itu dan ikut terhanyut dalam kepedihan hati Yo Ko dan Bibi Lung. Kisah ini bahkan diberi ending yang tidak kalah berani, yakni mengawinkan Yo Ko (si murid) dengan Siaw Liongli (sang guru) yang berusia dua kali lipat dari Yo Ko.

Suka Bikin Kejutan

Meski sering dijuluki novelis laga petualangan romantis, berbagai kisah karya Chin Yung juga banyak memuat unsur kenegaraan. To Liong To yang berjudul asli Yitian Dulong Dao atau Golok Pembunuh Naga, misalnya, sudah cukup menyiratkan filsafat yang dianut Chin mengenai sebuah negara yang ideal. Yitian berarti pedang merupakan simbol rakyat, sedang long adalah penguasa. Bila dirangkaikan menjadi satu, maka judul ini memiliki makna kiasan “Kapan saja sang penguasa tidak bersikap adil dalam memerintah, ‘pedang’ rakyat akan siap ‘membereskannya'”.

Banyak novelnya yang lain juga mengutarakan impian Chin Yung akan negeri Cina yang makmur dan merdeka dari tekanan, di mana rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi. Itu pula agaknya yang mendorong Chin untuk membaktikan sebagian besar waktunya selama beberapa tahun ini dalam usaha-usaha yang memuluskan pengembalian Hongkong kepada pemerintah RRC.

Unsur misteri dan kejutan juga banyak mewarnai karyanya. Kaum wanita dibuat tergelitik akan misteri tempat tidur dari batu giok yang bisa membuat Siaw Lionglie awet muda. Chin juga pernah membuat surprise saat menulis tentang seorang jagoan yang memiliki jantung di sebelah kanan dan oleh karena itu memiliki kekuatan yang luar biasa. Semua ini mengungkapkan betapa banyaknya hal penuh misteri yang tidak kita ketahui di dalam kehidupan ini.

Pria bernama asli Zha Liangyong, yang di kalangan internasional lebih dikenal dengan nama Louis Cha ini, memang punya segudang kegiatan yang sebagian besar didedikasikan untuk masyarakat Cina. Chin mengawali kariernya di bidang kewartawanan di samping menekuni bidang sastra yang menjadi hobinya. Chin Yung yang lahir di Propinsi Chekiang (Zhejiang) ini dikenal masyarakat Cina sebagai seorang wartawan senior, sastrawan, dan tokoh masyarakat yang mashyur.

Chin yung pernah bekerja sebagai wartawan, penerjemah, dan editor pada Surat Kabar Dagong Bao (Shanghai), dan Mingbo (Hongkong). Sejak 1959, Chin yung sendiri yang mengelola edisi bulanan Mingbo dan edisi mingguan Mingbo. Kiprahnya di dunia jurnalistik bahkan merambah hingga ke Singapura dan Malaysia tatkala dia mencoba mengelola Surat Kabar Sinar Baru.

Di Hongkong Chin Yung banyak memegang jabatan termasuk pimpinan umum, dewan pengurus, dan pimpinan dewan pengurus kehormatan Mingbo selama 1959 – 1993. Selama itu pula ia menulis tajuk rencana, menerbitkan Prospek Hongkong dan kumpulan artikel lainnya.

Seorang Akademisi

Kiprahnya di bidang politik pun tidak kalah sibuk. Di kalangan pemerintahan Chin yung, salah satu dari orang terkaya di Hongkong ini, juga memiliki kedudukan terhormat. Dia banyak mengambil peran dalam memuluskan proses pengembalian Hongkong ke RRC yang baru saja berlangsung pada 1 Juli 1997. Selama dekade ’70 – ’80-an Chin menjabat sebagai anggota Dewan Urusan Penduduk Sipil pada kantor pemerintah yang khusus menangani urusan politik Hongkong, serta anggota Dewan Reformasi Hukum Hongkong.

Sejak 1985 ia menduduki jabatan anggota Dewan Yudikatif Dasar Wilayah Administratif Hongkong untuk pemerintah RRC. Dewan ini yang bertanggung jawab atas sistem kelompok politik dan anggota dewan perwakilan rakyat di wilayah administratif Hongkong untuk pemerintah RRC.

Peraih gelar Most Excellent Order of the Officer of the British Empire (OBE) pada 1981 dan Chevalier de la Legion pada 1992 ini juga dikenal orang sebagai seorang akademisi. Chin Yung banyak menulis tentang hukum, sejarah, dan ajaran Buddha. Esai-esainya seperti Kritik Biografi Yuan Chonghuan, Jenghis Khan dan Keluarga atau Penelitian dan Pengajaran banyak mengundang pujian orang.

Chin juga mendirikan Yayasan Dana Beasiswa Chin Yung Liangyung yang membantu mahasiswa berbakat di Universitas Hongkong. Ia juga sering diundang ke banyak negara untuk menjadi pengajar di berbagai universitas terkemuka dan pembicara dalam berbagai seminar.

Tak heran bila sejak 1980, gelar-gelar doktor kehormatan dari Universitas Hongkong dan Universitas British of Columbia, Kanada, dianugerahkan padanya. Jabatan profesor kehormatan di Universitas Hongkong, Universitas British of Columbia, Universitas Peking, Universitas Chekiang, dan beberapa universitas lain juga disandangnya.

Rendah Hati

Berbagai gelar kehormatan dan jabatan yang disandangnya toh tidak membuatnya tinggi hati. Ketika ditemui pada sore hari, 13 September 1996 itu, Chin tampak begitu ramah. Pria yang pernah menjadi sutradara dan penulis naskah di perusahaan film Great Wall pada 1950 – 1960-an itu mempersilahkan kami masuk, seraya memohon maaf karena keterlambatannya menepati janji wawancara. “Maaf, saya harus membuat potret, silakan duduk dulu,” ujarnya seraya meminta salah seorang putranya untuk menyuguhkan teh.

Selesai membereskan urusannya, Chin yang pernah memperoleh penghargaan dari Departemen Kebudayaan RRC untuk penulisan skenario berjudul Kecantikan Tiada Tara ini menuturkan kalau sebelumnya dia telah banyak mendapatkan permohonan izin untuk menerbitkan bukunya ke dalam bahasa Indonesia. “Salah satunya adalah dari seorang sinolog, saya lupa namanya, dia pernah meminta izin dari saya …,” jelasnya sambil mempersilakan saya untuk melihat sebagian besar koleksinya.

Kepopuleran kelima belas novelnya masing-masing Book and Sword, Gratitude and Revenge, The Sword Stained with Royal Blood, The Eagle Shooting Heroes, The Giant Eagle and Its Companion, Flying Fox of the Snowy Mountains, The Young Flying Fox, The Heaven Sword and The Dragon Sabre, A Deadly Secret, The Demi-gods and the Semi-devils, Ode to the Gallantry, The Smiling Proud Wanderer, The Duke of Mount Deer, Twin Sword, White Horse Fly to The West, dan The Sword of Yueh Family memang membuatnya mendapat pujian orang di mancanegara. Walau demikian karya-karyanya baru bisa diterima masuk ke dalam kategori sastra kelas tinggi atau setidaknya dapat disebut sebagai sastra populer dalam beberapa tahun belakangan ini.

Seiring dengan itu ada begitu banyak akademisi dan pemerhati sastra yang menulis tentang karya-karyanya, sekaligus melahirkan istilah Jin Studies atau Jin Yongology. Seorang peneliti dari Amerika bahkan pernah menyatakan novel Chin Yung sebagai buku yang paling sering dipinjam (alias paling kumal sampulnya) dari perpustakaan jurusan Sinologi di berbagai universitas di Amerika Serikat.

Tokoh Keempat

Kekaguman pada Chin Yung tidak sekadar lahir dari kalangan akademisi, penikmat novel, atau pemirsa televisi semata. Bintang- bintang televisi seperti Felix Wong (Huang Rihua/Wong Yatwa) yang setidaknya sudah pernah bermain dalam tiga serial adaptasi novel Chin Yung menyatakan kekagumannya pada penulis yang oleh kritikus sastra di Beijing disebut sebagai tokoh nomor empat “Novelis Kenamaan Cina” setelah Lu Xun, Chen Chongwen, dan Ba Jin ini.

Ketika ditemui di studio TVB-HK, Felix Wong, pemeran Kwee Ceng versi tahun ’80-an ini berujar, “Saya memang tidak suka membaca novel. Saya kenal karya Chin Yung dari naskah skenario yang saya baca, tetapi saya sangat mengagumi dan menyukai kisah-kisahnya.” Felix lebih lanjut mengatakan tidak terlalu sulit memahami peran Kwee Ceng yang masih muda dan kurang pengalaman. “Ketika bermain sebagai Kwee Ceng, saya memang masih muda dan tidak berpengalaman. Jadi, sama sekali tidak sulit kalau soal novel Chin Yung saya kira hampir semua orang Cina pernah membaca dan menyukainya.”

Selain berperan dalam Siatiaw Enghiong, Felix juga pernah berperan dalam The Demi-gods and Semi-devils/Tianliong Patpoh (Tianlong Babu) versi 1980-an, dan The Sword Stained with Royal Blood/Pihsue Chien (Bi Xue Qian). “Chin Yung adalah penulis yang sangat dibanggakan oleh orang Cina. Saya dengar dia itu sangat ramah dan rendah hati walau telah banyak menghasilkan karya bermutu,” ujar bintang yang juga bermain dalam versi tahun 1997 serial The Demi-gods and Semi-devils ini saat mengakhiri pembicaraan.

Chin Yung memang bukan sekadar novelis yang beken dan dipuja orang. Di tengah kesibukan dan kepadatan kerjanya, dia selalu meluangkan waktu untuk berbagi pengalaman. Satu sikap seorang akademisi yang patut diteladani. Dia pun tidak segan memberikan semangat untuk terus maju, seperti yang dikatakan Chin Yung pada saya saat berpotret bersama, “Anda sudah memilih bidang studi yang tepat, jadi harus diteruskan. Cobalah banyak membaca buku sejarah, karena sejarah adalah guru yang terbaik.”

(Pangesti Atmadibrata – Bernardus, dari Hongkong)


Karya-karya Chin Yung alias Jin Yong alias Louis Cha dapat diunduh di SINI.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *