Empat ahli sujud yang tinggal di tepi gurun itu hidup seperti malaikat, bersujud dan hanya bersujud setiap saat. Bertahun-tahun mereka hidup dengan irama tetap, hingga sebuah mimpi yang terulang tiga malam berturut-turut mengubah segalanya dalam sekejap.

– Kawan-kawan, Jibril menyuruh kita melakukan perjalanan! Ya, dan kita akan sampai pada Tuhan. Ayo kita berangkat. Tapi bagaimana kita yakin bahwa itu Jibril, bukan setan atau sebangsanya? Mimpi itu terulang tiga kali, kawan, kepada empat orang, dengan isi yang sama, dan menurutku ini saja sudah cukup menjadi bukti. Kau benar, kawan. Lagi pula, sepengetahuanku setan tak mungkin menyerupai Jibril. Apakah ini berarti kita mendapat wahyu? Berarti kita nabi? Bukan. Kurasa ini yang disebut ilham. Ya, ini pasti ilham. Jadi Tuhan telah memberi jalan kepada kita untuk menemui-Nya. Oh, rupanya inilah petunjuk yang kita nantikan selama ini. Tidak syak lagi, kita harus segera melaksanakannya.

Demikian mereka menyimpulkan mimpi yang aneh itu. Maka keempatnya segera bersiap.

– Kata Jibril, kita tak boleh membawa apa pun, kecuali baju yang melekat di badan. Bagaimana kalau kita lapar sedang makanan tak kita bekal? Aku tidak tahu, tapi kita harus yakin Tuhan takkan membiarkan hamba-hamba yang mencintai-Nya dan merindui-Nya dan hendak menemui-Nya mati hanya karena kelaparan. Iya, toh tiap hari pun kita terbiasa kurang makan. Baik kawan-kawan, mari satukan keyakinan. Kita sujud dahulu agar perjalanan ini dimudahkan oleh-Nya.

Setelah bersujud empat ahli sujud itu pun berangkat.

– Kata Jibril, kita berangkat dari tepi selatan gurun pasir, lalu berjalan ke arah utara tanpa henti. Seberapa jauh perjalanan kita, dan kapan akan sampai? Entahlah. Kata Jibril lagi, kita harus berjalan lurus, tak boleh belok ke kiri ataupun ke kanan. Iyalah, kalau belok berarti bukan utara lagi yang kita tuju, tapi barat atau timur. Biarpun di depan kita ada badai yang sangat besar, kita harus tetap berjalan lurus. Aneh sekali ya, syarat dari Jibril itu. Kenapa kita tak boleh belok? Dan kenapa arah utara yang harus kita tuju? Apakah Tuhan berada di utara dan menanti kita di sana? Hey, tak usah banyak tanya. Imani dan lakukan saja apa adanya.

Dengan berpedoman pada gerak matahari dan bintang-bintang, empat ahli sujud itu berjalan lurus ke utara. Sepanjang perjalanan, mereka selalu saling membantu dan mengingatkan. Empat lelaki itu adalah orang-orang yang telah bertekad menghabiskan seluruh hidupnya hanya untuk mengabdi kepada Tuhan. Mereka saling mengikat janji dan cinta atas nama Tuhan, bertemu dan berpisah karena Tuhan, dan melakukan segalanya demi Tuhan. Tuhan adalah kekasih, sumber cinta dan rindu, tujuan dari segala perbuatan. Oleh karena itu mimpi dari Jibril membuat mereka sangat gembira dan petunjuk itu pun segera dijalankan.

Berhari-hari mereka berjalan, beriringan mengarungi padang pasir yang panas dan ganas dan kejam. Makanan dan air sangat jarang didapatkan sehingga mereka selalu kelaparan dan kehausan. Tetapi keimanan yang tinggi dan harapan yang besar untuk bertemu Tuhan membuat mereka tak pernah kehabisan tenaga untuk berjalan. Dan yang membuat mereka makin percaya adalah jika rasa lapar sudah mencapai puncaknya, tiba-tiba ada saja makanan menggelinding ke arah mereka, entah itu berupa tikus yang terjepit di bebatuan atau ular yang merayap ke kaki minta diinjak. Dan jika haus sudah tak tertahankan terkadang mereka menemukan air tergenang di batu atau lebih aneh lagi tiba-tiba saja ada hujan turun walau sebentar. Selain itu setiap pagi embun selalu turun menggenang di udara, menempel pada pasir atau permukaan batu.

– Sudah berapa lama ya, kita berjalan, kok belum sampai juga. Iya, bahkan padang pasir ini belum kelihatan ujungnya. Jangan mengeluh, kawan, berdoalah mudah-mudahan kita segera tiba di tujuan.

Tengah hari adalah saat yang paling menyiksa, ketika matahari membakar keringat dari pori-pori sampai tubuh-tubuh itu kering bagai kain dijemur berhari-hari. Senja adalah saat yang paling mempesona, ketika matahari yang merah memerahtuakan langit yang biru dan memerahmudakan hamparan pasir yang kuning. Matahari senja pun memancarkan kehangatan setelah sebelumnya membakar mereka dengan bara menganga. Malam adalah saat yang paling menyejukkan, menggelorakan kerinduan untuk segera sampai di akhir perjalanan. Bintang-bintang bersinar gemerlap menghias langit yang berujung kelam.

– Kawan-kawan, apakah kalian tidak merasakan sesuatu yang aneh? Apa itu? Sejak melakukan perjalanan ini, aku tak pernah lagi menjumpai Tuhan dalam sujud-sujudku. Oh ya, sama, aku juga. Sujud-sujudku sepertinya tak berkurang syahdunya, malah semakin bertambah, tapi Tuhan tak pernah datang membelaiku. Mungkin Dia ingin menguji kesabaran kita. Saat ini kita tengah berjalan ke arah-Nya, dan Dia menahan diri untuk tidak menemui kita. Tapi yakinlah bahwa di akhir perjalanan ini kita akan kembali menjumpai-Nya dan melihat wajah-Nya dalam bentuk yang paling indah. Oh, tak tahan lagi aku, ingin segera berjumpa dan memeluk wajah-Nya. Sudahlah, sebaiknya sekarang kita tidur. Besok kita harus lanjutkan perjalanan. Tunggu kawan, lihatlah ke langit, tidakkah kalian saksikan bahwa pada bulan dan bintang-bintang itu tak ada lain selain Tuhan?

Suatu ketika, saat siang terasa sangat panjang, mereka melihat sesuatu di kejauhan.

– Seperti sebuah rumah. Kok ada rumah ya, di tengah gurun seluas ini? Mungkin di dekat sana ada padang rumput. Mungkin di padang rumput itu ada kambing. Kebetulan, aku haus sekali nih, mudah-mudahan di rumah itu ada susu atau air yang bisa diminum. Celaka, arah jalan kita tepat membentur dinding rumah itu. Wah, bagaimana ini, apakah kita harus memutar untuk masuk ke rumah itu? Masuk rumah katamu? Ingat pesan Jibril, kita tidak boleh belok sedikit pun. Kita harus lurus. Maaf, aku hanya bercanda. Lalu apa kita harus robohkan rumah itu baru kita lewat? Mungkin kita panjat saja dinding rumah itu ke atapnya dan turun di sebelah sana.

Dari rumah itu tampak seseorang keluar dan berdiri dengan sikap menyambut. Setelah dekat, dia menawari empat pendatang itu mampir di rumahnya untuk sejenak beristirahat dan sekadar minum susu.

– Susu? Asyik! Kita sudah lama tak minum susu, ya kan? Heh, jangan sekali-kali punya pikiran untuk mampir. Yang harus kita pikirkan sekarang adalah bagaimana cara melewati rumah ini dengan tetap berjalan lurus. Betul, kawan. Sepertinya rumah ini adalah salah satu rintangan yang dikatakan Jibril. Maaf, tapi sepertinya kalian lupa kalau Tuhan itu Maha Pemurah. Kurasa adanya rumah dan penghuninya yang baik hati ini adalah tanda kemurahan Tuhan kepada kita. Bukankah kita kehausan dan kelaparan dan kepanasan?

Tuan rumah mengulangi tawarannya.

– Tuh, ayo masuk. Tak baik menolak kebaikan orang. Jangan. Minta saja dia yang antarkan susu kemari. Tidak sopan, masa nyuruh tuan rumah. Terserahlah, tapi aku masih khawatir sebab pesan Jibril itu begitu jelasnya. Kalau begitu aku dulu ke sana. Jika tidak terjadi apa-apa baru kalian ikut masuk. Atau kuantar makanan untuk kalian.

Satu dari empat pengembara gurun itu keluar dari barisannya dan berjalan masuk mengikuti tuan rumah. Lama ditunggu, ia tak muncul juga. Tiga temannya jadi gelisah dan cemas. Mereka memanggil, tapi tak terdengar sahutan. Suara mereka mungkin telah dirampok oleh angin gurun yang setiap saat berkeliaran di tempat itu. Angin gurun yang tiba-tiba datang dengan pasukannya yang dari jauh hanya tampak berupa semburan pasir dan debu serta deru teriakannya yang gemuruh.

Dan ketika badai gurun mendekat, tiga ahli sujud hanya bisa menjatuhkan diri bersujud menyadari kekuasaan Tuhan yang tak sanggup mereka lawan itu. Lalu angin mengantarkan bunyi seperti derak kayu patah, sesaat sebelum pasir menutupi tubuh mereka. Setelah itu tak ada suara lagi, bahkan detak jantung dan nafas pun tertahan. Hanya kebaikan Tuhanlah yang membuat mereka, beberapa saat kemudian, mampu menggeliat dari timbunan pasir seperti anak penyu menetas dari cangkang telurnya. Ketika mereka menatap ke utara, rumah yang tadinya mereka pandangi dengan cemas itu telah tiada. Tiga ahli sujud hanya bisa saling pandang dalam kemengertian yang muncul secara mengherankan.

– Aku menyesal tak bisa mencegahnya keluar dari garis perjalanan. Kita harus mencarinya, barangkali ia tertimbun di pasir. Bagaimana mungkin? Tak ada yang bisa kita lakukan, kecuali kita juga akan keluar dari garis perjalanan. Kita berempat bersaudara, saling mencinta dan selalu bersama. Hidup mati pun kita harus bersama. Tapi kita tidak tahu di mana dia berada. Bagaimana ya, dia memang telah melanggar pesan Jibril. Tak perlu menyalahkan dia. Yang jelas, sepertinya kita masih takut lapar. Ya, kita masih takut mati karena lapar. Padahal tiap hari kita lapar tapi sampai sekarang kita belum mati juga. Tapi kita memang harus mengambil pelajaran, jangan sampai peristiwa ini terulang.

Mereka meneruskan perjalanan. Gurun pasir itu masih sama seperti sebelumnya. Namun kehilangan satu kawan membuat gurun itu terasa lebih panas dan gersang. Selama berminggu-minggu tak ada yang membuka pembicaraan. Masing-masing tenggelam dalam pikirannya, kedukaan dan impiannya. Hingga satu ketika, saat senja hampir menutup, mereka melihat sesuatu seperti batang pohon melintang di tengah jalan.

– Apa itu ya? Seperti batang kelapa, tapi besar sekali. Bukan, itu… seekor ular. Ular?! Lihat, tubuhnya yang hitam bersisik. Aduh, bagaimana ini, kita tak bisa lewat. Apa kita memutar saja lalu kita sambung di depan sana. Jangan. Ingat pesan Jibril, arah kita tak boleh menyimpang sedikit pun. Lihat, sepertinya ular itu sedang tidur. Kalau kita bisa melompat tanpa menyentuhnya aku yakin dia tidak akan bangun. Bagaimana kalau dia bangun lalu memakan kita? Sudah, jangan berisik.

Mereka mendekati sosok itu. Satu per satu mereka melompat, lalu berjalan menjauh. Di satu tempat mereka berhenti, bersujud memanjatkan syukur. Tetapi saat menengok ke belakang, mereka terkejut melihat ular itu bergerak mendekat. Ular itu mungkin terbangunkan oleh panas manusia yang terasa berbeda dengan panas gurun. Melihat sesuatu yang bisa dimakan hewan melata itu menjadi lapar lalu merayap cepat menuju calon mangsanya.

– Dia akan memakan kita! Apa yang kita lakukan? Lari! Tidak mungkin. Kita pasti terkejar. Setidaknya kita harus berusaha untuk menyelamatkan diri. Pasrah saja! Mari kita sujud. Tidak, kita harus lari.

Dengan ragu-ragu tiga ahli sujud itu berlari. Setelah beberapa lama, mereka menyadari ular itu tak lagi mengejar. Terengah-engah mereka langsung menjatuhkan kepala bersujud kepada Tuhan. Setelah dirasa cukup, ketiganya bangkit dan meneruskan berjalan. Tapi mereka sontak terkejut dan mundur perlahan-lahan. Di depan mereka, moncong ular itu menganga lebar seolah hendak meloloh ketiganya sekali telan.

Benar saja, ular itu memang bermaksud demikian. Dua ahli sujud lekas bersujud, sementara yang satu lagi melompat ke samping menghindari taring ular yang seperti sudah menghunjam di kepalanya. Dua ahli sujud menantikan sang ular dengan pasrah. Tetapi keduanya hanya merasakan sesuatu yang basah menggilasi punggung mereka, setelah itu tak terasa apapun lagi. Mereka mengangkat muka dan menjerit melihat ular itu membelokkan tubuh mengejar kawan mereka yang berlari ke samping.

Dua ahli sujud hanya bisa duduk diam dan termangu. Mereka tak berkata apa-apa hingga sosok besar panjang itu lenyap ditelan keremangan. Entah bagaimana nasib sang kawan. Mereka berpikir, jika ular itu masih lapar pasti ia akan kembali. Tapi ular itu tak kembali hingga malam turun dan beranjak menjadi pagi.

– Rupanya masih ada takut di hati kita. Takut mati. Padahal tanpa ular itu pun kita bisa mati kapan saja di gurun ini.

– Kau benar. Tapi sungguh, aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan kini.

– Perjalanan belum berakhir. Mari kita lanjutkan.

Beberapa minggu kemudian habislah gurun pasir yang luas itu mereka lalui. Di hadapan mereka kini ternganga hutan rimba. Gelap hutan itu, dan makin ke dalam makin rapat. Dengan menguatkan hati keduanya memasuki rimba. Karena harus berjalan lurus, seringkali mereka terpaksa menerabas semak, pohon, dan penghalang lainnya. Jika batang pohon yang menghadang mereka terlalu besar, mereka panjat batang pohon itu dan turun lagi di sisi sebelahnya. Demikianlah hingga akhirnya perjalanan mereka bertemu dengan sebuah jurang yang dalam dan jarak kedua tepinya terlalu lebar untuk dilompati manusia.

– Apa yang kita lakukan sekarang?

– Kita harus mencari cara untuk menyeberangi jurang ini.

– Tampaknya sulit, kawan. Tak ada benda apa pun yang bisa membantu kita ke seberang sana. Lihat ke bawah, tebingnya curam dan licin serta banyak tonjolan batu-batu. Dasarnya tak terlihat sama sekali. Kalau kita melompat sekarang, mungkin kita baru sampai di dasar sana esok hari… dengan tubuh remuk.

– Tapi bagaimana pun kita tak boleh berbelok arah. Ingat nasib kedua kawan kita.

– Kejadian yang menimpa dua kawan kita memang sangat aneh. Hanya iman yang bisa menjelaskan. Tapi nasib mereka sebenarnya kita tak tahu pasti. Mungkin buruk, tapi nasib kita pun tak kalah buruk. Berbulan-bulan kita berjalan, sama sekali tak ada kepastian di mana dan kapan perjalanan ini selesai. Lalu kita melompati jurang ini dan semua jerih payah kita berakhir dengan kematian. Hmmh, mungkin kita telah salah menafsirkan mimpi itu. Dulu kita terlalu gembira sehingga tak mencoba kemungkinan tafsir lain.

– Mimpi kita begitu jelas, rasanya mustahil ditafsirkan beda.

– Kita disuruh berjalan lurus. Coba bayangkan, seandainya bumi ini bulat, perjalanan kita akan berhenti di tempat yang sama, di tepi selatan gurun itu. Kalau bumi ini datar tak berbatas, perjalanan kita tak akan pernah mencapai garis akhir. Dan kalau bumi ini datar berbatas, maka ketika sampai di ujungnya kita akan jatuh ke jurang tak berdasar.

– Mungkin jurang inilah garis akhir itu.

– Ya, mungkin saja. Tapi apakah menurutmu itu bukan bunuh diri.

– Menurut akal, kita memang akan mati jika melompati jurang. Tapi saat ini kita berhadapan dengan petunjuk Tuhan. Aku yakin mimpi kita dulu itu benar karena terjadi tiga malam berturut-turut. Kalau hanya satu kali, boleh dan pantas kita ragu. Seperti Ibrahim, beliau pun menunggu sampai beberapa malam untuk memastikan bahwa perintah menyembelih anaknya itu benar-benar berasal dari Tuhan. Kita telah diperintah untuk berjalan lurus. Meski hal itu tidak kita mengerti dan tampak berbahaya, kita tetap harus menaatinya.

– Aku tak meragukan kebenaran mimpi itu. Tapi barangkali kita salah mengartikan.

– Lalu menurutmu apa arti mimpi itu?

– Aku tak tahu pasti. Mungkin sebenarnya kita disuruh mengelilingi bumi. Artinya, kita tidak boleh hidup menyendiri, terpisah dari sesama manusia, melainkan berbaur di tengah-tengah mereka.

– Lalu apa arti berjalan lurus? Dan apa arti ke arah utara? Dan apa pula arti tidak boleh membawa bekal apa-apa kecuali baju yang melekat di badan?

– Aku terus memikirkan ini sepanjang perjalanan. Berjalan lurus mungkin bisa diartikan selalu hidup di jalan kebenaran. Tak membawa bekal, mungkin artinya adalah melepaskan ketergantungan pada segala sesuatu selain Tuhan. Tapi arti dari berjalan ke arah utara memang belum bisa kumengerti.

– Ya, tidak semua hal memang bisa kita mengerti. Iulah sebabnya aku tetap dengan keputusanku.

– Kau akan melompati jurang ini?

– Ya. Kau sendiri, apa yang akan kau lakukan?

– Sepertinya aku harus memutuskan untuk mengakhiri perjalanan ini. Aku ingin hidup wajar seperti orang-orang lain. Aku yakin masih banyak jalan menuju Tuhan. Aku akan mencari desa terdekat, tinggal di sana, dan beribadah kepada Tuhan dengan cara seperti yang diatur dalam kitab suci. Cepat atau lambat pasti aku sampai kepada Tuhan.

– Kalau begitu perpisahan kita memang tak terelakkan. Aku hormati keputusanmu, tapi aku tetap akan berjalan lurus. Kita telah menempuh separuh perjalanan, bahkan mungkin lebih. Dua kawan kita telah menjadi korban. Lalu apakah kita harus berhenti di sini? Aku yakin ada sesuatu yang lebih tinggi dari nalar. Kalau Tuhan berkehendak, bisa saja dengan sekali lompat aku sampai di tepi sana dengan selamat. Atau aku memang akan mati ditelan jurang ini. Kau mungkin menganggap keputusanku ini bunuh diri, tapi barangkali inilah cara tercepat mencapai Tuhan. Nah, selamat tinggal, kawan. Jika Tuhan menghendaki, kita pasti bertemu kembali.

Setelah berkata demikian, lelaki itu menjatuhkan diri bersujud di tanah lembab. Tak lama kemudian terlirih isak tangisnya menyebut dan memuji Tuhan, mohon ampunan segala kesalahan. Sang kawan yang melihat ini terenyuh dan ia pun turut bersujud.

Beberapa waktu berlalu dalam haru. Hening dalam hutan retak perlahan oleh sedan. Lelaki yang percaya pada mimpi itu bangkit, menatap jurang untuk mengira-ngira kedalamannya, lalu mundur mengambil ancang-ancang. Ia berlari. Lurus. Ke arah jurang. Dan meloncatlah ia tanpa ragu seakan-akan yang dilompatinya itu parit kecil saja. Kawannya terkesima. Di tengah jurang tubuh lelaki itu jatuh karena daya loncatnya habis. Yang tersisa kemudian hanyalah teriakannya panjang menyebut Tuhan.

Ahli sujud yang terakhir menarik napas panjang. Kau telah menempuh konsekuensi itu, kawan. Tapi mimpi itu membuatku harus kehilangan saudara-saudaraku tercinta. Kalau bunuh diri itu cara tercepat mencapai Tuhan, kenapa tidak dari dulu dilakukan.

Ia memutar pandang ke sekeliling. Hanya kelam yang ada, menjaring di antara batang pohon, semak, dan dedaunan. Beberapa saat ia bingung harus melakukan apa, atau melangkah ke jurusan mana. Semuanya tampak sama, kecuali jurang itu.

Ia melangkah maju, melongok ke dalam jurang. Teriakan kawannya masih menggema, berlompatan di bebatuan tebing, seperti memanggil namanya. Tak ada suara lain di hutan itu. Hanya dengus nafasnya. Memburu. Ia mencengkram dadanya. Kedua matanya dipejamkan. Perlahan-lahan ia mundur beberapa langkah, lalu memutar tubuhnya ke samping. Ia melepaskan katup matanya dan bernafas dengan lega.

***

Alkisah – entah siapa yang pertama kali berkisah – ahli sujud ketiga, yaitu yang melompat ke dalam jurang, terbangun dengan perasaan yang sangat nyaman. Dirasa-rasanya tempatnya berbaring, hangat dan menyegarkan. Ia merasa tubuhnya sangat ringan. Dalam hatinya ia bertanya-tanya, inikah surga?

Ketika ia membuka mata, dilihatnya sebentuk wajah yang serta-merta menyedot seluruh perhatiannya. Ia terpana menyaksikan keindahan tak terperikan pada wajah itu. Tak didengarnya sebentuk wajah itu berkata ‘rupanya kamu sudah bangun’. Ia begitu terpukau, dan segala yang di luar itu lenyap dari perhatian.

– Kenapa kamu terus memandangiku seperti itu?

Bibir dari wajah yang indah itu bertanya. Ahli sujud ketiga seolah mendengar suaranya, tapi juga seakan tidak mendengar. Bibir yang indah itu seperti terlihat bergerak, tapi juga bagaikan tidak bergerak.

– Apakah kamu baik-baik saja? Kenapa kamu diam saja? Apa yang aneh dari diriku?

Secara beruntun wajah yang indah itu mengajukan pertanyaan, namun ahli sujud ketiga masih terpukau di tempatnya. Setelah pertanyaan itu diulang untuk kesekian kali, barulah ahli sujud ketiga mendengar dan tersadar. Ia berseru:

– Oh, Tuhanku! Akhirnya aku berjumpa dengan-Mu. Telah kutempuh letih dan lelah sebuah perjalanan, perjalanan yang panjang, tapi kini semuanya sirna begitu menatap indah wajah-Mu.

Tiba-tiba mulut dari wajah yang indah itu tertawa. Dan ahli sujud ketiga semakin terpesona. Lalu mulut itu berkata:

– Kamu salah kira.

– Salah kira?

– Aku bukan Tuhan.

Ahli sujud ketiga terkejut. Tapi ia tak percaya.

– Bukan Tuhan? Kamu bukan Tuhanku?

– Aku hanyalah malaikat penerima tamu di surga ini. Namaku Ridwan.

Raut “kecewa” melintas di wajah ahli sujud ketiga. Tapi ia lantas gembira saat terpikir olehnya: baru malaikat penerima tamu saja sudah seindah ini wajahnya, apalagi wajah Tuhan.

– Apakah aku akan berjumpa Tuhan?

– Tentu saja. Bahkan nanti kamu akan mendapati bahwa keindahan diriku sama sekali tak sebesar zarah dari keindahan Tuhan.

Lalu ahli sujud ketiga diajak oleh malaikat Ridwan berjalan-jalan keliling surga. Betapa indahnya surga. Ia menyaksikan gadis-gadis berpakaian telanjang hilir-mudik dalam taman. Senyum mereka menebar ke segala penjuru, seperti cahaya berpendar di udara. Wajah dan tubuh mereka sangat indah, tetapi keindahan mereka berbeda dengan keindahan malaikat yang mengiringinya: keindahan yang meluapkan hasrat birahi. Ahli sujud ketiga sampai tak puas-puasnya mereguk kenikmatan yang ditawarkan gadis-gadis itu. Habis yang satu ia minta lagi gadis yang lain. Tapi gadis-gadis itu seolah tak habis-habis.

Malaikat Ridwan memandu ahli sujud ketiga berkeliling dari satu wahana ke wahana yang lain. Setiap wahana menawarkan kebahagiaan yang berlipat-lipat dibanding wahana sebelumnya. Di setiap tempat yang didatanginya, ahli sujud ketiga selalu terpesona dan hampir tak mau beranjak seandainya tak diingatkan oleh pemandunya bahwa masih ada tempat-tempat lain yang lebih indah.

Setelah “lelah” menikmati berbagai keindahan surga, ahli sujud ketiga teringat kepada kawan-kawannya. Ia menyesalkan kawan-kawannya yang tidak kuat melanjutkan perjalanan sampai akhir. Ia bertanya kepada pemandunya.

– Kamu tahu di mana sekarang kawan-kawan seperjalananku?

– Dua di antaranya sudah sampai di sini lebih dulu daripada kamu.

Ahli sujud ketiga tersentak.

– Di mana mereka? Apakah mereka sudah bertemu Tuhan?

Ia bertanya dengan nada yang kalau di dunia akan terdengar sebagai nada iri. Tapi di surga tidak ada rasa iri.

– Mari ikut aku.

Malaikat Ridwan membawanya menuruni tangga menuju surga di tingkatan lebih bawah. Mereka memasuki sebuah kamar, dan di kamar itu tampaklah ahli sujud kedua tengah berbaring di ranjang, sementara di tepi ranjang duduk sesosok malaikat berwajah indah. Ahli sujud ketiga terheran-heran.

– Kenapa dia?

– Kawanmu itu masih terpesona sejak pertama kali melihat wajah malaikat penerima tamu yang disangkanya sebagai Tuhan.

Ahli sujud ketiga terhenyak.

– Mari kita lihat yang satunya.

Malaikat Ridwan membawa ahli sujud ketiga turun tangga lagi ke surga yang lebih rendah. Ternyata keadaan ahli sujud pertama pun sama dengan ahli sujud kedua. Ia masih berbaring di sebuah ranjang, memandangi wajah malaikat Ridwan yang duduk di tepiannya.

Ahli sujud ketiga tak dapat menutupi keheranannya.

– Kenapa malaikat itu pun ikut tak bergerak?

– Tuhan telah menentukan demikian. Jika ada ahli surga yang kehilangan kesadaran karena terpesona melihat wajah kami, biarkan ia tetap menikmatinya. Kami adalah makhluk yang tak pernah ingkar terhadap tugas. Kamu tahu, ada malaikat yang sejak awal diciptakan terus bersujud sampai sekarang. Itulah tugasnya. Ada yang tugasnya hanya rukuk, ada yang hanya bertasbih, ada malaikat pemikul arasy, ada yang bertawaf, dsb.

– Apakah kawanku tidak diberi tahu yang ada di hadapannya bukanlah Tuhan?

– Mereka diberi tahu seperti halnya aku memberitahumu. Hanya saja mereka begitu tersedot oleh keindahan dan kebahagiaan yang mereka rasakan, sehingga mereka tak mendengar sama sekali ucapan malaikat di hadapannya.

– Oh, kasihan. Jadi mereka tak akan sampai pada Tuhan?

– Entahlah. Untuk sementara itulah hadiah yang mereka terima. Tapi jangan salah sangka, saat ini mereka sangat bahagia.

– Mereka sangat bahagia?

Malaikat Ridwan mengangguk.

– Padahal yang mereka jumpai bukan Tuhan?

– Ya.

– Bagaimana kalau yang kutatap adalah wajah Tuhan?

Malaikat Ridwan menggeleng beberapa kali.

– Tak ada yang bisa menggambarkan keindahannya.

– Oh, aku tak sabar lagi. Ayo, lekas antar aku kepada Tuhan.

– Baiklah.

***

Alkisah lagi, sementara itu ahli sujud keempat tiba di surga melalui jalan normal. Setelah peristiwa di depan jurang di hutan itu, ia mengembara ke banyak daerah dan berguru pada setiap ahli ilmu yang dijumpainya. Lama-kelamaan ia menjadi seorang ahli ilmu yang mumpuni. Dan dalam hal ibadah, ia pun tak tertandingi.

Melihat kesalehan dan ketinggian ilmunya, orang-orang datang dari berbagai tempat untuk berguru kepadanya. Ia menjadi ulama besar dan terkenal ke seluruh penjuru negeri. Kepada murid-muridnya, ia mengajarkan sebuah metode untuk mendekati dan menyelami rahasia Tuhan, yaitu dengan menggabungkan fungsi akal dan hati semaksimal mungkin. Akal saja yang digunakan, maka Tuhan yang dihasilkan adalah Tuhan yang jauh, Tuhan yang tidak dapat dihubungi. Sedangkan hati saja yang dipakai, sang pencari akan mudah tersesat ke arah yang keliru. Alih-alih Tuhan, yang ditemui malah setan yang menipu.

Ahli sujud keempat lulus dalam pengadilan akhirat, lalu ikut bersama jutaan manusia lain berbondong-bondong menuju surga. Di pintu surga ia dan orang-orang terpana melihat keindahan dan keharumannya yang tiada tara, juga bidadari dan para malaikat yang hilir mudik menyambut mereka. Kepada malaikat yang melayaninya, yang juga wajahnya sangat indah sehingga pada awalnya ia agak terpesona, ia berkata:

– Aku ingin bertemu Tuhan!

Malaikat itu menatapnya agak lama sebelum menjawab:

– Tuan ingin bertemu Tuhan?

– Hemm.

– Tidakkah tuan ingin masuk surga?

– Dulu waktu di dunia, aku beribadah bukan untuk mengharap surga atau karena takut neraka. Aku hanya ingin berjumpa Kekasihku tercinta.

– Baiklah. Tuan pasti akan bertemu dengan Tuhan. Mari ikut saya.

Ahli sujud keempat mengikuti malaikat Ridwan yang ternyata malah mengantarnya ke berbagai wahana surga. Malaikat Ridwan memintanya untuk mencicipi setiap hidangan yang disajikan, menikmati setiap pemandangan dan petualangan, dan merasai gadis-gadis surga. Tetapi ahli sujud keempat lekas merasa bosan. Bahkan gadis-gadis surga yang kemolekannya tak terlawan pun hanya satu yang ia coba, sehingga ribuan gadis lain kecewa dan tiap mereka pergi ke sudut taman menumpahkan air mata. Setiap habis menikmati suatu keindahan, ahli sujud keempat selalu bertanya, belum cukupkah?

– Keindahan itu bertingkat-tingkat, tuan, dengan Tuhan sebagai keindahan tertinggi. Tuan harus merasakan semuanya, karena tuan akan terbakar jika berjumpa Tuhan saat ini.

– Baiklah, kalau itu memang prosedurnya.

Untunglah malaikatnya mengerti dan bersedia mempersingkat setiap kunjungan. Setelah wahana-wahana penting di surga habis didatangi, tiba-tiba ahli sujud keempat teringat pada tiga kawannya. Maka seperti halnya ahli sujud ketiga, ia pun ditunjukkan ke tempat ahli sujud pertama dan ahli sujud kedua yang hingga saat itu masih berbahagia dengan malaikat penerima tamu yang disangka Tuhan.

– Sungguh malang nasib mereka.

– Tuan keliru. Sesungguhnya mereka sangat bahagia.

– O ya?

– Tapi tentu saja tuan lebih beruntung.

– Aku lebih beruntung? Bagaimana dengan kawanku yang satunya?

– Dia sudah bertemu dengan Tuhan.

– Apa?!

Ahli sujud keempat kaget luar biasa. Ia pun tak bisa menyembunyikan rasa “iri”nya.

– Lekas bawa aku pada Tuhan!

– Baiklah. Memang sudah saatnya.

Malaikat Ridwan membawanya naik melalui rangkaian tangga yang seolah tak habis-habis. Mereka mendaki, dan keindahan terhampar di mana-mana. Ahli sujud keempat tak merasa cape sedikit pun, malah bahagia dan hanya bahagia. Dibayangkannya sesaat lagi Tuhan akan berada di peluknya.

Rangkaian tangga itu berakhir di sebuah gerbang. Kata malaikat:

– Silakan masuk melalui gerbang ini, selanjutnya tuan akan tahu sendiri. Saya hanya bisa mengantar tuan sampai sini, karena saya akan terbakar jika ikut masuk.

– Kenapa terbakar?

– Gerbang ini adalah batas alam malaikat. Tapi manusia boleh lewat.

Ahli sujud keempat melongo. Setelah mengucapkan terima kasih, yang mungkin terlambat karena malaikat yang mengantarnya sudah lenyap di bawah tangga, ahli sujud keempat melangkah menghampiri pintu gerbang. Pintu gerbang itu sangat indah. Ketika jaraknya sudah dekat, pintu gerbang itu terbuka sendiri. Begitu pintu itu terbuka, terpesonalah ahli sujud keempat melihat sebuah istana di baliknya. Untuk beberapa saat kakinya terasa berat untuk digerakkan. Ketika kakinya sudah terasa ringan, ia melangkah ke arah istana itu dan berhenti di depan pintunya. Hatinya terbuncah oleh kegembiraan. Dengan kesabaran yang diusahakan sepenuh tenaga, ia memutar pegangan pintu perlahan-lahan. Ketika pintu terbuka, terpampanglah di hadapannya sebuah ruang di mana yang ada hanya keindahan dan keagungan. Tak ada yang dirasakannya kecuali kebahagiaan dan ketakjuban. Kedua perasaan itu bersayap dan berekor, bercabang dan berakar, dalam jalinan serat-serat yang halus dan rumit, dalam juluran sulur-sulur yang berkelindan dan saling bertaut, yang kesemuanya mustahil digambarkan atau diceritakan, namun semuanya berujung pada keintiman dan keberserahan.

Setelah lama barulah ahli sujud keempat menguasai keterpanaannya. Dimasukinya ruang itu dan tiap langkahnya menghasilkan keindahan dan kebahagiaan yang berlipat-lipat. Sering ia harus berhenti beberapa jenak untuk menguasai kesadarannya yang semakin lesap. Ia terus melangkah dengan tempo yang semakin berat. Hingga di suatu titik, ia tak mampu lagi menggerakkan kaki dan kesadarannya telah benar-benar tak sanggup lagi dipertahankan. Ia pun jatuh berlutut, lalu bersujud. Tapi di titik itu ia berhasil menyaksikan apa yang selama ini hanya ada dalam impian:

– Tuhan. Di mana-mana Tuhan. Tak ada apapun selain Tuhan. Aku hilang. Aku telah masuk ke dalam Tuhan. Aku telah menjadi Tuhan. Akulah Tuhan.

Ahli sujud keempat tak tahu berapa lama ia berada dalam keindahan itu. Tetapi itu tak penting karena di situ waktu tak berlaku. Hingga suatu saat, ia merasakan kesadarannya timbul kembali secara perlahan-lahan. Awalnya ia sempat dihampiri suatu perasaan yang kalau di dunia akan disebut sebagai “khawatir”, yaitu khawatir Tuhan telah menjauh darinya. Tapi kekhawatiran itu hilang begitu dirasakannya kegembiraan dan kebahagiaannya malah meningkat tajam. Tubuhnya pun terasa sangat ringan. Ia merasa bisa bergerak ke mana-mana sekehendak hatinya. Perlahan-lahan ia merasakan sosoknya sendiri terpisah dari Tuhan. Ia bisa melihat wajah Tuhan dengan lebih terang, lebih anggun dan menakjubkan.

Ketika ia memalingkan pandang ke sekeliling, dilihatnya ada ribuan orang di sekitar ruang itu. Ada yang bersujud, berlutut, rukuk, berdiri, dan ada yang berjalan-jalan. Melihat orang-orang begitu banyak, di hati ahli sujud keempat timbul rasa “cemburu”. Ternyata cinta Tuhan bukan hanya untukku, pikirnya. Tapi saat ia tengadah ke arah wajah Tuhan Yang Indah, perasaan itu pun segera menguap. Ya, cinta Tuhan terlalu luas untukku seorang, ia bergumam lalu memperhatikan sosok-sosok di sekelilingnya satu per satu.

Tiba-tiba matanya tertumbuk pada satu sosok yang tengah bersujud. Wajahnya tak terlihat, tapi orang itu seperti tak asing baginya. Diperhatikannya sosok itu dengan lekat. Tak salah lagi, dia pasti kawan lamaku, kawanku yang terjun ke jurang.

Ahli sujud keempat melangkah mendekati kawan lamanya itu. Dipanggilnya nama kawannya, tak ada sahutan. Disentuhnya punggung kawannya, tak ada respon. Lalu diguncang-guncangnya tubuh kawannya, tapi kawannya itu tetap diam.

Ia bertanya kepada Tuhan:

– Kekasihku, bukankah dia kawanku? Kenapa dia diam saja?

Tuhan hanya tersenyum kecil.

Tak ayal lagi terpelantinglah ahli sujud keempat diberi senyum sekecil itu. Senyum kecil saja begitu memabukkan! Lupalah ia akan pertanyaannya kalau saja tak didengarnya pertanyaan yang sama dibalikkan oleh Tuhan untuk ia jawab.

Ahli sujud keempat bangun kembali lalu berpikir. Terasa suasana jadi lebih benderang disusul sepercik gagasan merasuk ke dalam pikirannya. Ia berseru:

– Aku tahu! Dia tengah terpesona oleh keindahan-Mu. Dia masih lebur dalam Kamu. Dan dia, tidak sepertiku, tidak bisa keluar dari situasi itu.

Tuhan tertawa kecil.

Jungkir balik jantung ahli sujud keempat mendapat tawa sekecil itu. Tawa kecil saja begitu menggoncangkan!

Ahli sujud keempat duduk lalu bertanya-tanya kepada dirinya sendiri:

– Kalau dia tidak bisa melepaskan diri dari pesona Tuhan, kenapa aku bisa?

Ahli sujud keempat terus berpikir. Sekelilingnya semakin terang dan ia melihat Wajah Indah yang tertawa itu semakin tampan. Atau mungkin semakin cantik.

– Ya, ya, aku tahu. Aku bisa keluar dari keindahan-Mu, aku bisa mengangkat muka di hadapan-Mu, aku bisa melihat orang-orang di sekitarku, dan aku bisa merasakan diriku terpisah dari diri-Mu, bahkan sepertinya saat ini aku bisa berjalan-jalan ke manapun aku suka termasuk keluar dari tempat-Mu, ialah karena aku selalu menggunakan pikiranku.

Tawa Tuhan melebar dan tiba-tiba meledak tergelak sampai-sampai Dia sendiri terguncang-guncang di Kursi-Nya. Ahli sujud kita terheran-heran. Terlintas di pikirannya kalau saja bumi dan langit masih ada tentu bumi dan langit akan bergoyang-goyang setiap kali Tuhan tertawa. Dan mungkin saja saat ini pun surga bergoyang-goyang dan para penghuninya berlarian ke sana ke mari sambil berteriak-teriak seperti orang gila. Tetapi didengarnya Tuhan tetap tertawa, lebih keras dan membahana. Ia tengadah, menatap Tuhan dengan sorot mata penuh tanya.

– Kenapa Kamu tertawa terus dari tadi?

Tuhan tak langsung menjawab. Sambil menyeka air mata-Nya yang merembes dan menimbulkan kilau indah di Wajah-Nya, Dia mencoba bicara namun suara-Nya tersendat-sendat. Tampaknya susah sekali tawa-Nya disetop. Lalu tanpa diduga sama sekali, mendadak Dia melompat ke hadapan ahli sujud keempat hingga sahabat kita ini hampir tersedak merasakan Wajah Sang Kekasih begitu dekat. Di lain kejap, tiba-tiba bibir dari Wajah Yang Mahaindah itu menghunjam bibirnya dalam sebuah ciuman yang teramat dahsyat.

Sontak ahli sujud keempat tergeletak pingsan. Dalam pingsannya, ia bermimpi melihat Tuhan menghela nafas berulang-ulang, lalu membopong tubuhnya ke atas Kursi sambil terus bergumam.

– Pikiranmu itu…, hahaha…, pikiranmu itu…, lucu sekali.

Ahli sujud keempat tak habis pikir mendengar gumam dan tawa Tuhan yang tak henti-henti. Apakah yang lucu dari pikiranku? Rasanya tidak. Berarti sebenarnya Tuhanlah yang lucu karena menertawakan sesuatu yang tidak lucu.

Tiba-tiba ahli sujud keempat terbangun lalu tertawa terkakak-kakak. #

Catatan:

  • Cerpen ini pernah dimuat di majalah Horison edisi September 2007.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *