cerpen penderitaan“Tampaknya tali itu cukup kuat.”

Saka tersentak. Entah sejak kapan, di sudut kamarnya yang cukup luas itu telah berdiri dua orang.

“Cukup kuat untuk menjirat lehernya,” sahut yang satu lagi.

“Tapi aku tak yakin hati orangnya kuat juga.”

“Maksudmu, orang ini ragu-ragu melaksanakan niatnya?”

“Kelihatannya begitu. Dari tadi tali itu cuma diusap-usap saja.”

“Hahaha, tapi kita harus maklum, kawan, bunuh diri adalah keputusan terberat yang mungkin diambil oleh manusia hidup. Sekali sudah dilakukan, tidak nanti bisa ditinjau lagi.”

“Memang. Kalau keputusannya benar, syukur. Tapi kalau salah, sengsaralah dia. Dan konon kabarnya, kesengsaraan di alam setelah kematian itu tidak ada ujungnya.”

“Eh, ngomong-ngomong, bukankah orang ini adalah pria paling tampan dan paling romantis sedunia?”

“Aku belum pernah melihat dia. Tapi naga-naganya memang iya.”

“Kau tahu, tidak, kira-kira masalah sebesar apa yang dapat menimpa pria impian banyak wanita ini?”

“Kalau tidak mendapat informasi dari sumber pokok, terus-terang berita ini sangat sukar dipercaya. Pria tampan ini ternyata baru saja ditolak cintanya oleh seorang perempuan.”

“O ya?”

“Dan hari ini, si gadis malah sedang merayakan pernikahannya dengan pria lain.”

“Terus-terang, kalau bukan karena aku ikut denganmu untuk mendapatkan berita itu, aku juga tidak akan percaya.”

“Kau ini, sudah tahu masih nanya.”

“Hehehe…. Kau juga, tahu kalau aku sudah tahu, masih menjawab juga.”

“Memang, kadang-kadang kita suka melakukan hal tak berguna.”

“Hahaha….”

“Eh, lihat orang ini, kira-kira apa yang sedang berkecamuk di otaknya?”

“Barangkali dia sedang mendoakan si cantik agar hidup bahagia selama-lamanya bersama pria pilihan hatinya.”

“Kalau benar, berarti laki-laki ini seorang berjiwa besar, sudah disakiti masih mau mendoakan. Tapi orang yang berjiwa besar rasanya tidak akan gantung diri.”

“Atau mungkin dia sedang mengutuk perempuan itu supaya tidak bahagia dengan pasangannya?”

“Tidaklah. Kalau dia melakukannya, berarti cintanya tidak murni.”

“Hmmh, sepertinya benar, hatinya memang tidak terlalu kuat.”

“Dan sepertinya sakit hatinya juga tidak begitu hebat. Kalau sakit hatinya sangat hebat, pasti dia tidak berpikir panjang lagi.”

“Ya, sekali jirat, nafasnya pasti sudah berhenti. Tapi bahwa dia sudah menyiapkan tali gantungan dengan sebegitu rupa, terang masalah yang dihadapinya bukan soal ringan.”

“Padahal sesakit-sakitnya penderitaan akibat ditolak cinta oleh seorang perempuan, sebetulnya masih ada lagi penderitaan yang lebih menyakitkan.”

“Masa? Mana ada di dunia ini kedukaan yang lebih perih daripada ditolak cinta oleh seorang perempuan?”

“Memang.”

“Tapi kalau orang sudah memutuskan bunuh diri, berarti dia menganggap penderitaan yang dialaminya sangat berat dan tidak tertahankan lagi. Mendengar ucapanmu barusan, besar kemungkinan orang itu akan tersinggung.”

“Orang mau mati masa perlu tersinggung segala?”

“Hehehe. Tapi apa kau yakin penderitaan yang lebih hebat itu ada?”

“Seyakin satu tambah satu sama dengan dua.”

“Hmmh, kau bikin penasaran saja. Memangnya penderitaan macam apa itu?”

“Kau ingin tahu?”

“Tapi entah dia ingin tahu atau tidak.”

“Peduli apa dengan dia? Orang mati tidak butuh pengetahuan apa-apa lagi.”

“Dia toh belum mati. Kalau aku ada di posisinya, aku pasti sangat penasaran. Malah aku tak akan bunuh diri sebelum pengetahuan itu kudapatkan.”

“Kalau kau jadi dia, apa yang kau lakukan seandainya kau sudah tahu penderitaan macam apa yang lebih menyakitkan daripada ditolak cinta oleh seorang perempuan?”

“Kau pernah bilang bahwa kita jangan pernah yakin akan kebenaran sesuatu sebelum membuktikannya sendiri, atau melihat dengan mata kepala sendiri, atau bahwa sesuatu itu memang jelas secara logika. Maka aku akan mencobai dulu penderitaan yang lebih hebat itu. Barulah setelahnya aku bisa bunuh diri tanpa ragu.”

“Dengan sengaja mencari penderitaan, kupikir hanya orang gila yang melakukan itu.”

“Ditolak cinta oleh gadis yang sejak lama diidam-idamkan memang tidak mustahil bikin gila. Apalagi kudengar dia sudah mengorbankan banyak hal untuk gadis itu.”

“Sungguh tragis.”

“Kabarnya lagi, pria yang menikah dengan si cantik sebetulnya lebih buruk segala-galanya ketimbang orang ini. Bukan saja wajahnya lebih jelek, umurnya juga terlalu tua. Harta kekayaannya tak seberapa, bahkan ilmu silatnya lebih rendah.”

“Aneh, seorang gadis mahacantik bisa salah pilih begitu. Urusan ini betul-betul rada bikin penasaran.”

“Tapi kau malah bilang masih ada penderitaan yang lebih besar ketimbang yang dia alami. Benar-benar tidak punya perasaan.”

“Yah, terkadang kebenaran itu memang menyakitkan.”

Dua orang itu terus bercakap-cakap dengan ringan seolah mengomentari adegan dalam sebuah pertunjukan. Saka hanya bisa mendengarkan dengan gegetun. Bahwa dua orang itu bisa datang tanpa ia ketahui, menunjukkan mereka bukan orang sembarangan. Tapi bahwa mereka juga tahu urusan pribadinya, ia sungguh jadi penasaran. Maka diam-diam ia mengikuti arah pembicaraan mereka.

“Ya sudah. Lekas katakan, penderitaan apa yang lebih parah daripada ditolak cinta oleh seorang perempuan?”

“Tebak dulu dong.”

“Hehehe, memang tidak asyik jika sebuah teka-teki langsung diberitahukan jawabannya. Mungkin kelaparan?”

“Bukan.”

“Disiksa sampai hidup tidak mati pun tidak?”

“Bukan juga.”

“Penyakit menahun yang sangat kronis?”

“Salah.”

“Diputus cinta?”

“Belum tentu.”

“Lalu apa dong?”

“Nyerah?”

“Tunggu. Dihina dan dipermalukan di depan umum?”

“Bukan.”

“Kesepian?”

“Bukan.”

“Kehilangan harta?”

“Jangan asal nebak.”

“Dikhianati kawan?”

“Bukan.”

“Aku tahu: kalah dalam pertarungan!”

“Bukan.”

“Huh, ini bukan itu bukan. Tampaknya apa pun jawabanku kau tak bakal setuju.”

“Jadi kau takluk?”

“Sebentar. Berbuat salah kepada orangtua, ingin minta maaf tapi orangtua keburu tiada. Bagaimana?”

“Aku belum pernah dengar orang demikian lantas bunuh diri untuk menyusul orangtuanya.”

“Hmh, hampir semua jenis penderitaan sudah kusebut, tapi tak satu pun yang kau anggap. Kurasa tidak ada jawabannya.”

“Bilang saja otakmu macet.”

“Baik. Kuakui kau memang orang paling cerdik yang pernah kukenal. Makanya, meski ilmu silatmu jauh di bawahku, kau cukup setimpal jadi kawanku.”

“Hohoho…, kita belum pernah berkelahi sungguh-sungguh. Dari mana kau tahu aku akan kalah olehmu?”

“Kau menantangku?”

“Sejak lama kutahu kau penasaran dengan ilmu silatku. Tapi ingat, kalau kita berduel sekarang, apalagi di tempat ini, akan ada seseorang yang menertawakanmu. Hihihi….”

Saka tak tahan lagi mendengar ocehan dua orang itu. Tiba-tiba ia membentak. “Cukup! Aku tahu maksud kalian datang ke sini. Saat ini aku mungkin akan gagal bunuh diri. Tapi kalian toh bukan pengawalku dan bukan pula bayanganku. Lagi pula cara bunuh diri bukan cuma menjirat leher dengan tali.”

“Wah, akhirnya dia bicara!”

“Bahkan ucapannya sangat bermutu.”

“Ucapan orang mau mati biasanya memang sangat bermutu.”

“Jangan kata orang biasa seperti kita, seorang raja pun mesti mendengarkan ucapan orang mau mati.”

“Ya. Bahkan jika orang mau mati minta sesuatu, apa pun itu, permintaannya wajib dituruti.”

“Ssst, dengar, dia mau bicara.”

Tapi Saka tidak bicara lagi. Ia malah menarik-narik tali seperti hendak memastikan kekuatannya. Sebenarnya dia sedang menimbang-nimbang satu hal. Ia yakin dua orang itu datang tidak sekadar untuk berbincang-bincang. Entah siapa mereka, dan entah maksud mereka baik atau buruk, acara bunuh dirinya mestilah akan tertunda. Jika ia memaksakan bunuh diri dan ternyata gagal, itu akan sangat memalukan. Lebih memalukan ketimbang kalah dalam sebuah pertarungan.

“Hahaha, kuyakin sebetulnya orang ini sangat ingin tahu penderitaan apa yang lebih menyakitkan daripada ditolak cinta oleh seorang perempuan. Tapi dia malu menanyakannya. Kawanku yang bijak, sekarang sudah waktunya kau berbaik hati.”

“Baiklah. Kurasa memang sudah waktunya. Jawabannya sebenarnya sederhana. Begini: penderitaan yang lebih menyakitkan daripada ditolak cinta oleh seorang perempuan adalah ditolak cinta oleh dua orang perempuan.”

“Hahaha….”

“Kok ketawa?”

“Aku ingat satu peristiwa. Dulu waktu masih remaja, aku pernah diintil-intil terus oleh seorang cewek yang sangat rese dan cerewet. Ke mana aku pergi dia ikut. Mana orangnya bawel, cengeng, rewel. Mendingan kalau cantik. Huh, menjengkelkan sekali. Perutku rasanya melilit terus-menerus.”

“Dan kau membayangkan: satu cewek rese saja sudah semenjengkelkan itu, apalagi kalau dua cewek rese?”

“Hahaha…, betul, betul. Sekarang terbukalah pikiranku.”

“Baguslah kalau begitu.”

“Tapi aku jadi lapar.”

“Sama. Sayangnya tuan rumah di sini agak pelit.”

“Bagaimana kalau kita makan dan minum arak di warung sana?”

“Ayo! Kau yang traktir ya.”

Dan keduanya melangkah ke pintu kamar. Pintu itu masih tertutup. Entah dari mana sebelumnya mereka masuk.

“Tampaknya kalian begitu yakin aku akan membatalkan niatku bunuh diri,” ucap Saka.

Dua orang itu merandek. Terkekeh.

Saka melanjutkan, “Bahwa dalam hidup ini aku punya dua sahabat yang penuh perhatian seperti kalian, sungguh aku sangat beruntung.”

“Bahwa kau dapat mengerti maksud baik kami, itulah baru sahabat sejati.”

“Hahaha….”

Dan dua orang itu pun pergi. Saka mengawasi sampai sosok mereka lenyap di balik pintu. Beberapa lama ia tercenung. Sungguh mengherankan mereka bisa tahu urusan pribadiku, pikirnya. Tapi mereka hanya tahu satu tidak tahu dua. Jatuh cinta lagi sama sekali tidak menyelesaikan masalah.

Didengarnya tawa dua orang aneh itu telah sampai di luar rumah.

Perlahan-lahan Saka mengalungkan tali ke lehernya. Setelah letaknya tepat, ia pun mendepak kursi kayu di bawah kakinya.

Tapi sebelum tubuhnya tergantung-gantung dengan lidah terjulur dan mata terbeliak, tahu-tahu tubuh itu jatuh ke lantai dengan bunyi gedebluk. Disusul segulung tali menimpanya.

Terdengar lagi tawa dua orang itu, amat dekat.

“Talinya ternyata kurang kuat.”

“Terang saja, kau menyambitnya dengan koin.”

“Sayang sekali, padahal itu uang buat traktir kau minum.”

“Yah…, kau ini, pakai tenaga kok tidak diukur sih.”

Saka bangkit. Dilihatnya sejalur sinar menancap di tembok. Ia menengadah. Jalur sinar itu berasal dari sebilah lubang kecil di langit-langit, melewati tali gantungan yang putus di bawah simpulnya, tembus sampai ke atap.

Mereka jelas bukan tandinganku, keluhnya dalam hati.

Akhirnya ia berkata, “Dua sahabat yang bijak, sekarang izinkan aku jadi tuan rumah yang baik. Mari kujamu kalian makan dan minum sepuasnya.”

“Nah, gitu dong.”

“Hahaha….” []

 

Tangsel, 2008-2017

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *