Menurut riwayat, roh orang-orang yang meninggal dan mendapat tempat yang layak di sisi Tuhan, setiap hari Jumat pergi beramai-ramai ke sebuah taman untuk memetik buah-buahan. Buah-buahan itu berasal dari doa keluarga yang ditinggalkan atau doa orang-orang lain yang mendoakan. Adakalanya roh mendapati pohonnya tidak berbuah. Itu berarti pada minggu itu tidak ada seorang pun yang berdoa untuknya. Jika mengalami hal seperti itu maka berurailah air matanya mengalirkan sedih dan duka, lalu teman-temannya datang menghibur dan memberinya buah-buahan.
Hari Jumat itu, seperti biasa, taman buah ramai sekali. Para roh bersuka ria memetik dan menikmati buah-buahan dari doa yang dikirimkan ahli warisnya. Namun di sudut taman tampak roh seorang lelaki menangis menutup wajah. Beberapa kawannya duduk di sampingnya, mencoba menghibur dan memberinya buah-buahan. Namun sampai pesta taman selesai, dia masih juga menangis.
Sambil terisak, sorenya lelaki itu datang menghadap Tuhan.
“Ya Allah, Tuhan Yang Mahaagung, Gusti tahu keadaan hamba. Hampir setahun ini tak ada yang mendoakan hamba sehingga pohon hamba selalu kosong tanpa buah. Kini daun-daunnya pun pada meranggas. Hamba malu, Gusti, pada teman-teman. Hamba mohon izin untuk menemui istri dan dua anak hamba, meminta agar mereka mendoakan hamba.”
“Baik. Kuizinkan kamu pergi. Tapi jangan lama-lama dan jangan melayap ke mana-mana ya.”
Seminggu kemudian roh lelaki itu kembali dengan wajah lebih sedih.
“Duh, Gusti Yang Agung, malang nian nasib hamba. Istri dan anak-anak hamba ternyata telah menyimpang jauh dari ajaran-ajaran Gusti. Hu hu hu…”
“Tenanglah, hamba-Ku. Ceritakan apa yang terjadi pada anak dan istrimu.”
“Hu hu hu… Duh Gusti, ketika hamba datang ke rumah hamba dulu, ternyata rumah itu telah lenyap. Di tempat itu berdiri gedung perkantoran mewah berlantai puluhan. Istri dan anak hamba tidak tinggal di situ. Lalu hamba minta bantuan malaikat agar disambungkan ke mimpi istri hamba. Ternyata malam itu istri hamba tidak tidur. Juga anak hamba yang perempuan. Kata malaikat, mereka biasa begadang malam-malam dan tidur pagi hari. Lalu hamba mencoba masuk ke mimpi anak lelaki hamba. Berhasil. Namun keadaannya membuat hamba sangat sedih. Pakaiannya dekil dan berdebu. Dan tubuhnya penuh bekas luka.
“Anakku, ini ayah datang. Ayah kangen sekali sama kamu, nak.”
“Jangan mendekat! Aku tak kenal kamu.”
“Anakku, ini ayahmu.”
“Aku tak punya ayah. Aku tak punya siapa pun lagi di dunia ini. Semuanya telah menjauh. Tak seorang pun yang memperhatikanku. Ibu dan adik lupa diri dengan hartanya, dan ayah senang-senang saja di surga. Tuhan yang katanya Mahaadil pun sama sekali tak peduli.”
“Anakku, jangan berkata seperti itu. Ini ayah datang mencari tahu keadaanmu.”
Tiba-tiba dia menangis tersedu-sedu. Lalu hamba menanyakan apa yang terjadi pada dirinya, pada rumah, ibu, dan adiknya. Mulanya dia tak mau menjelaskan, tetapi setelah hamba dekati dan belai kepalanya barulah dia bercerita.
“Kalau saja tak ada pembangunan, aku tentu takkan jadi begini. Ayah tahu, kan, hantu yang bernama pembangunan itu? Beberapa tahun setelah ayah pergi, kampung kita kena gusur pemerintah. Penduduk tidak terima. Bersama para pemuda dan tokoh masyarakat, kupimpin para penduduk berdemonstrasi menentang penggusuran. Namun apalah artinya tenaga kami dibanding senjata aparat dan buldoser yang dengan ringannya menggilas rumah-rumah yang sekian lama kita tinggali.
Aku ditangkap dengan tuduhan melawan aparat. Huh, sombong sekali makhluk yang bernama aparat itu, sampai tak boleh dilawan. Mereka sendiri tak ada yang menangkap biar mereka menyerang dan menyiksa kita. Aku tidak dipenjara, yah, cuma ditahan di kepolisian dengan beberapa teman pemuda. Tapi di situ tiap hari kami disiksa dan dipaksa mengakui kejahatan yang tak pernah kami lakukan. Sebulan kemudian aku dilepas setelah tubuh ini kurus dan penuh luka, tak punya uang tak punya tempat tinggal. Akhirnya… beginilah aku sekarang, menggelandang di jalanan jadi setengah binatang. Aku sudah hilang kepercayaan pada siapa pun, pada orang-orang, pemerintah, pada ayah, juga pada Tuhan. Kata ayah, Tuhan selalu berpihak pada si lemah. Tapi mana buktinya? Kalau Dia memang ada dan memihak si lemah, mestinya Dia sudah mengusir para penindas itu.”
“Anakku, tidak baik menyalahkan Tuhan. Dia pasti punya rencana lain, nak, yang tak bisa kita nilai hanya dari yang tampak.”
“Apapun yang ayah katakan, aku tak peduli. Sudahlah, selamat tinggal, selamat bersenang-senang di surga sana.”
“Nak…” hamba memanggil tetapi dia sudah bangun dan hubungan kami terputus.
Hamba sangat lelah. Pagi harinya ketika istri hamba sedang tidur, hamba mencoba masuk ke dalam mimpinya. Ternyata sangat sulit. Lalu hamba coba masuk ke mimpi anak hamba, gagal. Besoknya hamba coba lagi, masih gagal. Kata malaikat, sangat sulit mengadakan kontak dengan orang yang sama sekali sudah lupa atau tidak memikirkan kita lagi. Anak lelaki hamba mudah dihubungi karena hati kecilnya masih punya perasaan rindu pada ayahnya. Oh Gusti, istri dan anak hamba itu, hu hu…, tiap malam selalu berpesta dan berdansa. Mereka sudah jauh dari agama. Pantas hamba tak pernah lagi terima kiriman doa.
Beberapa hari kemudian, hamba berhasil masuk ke dalam mimpi anak perempuan hamba. Dia tampak terkejut, mencoba mundur namun terbentur dinding kamarnya. Hamba dekati dia. Mendadak dia menangis lalu memeluk hamba dengan kuat. Hamba belai rambutnya dengan penuh kasih sayang.
“Maafkan saya, ayah, saya telah melupakan ayah dan ajaran-ajaran ayah.”
Lalu dia bercerita tentang keadaannya hingga jadi seperti ini.
“Ibu jatuh sakit memikirkan rumah dan nasib kakak yang ditahan aparat. Uang ganti penggusuran habis dengan cepat namun ibu tak juga sembuh. Lalu ibu dibawa ke rumah sakit, tapi karena tak punya uang rumah sakit tak mau menerima. Lalu ada seorang kaya menawarkan bantuan menanggung semua biaya perawatan ibu, tapi dengan syarat agar saya menjadi istrinya. Ibu tidak mau karena orang kaya itu jelas bukan orang baik, menolong untuk meminta pamrih. Tapi saya sangat sayang pada ibu. Saya tak mau kehilangan ibu. Saya tak punya siapa-siapa lagi jika ibu tiada. Maafkan saya. Saya tak melihat cara lain untuk menolong ibu, selain bersedia menjadi istri orang itu.
Ternyata orang kaya itu sangat baik pada saya dan juga pada ibu. Dia memanjakan kami dengan segala kemewahan, menyediakan hiburan-hiburan yang mengasikkan tiap malam. Lama-lama kami keenakan sehingga jadi lupa sama sekali. Maafkan saya, yah, sekarang rasanya saya tak mungkin lagi kembali.”
“Tak ada kata terlambat untuk bertobat, nak.”
“Tidak mungkin. Hidup ini begitu memikat dan kenikmatan ini telah mengikat saya dengan kuat.”
Perlahan-lahan dia melepaskan diri dari pelukan hamba, berjalan menjauh lalu lenyap di balik pintu. Hamba tertegun, mencoba teriak namun kontak kami telah terputus.
Tinggal istri hamba yang belum berhasil dihubungi. Suatu malam, dengan dibantu tenaga oleh beberapa malaikat, akhirnya hamba berhasil masuk ke dalam mimpinya.
“Bukannya kamu sudah mati? Mau apa kamu ke sini?”
“Benar, istriku, aku memang sudah mati. Aku datang untuk menanyakan kabarmu.”
“Kita tak punya hubungan apa-apa lagi.”
“Masya Allah, istriku. Aku suamimu, lupakah kamu?”
“Itu dulu. Sudah, pergi sana. Urus dirimu sendiri. Aku ada urusan penting.”
Lalu dia pergi dengan mobil mewah dan lenyap dari pandangan hamba.
“Begitulah keadaan hamba, Gusti. Rupanya untuk selamanya pohon hamba akan meranggas dan mungkin akan mati. Hamba tak punya tambahan amal lagi, kecuali dari sedekah hamba yang sedikit dan banyak riyanya itu.”
“Sudahlah, hamba-Ku. Bukankah secara keseluruhan hidupmu cukup enak di sini? Kamu hanya tak mendapatkan buah-buahan doa pada hari Jumat. Sedang selainnya kamu mendapat kenikmatan yang berlimpah. Masih kurangkah hadiah-hadiah yang Kuberikan?”
“Ampun, Gusti. Bukan hamba tak tahu berterima kasih, tetapi keadaan istri dan anak hamba benar-benar membuat saya sedih. Hamba ingin mengajukan satu permohonan lagi kepada Gusti. Boleh, kan?”
Tuhan mengangguk.
“Karena tak ada lagi orang yang berdoa untuk hamba, izinkanlah hamba setiap kamis pergi ke makam hamba untuk berdoa, agar pohon hamba bisa berbuah lagi.”
Tuhan terdiam sejenak. Tiba-tiba Ia tertawa tergelak-gelak. Mendengar ini para malaikat dan roh yang ada di situ terheran-heran dan menoleh. Lalu mereka pun ikut tertawa. Roh yang bersedih itu memerah mukanya. Namun Tuhan menyadari suasana ini dan segera memperbaiki wibawa-Nya.
“Mohon semuanya diam. Permasalahan roh ini adalah permasalahan kita semua. Kalau kalian mengalami seperti dia, pasti tak ada di antara kalian yang tertawa.”
“Maaf, Baginda,” ucap seorang roh, “kami sama sekali tak mendengar dan tak tahu apa yang dikatakan roh ini kepada Baginda.”
“O ya? Jadi kalian tertawa karena melihat…. melihat Aku tertawa?”
“Ampun, Baginda. Kami lancang. Sangat jarang kami melihat Baginda tertawa. Jadi ketika Baginda tertawa lepas hari ini, terus-terang kami sangat bahagia.”
Tuhan tercenung. Yang lain-lain tegang urat syarafnya. Khawatir. Tiba-tiba meledaklah tawa-Nya, lebih keras dari yang tadi hingga terpingkal-pingkal. Semua yang ada di situ menarik nafas lega, lalu tertawa bersama-sama. Sedang si roh hanya sedikit tersenyum.
“Ha ha ha, bergembiralah kalian semua hari ini. O ya, hamba-Ku, hilangkan sedihmu. Jangan tersinggung ya, tadi Aku tertawa. Aku hanya merasa lucu saja mendengar permintaanmu. Rasa-rasanya Aku tak pernah mensyariatkan itu dalam kitab-kitab yang pernah kuturunkan, mendoakan diri sendiri ketika sudah mati di makamnya sendiri. Ha ha ha… tapi ide kamu cemerlang juga. Boleh, Kuizinkan kamu menziarahi makammu. Tapi ingat, jangan sekali-kali punya keinginan untuk masuk ke jasadmu lalu bangkit kembali ke dunia. Ha ha ha… Bisa geger orang sekota melihat jerangkong hidup kelayapan. Ha ha ha…”
Para malaikat dan roh terus tertawa. Si roh yang bersedih juga tertawa meski agak terpaksa, sehingga mimiknya jadi jelek dan lucu.
Namun beberapa hari kemudian roh lelaki itu menghadap lagi dengan tubuh banjir air mata. Raungannya keras mengagetkan semua yang ada di situ.
“Ada apa lagi, hamba-Ku?”
“Hu huu huu… makam hamba hilang, Gusti. Hamba cari ke mana-mana… Huu hu huuu.”
“Lho? Kok bisa hilang?”
“Tempat pemakaman hamba sudah jadi lapangan golf, Gusti. Huu huuu… hamba lupa di sebelah mana tepatnya dulu hamba dikuburkan. Hu hu huuu…”
Tuhan tersenyum lembut, berusaha menenangkan hambaNya.
“Sudahlah, hambaKu. Memang manusia sekarang tingkahnya macam-macam, tak ingat kalau mereka bakal mati juga. Kamu tak usah sedih lagi. Biar Aku yang akan mendoakanmu setiap Kamis, dan hari Jumatnya kamu bisa mendapatkan buah-buahan lagi di pohonmu.”
“Benarkah? Oh, terima kasih Gusti Yang Baik Yang Bijak Yang Pemurah Yang Adil Yang Penyayang….”
Dan lelaki itu berjingkrak-jingkrak kegirangan. #
Ciputat, 2002-2003
Catatan:
Cerpen ini pernah dimuat di majalah Syir’ah (alm.) edisi Juni 2005