Gunung, Hill, Bromo, Alam, Lanskap, Puncak

Satu ketika sampailah pengembaraan suami-istri muda itu di gerbang sebuah kota. Keduanya terheran-heran melihat ribuan orang berjejer di kiri-kanan jalan, menatap mereka dengan mata penuh binar dan wajah penuh senyum.

“Selamat datang di Kota Surga, kota di mana yang ada hanya kedamaian.” Sambut seseorang dengan ramah. “Anda berdua adalah tamu ke-2123 dan 2124 di kota ini. Kedatangan anda sudah ditunggu oleh walikota. Mari ikut kami ke balai kota. Upacara penyambutan akan segera dimulai.”

Dua pengembara itu semakin terheran.

“Kami selalu menghormati dan memperlakukan siapa pun yang datang ke kota ini sebagai tamu agung. Mohon anda berdua tidak menolak undangan kami.”

Dua pengembara itu tak bisa menolak. Diikutinya langkah orang itu ke balaikota. Orang-orang mengiringi mereka dari belakang.

Sepanjang perjalanan, suami istri itu memperhatikan sekelilingnya dengan takjub.

“Kakak, lihat pohon-pohon di taman itu. Semuanya berbuah. Semuanya rendah. Tinggal petik saja. Tak perlu memanjat.”

“Kota ini benar-benar surga. Lihat sungai di kiri kanan jalan. Airnya bening sampai ke dasar. Aku jadi ingin meneguknya. Rasanya pasti segar. Seperti anggur.”

“Di sini angin pun selalu semilir, menyejukkan hati dan pikiran. Bahagia sekali rasanya kalau bisa tinggal di kota ini.”

“Huss, kita ini pengembara. Masih banyak persoalan-persoalan di dunia persilatan yang memerlukan penanganan kita.”

Walikota menyambut mereka dengan hangat. Masih dengan perasaan bingung suami istri itu berdiri di tengah aula, diapit oleh walikota dan beberapa pejabat. Warga kota memenuhi tribun aula.

“Selamat datang kepada tamu ke-2123 dan 2124 di Kota Surga, kota di mana yang ada hanya kedamaian.” Terdengar suara MC. “Hidup kedamaian! Sesaat lagi akan dilangsungkan upacara penyematan topi perdamaian oleh walikota.”

“Semua orang di sini memakai topi. Aneh sekali topinya, tapi indah.”

“Dan kita akan dihadiahi topi itu oleh walikota. Kurasa topi merupakan ciri khas kota ini. Pulang dari sini aku akan membawa banyak buat oleh-oleh.”

Orang-orang bertepuk tangan meriah begitu topi perdamaian resmi disematkan.

“Selamat. Kalian berdua telah resmi menjadi warga Kota Surga, kota di mana yang ada hanya kedamaian. Mudah-mudahan kalian betah menjadi warga kota ini, selamanya.”

Suami istri itu heran dengan ucapan walikota. Sejenak mereka merasa ada yang tak beres. Mereka ingin bertanya, hendak protes. Tapi gemuruh para hadirin menenggelamkan keinginan itu. Malah sesaat kemudian mereka jadi lupa bahwa mereka ingin bertanya. Tiba-tiba saja mereka merasa bahwa mereka adalah warga Kota Surga. Karena itu mereka pun ikut bergembira.

Suami istri itu dihadiahi sebuah rumah mungil nan cantik agak di pinggir kota. Halamannya luas, penuh bunga-bunga. Di sekeliling rumah itu mengalir sungai kecil. Airnya bening, menampakkan dasarnya yang berkilau kerikil dan ikan-ikan yang menari-nari dengan lincah. Rasanya memang anggur, menurut sang suami yang menginginkan air sungai itu berasa anggur. Madu, kata sang istri yang menginginkan rasa madu. Atau jus durian, atau air kelapa muda, tergantung siapa menginginkan apa. Di pinggir sungai berjejer pohon buah-buahan. Semuanya rendah, selalu berbuah, harum dan ranum, dan selalu siap untuk dipetik.

“Kakak, aku bahagia sekali bisa tinggal di kota ini,” kata sang istri pada suatu malam, saat keduanya sedang bersantai di bangku kecil di halaman rumah, menghadap ke sungai. “Kota ini sangat cocok untuk pasangan muda seperti kita. Di sini angin selalu semilir. Tiap malam bulan selalu purnama, bintang-bintang bersinar gemerlap, dan langit tampak sangat dekat. Apakah ini benar-benar surga?”

“Tentu saja, istriku. Bukankah di sini segala keinginan kita selalu terpenuhi? Kita tinggal bilang, bahkan cukup dengan niat saja apa yang kita inginkan langsung hadir di depan mata. Bulan itu misalnya. Jika kau menginginkan bulan itu ada dua atau tiga, atau seribu, tentu ia akan berjumlah sebagaimana kau inginkan.”

“Benarkah? Kalau bisa demikian tentu malam ini akan sangat indah. Bulan, aku ingin kau berubah menjadi tiga.”

Dan bulan itu benar-benar menjadi tiga.

Hubungan dengan warga kota yang lain pun berlangsung akrab. Semua saling kenal. Satu sama lain saling mengunjungi. Di kota dimana yang ada hanya kedamaian itu orang tidak kenal permusuhan dan kesakitan, tidak ada iri hati dan kebencian. Bahkan kebosanan pun tak ada. Semuanya kebahagiaan. Hanya kebahagiaan.

Pusat kota menjadi tempat di mana semua warga bisa berkumpul dan bergembira. Di situ tersedia bermacam hiburan tak terbatas sejumlah imajinasi orang-orang yang ada di dalamnya.

Tetapi ada satu hal yang kadang-kadang membuat suami-istri itu heran.

“Kenapa kita selalu memakai topi?”

“Entahlah. Orang-orang pun semua memakai topi.”

“Kalau begitu besok aku akan menanyakan kepada walikota.”

Tetapi besoknya mereka lupa apa yang direncanakan tadi malam. Bahkan mereka lupa bahwa tadi malam mereka punya rencana. Oleh karena itu, ketika suatu malam rencana itu datang, suami bergegas mendatangi walikota untuk segera menanyakan.

Walikota menerima tamunya dengan ramah, meskipun ia sempat terheran-heran karena dibangunkan ketika tidur.

“Saya ingin tahu, kenapa kami selalu memakai topi?”

Tetapi walikota tidak tahu jawabannya. Ia hanya mengatakan bahwa topi itu adalah ciri khas kota surga.

Suami pulang dengan rasa puas yang dipaksakan. Besok-besoknya keheranan akan topi itu selalu menghantui. Tetapi selalu jika keheranan itu muncul, timbul rasa pening dan berat pada kepala mereka, membuat mereka lebih memilih tidur kembali. Ketika terbangun, apa yang tadi malam ingin mereka ketahui terlupakan sama sekali. Apa yang membuat mereka lupa, mereka tidak tahu. Dan mereka tidak tahu kalau mereka lupa.

Tapi pada suatu malam, keheranan yang tak tertanyakan itu menjadi pertanyaan yang terucapkan, menjadi keinginan.

“Kakak, tiba-tiba aku ingin tahu bagaimana rasanya jika topi ini dilepas.”

Rasa pening, seperti biasa jika kesadaran itu muncul, mulai memberati kepala mereka.

Istri memegangi ujung topi bagian atas, mengangkatnya perlahan-lahan. Tiba-tiba ia menjerit keras. Tubuhnya terbanting ke lantai. Ia meronta-ronta sambil memegangi kepalanya. Tangannya masih berusaha melepaskan topi.

“Kakak!”

“Adik!”

Istri terbanting sekali lagi. Suami hendak menolong, tapi tiba-tiba ia pun terhuyung dan memegangi kepalanya. Kepalanya sakit sekali. Topi itu tidak mau lepas. Kalaupun mau, kepala yang ditutupinya serasa ikut tanggal. Akhirnya mereka menghentikan usaha untuk mencabut topi dari kepala. Mereka pun tertidur, dan ketika terjaga, apa yang terjadi tadi malam, lupa semuanya.

Beberapa malam berikutnya, karena keinginan untuk membuka topi itu selalu muncul, suami istri memutuskan untuk membukanya dengan resiko apapun. Keduanya duduk bersila, menghimpun tenaga dalam dan menyalurkannya ke kepala. Perlahan-lahan kesadaran pun menyeruak, mendesak ke permukaan. Namun rasa sakit itu semakin hebat. Kepala mereka semakin keras diremas-remas. Darah bergolak, mengguncang tubuh dengan dahsyat.

“Kakak, aku tak kuat lagi!”

“Tahanlah, adik. Kita pasti bisa membuka topi ini.”

Mereka mengerahkan seluruh tenaga dalam. Tangan dicengkramkan ke ujung topi. Semakin keras usaha mereka, rasa sakit yang dirasakan semakin memuncak.

Tiba-tiba serangkum angin menderu entah dari mana. Dan suami istri itu merasakan tenaga mereka bertambah beberapa lipat.

Perlahan-lahan rasa sakit itu berkurang, dan akhirnya hilang sama sekali.

Tiba-tiba suami istri itu menjadi sangat marah.

“Kita tertipu! Surga ini palsu. Kedamaian ini palsu. Semua penduduknya palsu. Mereka mengubur kesadaran kita. Aku akan hancurkan kota ini!”

Namun kota itu ternyata raib. Rumah mereka lenyap. Taman itu pun hilang. Dan keduanya terdampar di tengah sebuah padang.

Suami istri itu bangun dan terheran-heran dengan keadaan sekelilingnya.

“Semua ini seperti mimpi. Begitu indah dan menyenangkan.”

“Tapi akhirnya sangat menyakitkan.”

“Aneh. Berapa lama kita di kota itu.”

“Entah. Kalau ini mimpi paling cuma semalam. Eh, sebentar! Kakak, lihat, kau memegang topi aneh sekali.”

“Kamu juga!”

“Aku masih tak mengerti apa yang baru saja kita alami. Kita harus bertanya pada seseorang.”

“Mana ada orang di sini? Padang sepi. Cuaca kelam. Dan di langit bintang hanya temaram.”

Akhirnya suami istri itu berjalan ke arah sembarangan.

“Kita pengembara, bukan? Jadi tak penting mana awal mana tujuan. Yang penting adalah berjalan, berjalan, dan berjalan.”

“Bukan. Kita adalah pasangan muda yang tengah berbulan madu. Jadi ayo kita pulang, bangun rumah, dan bikin anak.”

“Anak…. Adik, coba ingat-ingat berapa lama kita di Kota Surga. Rasanya kita berada di sana sejak awal dunia sampai waktu yang tak pernah berakhir. Tapi kenapa kita belum juga punya anak?”

“Iya, kenapa ya? Tapi kulihat semua penduduk Kota Surga tak ada yang punya anak.”

Setelah beberapa lama mereka melihat beberapa orang di kejauhan, berjalan mendekat ke arah mereka.

“Kalian di sini rupanya,” kata salah seorang dari mereka. “Kami mencari-cari, jauh juga kalian terlempar.”

“Hey, bukankah kalian ini Pendekar Angin dan Awan, sepasang pendekar belia yang pernah menggetarkan tokoh-tokoh golongan hitam?”

Suami istri itu terkejut. Lebih terkejut lagi ketika orang-orang di depannya itu memperkenalkan diri. Semuanya tokoh-tokoh sakti yang, menurut guru mereka, sudah lama tak muncul di rimba persilatan.

“Kami juga seperti kalian, pernah menjadi penghuni Kota Surga. Memang indah kota itu. Sayang, orang-orang berilmu tak mudah ditipu. Ilmu membuka kesadaran kita, dengan cara yang kadang tak kita sadari, betapa semunya kebahagiaan yang ditawarkan Kota Surga itu.”

“Betul. Ilmu atau tenaga batin yang kita miliki menyadarkan kita dengan cara menumbuhkan perasaan heran. Perasaan ini coba ditekan oleh kekuatan yang berada di dalam topi perdamaian itu. Akibatnya kita merasakan sakit yang luar biasa. Aku sendiri lama kemudian baru mengerti. Tampaknya di kota itu sama sekali tak ada kesakitan dan penderitaan, tak ada kemarahan. Ketika kalian merasakan kesakitan, sebetulnya kalian tidak berada sepenuhnya di dalam kota. Tapi kalian pun belum sepenuhnya keluar. Kemarahanlah yang akhirnya melempar kalian keluar dari kota itu.”

“Kakak, aku tahu kenapa orang-orang di Kota Surga tak ada yang punya anak,” kata istri. Lalu ia melanjutkan. “Karena melahirkan anak itu sakit.”

Semuanya tertawa.

“Di sana tak ada yang mati. Karena mati itu sakit. Juga tak ada yang tua.”

“O ya, sewaktu hendak keluar dari sana, kami merasakan ada serangkum energi yang membantu kami. Kaliankah itu?”

“Ya. Dari sini kami merasakan ada segelombang tenaga yang mendesak hendak keluar. Lalu kami perkuat tenaga itu.”

“Dulu aku sendiri dibantu kawan-kawan keluar dari Kota Surga.” Kata salah seorang. “Karena kami sudah tua, tak pantas lagi mengotori dunia persilatan, kami memutuskan untuk tinggal di sini.”

“Ya, siapa tahu ada pendekar yang tersesat ke Kota Surga dan hendak keluar. Tapi kalian yang masih muda-muda jangan ikut kami. Urusan dunia persilatan masih bertumpuk, permusuhan masih berkecamuk, kejahatan masih merajalela. Semuanya memerlukan tenaga-tenaga segar seperti kalian.”

“Ah, anda yang tua-tua ini memberati kami dengan beban yang sangat berat. Mungkin sebaiknya kita tidak memiliki ilmu apa-apa, sehingga begitu masuk ke Kota Surga, kita akan bahagia terus di kota itu. Abadi, selamanya.”

“Atau mungkin sebaiknya semua orang kita giring saja ke Kota Surga. Biar segala urusan dunia ini berakhir dengan bahagia.”

Ciputat, Mei 2003

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *