Cerita kami waktu liburan ke kapal pesiar tahun 2018. Dimuat ulang dari blog saya sebelumnya, bermenschool.wp.com. Saya pindahkan ke sini karena blog tsb sudah tidak diperbarui lagi. []
Aku dan istriku menikah pada tahun 2010. Kami tidak pernah berbulan madu, dalam arti pergi berdua ke suatu tempat wisata untuk menginap dan bersenang-senang layaknya pasangan pengantin baru. Karena faktor ekonomi, kami tidak pernah menganggap hal itu prioritas. Toh tanpa itu pun, alhamdulillah, kami dikaruniai anak pertama pada tahun 2011, anak kedua pada tahun 2013, dan kini istriku sedang mengandung anak ketiga.
Tapi berdasarkan produksi tahun 2017, alhamdulillah, aku mendapat dua tiket trip Champion Club dari Allianz, dengan hadiah naik kapal pesiar yang berlayar dari Singapura menuju Penang dan Phuket.
Tahun 2014, sebetulnya aku pernah mendapat dua tiket trip ke luar negeri. Tapi waktu itu dua anakku masih kecil sehingga tidak bisa ditinggal berdua, jadi aku mengajak ibuku trip dengan tujuan Bangkok dan Pattaya, Thailand.
Tahun 2015, kembali aku mendapat dua tiket trip. Tujuan kapal pesiar Costa Victoria bersama grup Busster. Kali ini aku memang mengajak istriku, tapi karena anak-anak belum memungkinkan untuk ditinggal, maka aku membeli dua tiket tambahan agar dua-duanya bisa ikut.
Tahun 2016 dan 2017, aku hanya mendapat satu tiket trip sehingga hanya pergi sendiri.
Baru pada tahun 2018 inilah akhirnya aku bisa mengajak istriku liburan berdua saja. Anak-anak sudah lumayan besar sehingga bisa ditinggal. Keduanya kami titipkan ke rumah nenek di Pandeglang. Ini adalah kali pertama kami berdua berpisah dari anak-anak, selama seminggu pula.
Jadi persiapan pertama yang kami lakukan sebelum berangkat adalah mengondisikan mereka untuk bisa ditinggal dan dititipkan di rumah nenek. Kami telah memberitahukan rencana ini kepada nenek (ibuku), dan beliau bersedia ketitipan cucu.
Pada awal Februari, atau sekitar sebulan sebelum acara, menjelang tidur, kami memberitahukan hal itu.
“Kakak dan Dede, bulan depan ayah dan bunda mau pergi naik kapal pesiar. Kakak dan Dede nanti tinggal sama bibi dan nenek di Pandeglang ya.”
Begitu mampu mencerna kalimat kami, tiba-tiba saja keduanya menangis. Tersedu-sedu, terisak-isak. Maka sibuklah kami menghibur keduanya, menjanjikan liburan pengganti, membelikan mainan yang mereka inginkan, dan sebagainya.
Hari-hari berikutnya, kembali kami berulang kali memberitahukan maksud kami. Mula-mula mereka masih tampak bersedih dan masih meminta ini-itu, yang kami iyakan saja, tapi lama-lama mereka mengerti.
Sering kami berpesan, “Nanti kakak dan dede baik-baik ya di rumah bibi, nurut sama nenek, makan yang banyak, mandi pagi dan sore, sikat gigi, ngaji sama bibi,…” Dan Teguh hanya menjawab kalem, “Sudah tahu.”
Jadwal liburan kami di kapal pesiar adalah selama lima hari, Senin sd Jumat, 12 sd 16 Maret 2018. Pada hari Jumat siang, 9 Maret, kami sudah mengantar anak-anak ke Pandeglang.
Kami membawa serta sejumlah mainan anak-anak, termasuk sepatu roda dan sepeda, agar mereka betah di sana. Di rumah nenek ada tiga orang, semuanya perempuan. Selain ibuku yang yang sudah berumur 56 tahun, ada bibi Nida, adik bungsuku yang masih sekolah di SMP, dan seorang sepupu yang masih kuliah. Di luar itu ada beberapa saudara yang punya anak kecil, yang bisa diharapkan sering main ke rumah nenek untuk menemani Cahaya dan Teguh.
Hari Minggu pagi kami kembali ke Pamulang untuk mempersiapkan keberangkatan esok harinya. Saat inilah anak kedua kami, Teguh, yang biasanya sok cuek dan tegar ketika diomongkan soal tinggal di rumah nenek, terus memeluk ibunya dan tidak mau dilepas kecuali setelah dipegangi dengan paksa, sementara kakaknya tampak tenang saja.
Belakangan kami dikabari bahwa Teguh langsung tenang sore harinya dan bisa bermain dengan gembira, sementara kakaknya sakit panas keesokan harinya. Ah, dasar anak-anak.
Senin pagi, pukul 4 kami berangkat ke Bandara Soekarno Hatta naik Grabcar. Langganan kami sebetulnya Gojek, dengan alasan lebih suka produk lokal, tapi batal setelah kami cek tarif Gocar pada saat itu 156 ribu sementara tarif Grabcar 121 ribu.
Aku dan istri beda pesawat. Dia naik SQ 953 pukul 8.25 dari Terminal 2D, sementara aku naik Garuda 8020 pukul 7.45 dari Terminal 3.
Kok beda, tanya teman-teman yang melihat hal ini. Sebabnya karena hadiah trip yang kami terima beda kategori dan waktu pemberitahuannya berbeda sehingga pendaftaran keberangkatannya pun tidak bersamaan. Tak apalah, yang penting di kapal pesiarnya sekamar.
Kuantar istri dulu ke Terminal 2D. Setelah salat subuh dan mempertemukan istriku dengan pemandu tur di grupnya, aku pun pindah ke Terminal 3 dengan menggunakan kalayang (kereta layang) atau skytrain. Ini pertama kalinya aku ke Terminal 3 dan pertama kalinya menggunakan fasilitas kalayang, yang baru diresmikan pada Januari 2018. Ternyata kalayangnya keren banget, Terminal 3 (yang sering juga disebut Terminal 3 Ultimate) megah banget. Tak kalah dengan bandara Changi Singapura.
Aku sampai duluan di Singapura daripada istriku, dan rombongan bus yang kutumpangi segera mengantar kami ke Marina Bay Cruise Center (MBCC). Dulu kami naik kapal pesiar dari Harbour Front, sekarang dari MBCC. Hebat Singapura, negara pulau sekecil ini punya dua pelabuhan untuk kapal pesiar.
Begitu bus memasuki kawasan MBCC, dari jauh sudah terlihat kapal pesiar Mariner Of The Seas yang luar biasa besar sudah bersandar menunggu. Tampak sejumlah pekerja hilir mudik di atas dan bawah kapal, sibuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyambut tiga ribu lebih penumpang yang akan menghabiskan 5 hari 4 malam di dalam kapal.
Mariner of the Seas adalah satu nama kapal pesiar keluaran Royal Caribbean International, satu perusahaan yang bergerak di bisnis kapal pesiar. Kapal ini dibuat tahun 2003, memiliki panjang 311 m, lebar 39 m, tinggi 15 tingkat, dapat menampung 3.114 penumpang dan 1.185 ABK. Mariner of The Seas termasuk 10 kapal pesiar terbesar di dunia. Saking besarnya, kami sulit sekali berfoto dengan latar keseluruhan kapal ini, dan memang kesempatannya jarang karena kami lebih banyak di dalam kapal.
Rombongan bus kami tiba di pelabuhan sekitar pukul 13 siang waktu Singapura. Masih cukup awal sehingga bisa langsung masuk cruise tanpa antrean panjang. Pengalaman sebelumnya, kami sempat antre panjang dan berjam-jam untuk masuk cruise, karena baru mulai antre selewat pukul 15.
Aku mendapat kamar di dek atau lantai 8, kabin 372. Begitu membuka pintu kamar, aku terperangah. Kamarnya cukup luas, dan terutama ada balkon yang menghadap lautan. Dulu kami mendapat kamar yang sempit dan berada di tengah lambung kapal sehingga tidak ada jendelanya. Alhamdulillah.
Saat itu waktunya makan siang dan sudah disediakan oleh pihak kapal, tapi tiba-tiba aku dilanda cemas. Istriku belum datang, dan aku khawatir dia tidak boleh masuk kapal. Sewaktu berada di bis dari bandara menuju pelabuhan, para penumpang diminta mengisi beberapa lembar kertas dan di salah satu lembarannya ada pemberitahuan bahwa wanita hamil 24 minggu ke atas tidak diperkenankan naik ke kapal pesiar. Menurut perhitunganku berdasarkan HPHT (hari pertama haid terakhir), usia kehamilan istriku saat itu (12 Maret 2018) adalah 23 minggu. Tapi jika ditanya orang, kami sering menyederhanakannya menjadi 6 bulan, yang jika dihitung minggu akan menjadi 24 minggu. Aku khawatir istriku akan menjawab 6 bulan jika ditanya petugas imigrasi kapal.
Tapi akhirnya sekitar pukul 3 sore lewat, istriku sampai juga di atas kapal. Dia mendapat sejumlah teman baru di bus rombongannya, para ibu agen Allianz yang masih satu grup denganku di Busster. Mereka semua baik dan sangat perhatian dengan kondisi istriku yang tengah hamil. Kata istriku, usia kehamilannya tidak ditanyakan oleh petugas imigrasi kapal. Alhamdulillah.
Acara pertama yang kami ikuti di kapal pesiar adalah pengarahan dari tour leader Dwidaya yang mengantar kami selama perjalanan. Seribu lebih peserta trip dari Allianz dikumpulkan di Savoy Theater dek 3 sekitar pukul 7 malam. Intinya pemberitahuan mengenai jadwal acara dan aturan-aturan penting selama di kapal pesiar. Setelah itu dilanjutkan makan malam ala carte, yang diadakan di restoran khusus di dek 3, 4, dan 5 (tiap dek ada namanya sendiri, aku lupa). Ala carte itu kita duduk di meja yang telah disediakan (aku duduk berdua berhadapan dengan istriku, tentunya), lalu dikasih daftar menu, lalu pilih menu yang terdiri dari makanan pembuka dan makanan utama, lalu menunggu makanan datang, lalu makan, lalu ditawari lagi hidangan penutup yang biasanya berupa kue krim. Hidangan ala carte tidak cocok untuk orang yang sendiri dan orang yang sudah sangat lapar, karena harus menunggu cukup lama. Tapi waktu menunggu yang cukup lama ini memang sengaja dirancang agar dimanfaatkan untuk ngobrol dengan pasangan kita.
Setelah makan makan, kami langsung tidur karena kekenyangan.
Hari kedua, kapal dijadwalkan merapat di dermaga Penang, Malaysia, sekitar pukul 2 siang. Paginya, sesuai makan di Windjamer café dek 11, aku dan istriku jalan-jalan keliling kapal untuk berfoto-foto. Kami memakai kaos Allianz yang dijadwalkan untuk hari ini, warna putih, bergambar kapal pesiar, dan di bagian depan bertuliskan “Royal Caribbean Cruise 12-16 Maret 2018”. Beberapa foto kami wefie sendiri, beberapa lagi dibantu agen Allianz lain yang kebetulan berada di dekat kami.
Pulau Pinang atau Penang (kadang dibaca Pineng, mungkin pengaruh dari bahasa Inggris) adalah sebuah negara bagian Malaysia. Ibukotanya bernama George Town. Penang merupakan negara bagian kecil dengan penduduk terpadat di Malaysia. Di negara bagian ini, penduduk dari etnis Tionghoa lebih banyak daripada etnis Melayu.
Di Penang, waktu yang diberikan hanya 4 jam, itu pun efektifnya mungkin hanya 2 jam karena lamanya waktu antre turun dan naik. Aku dan istri masuk rombongan bus 36 (dari 38 bus), jadi termasuk yang paling akhir turun dari kapal. Karena singkatnya waktu, tidak ada tempat wisata yang kami kunjungi di sini. Kami hanya diarahkan ke toko coklat Harriston, lalu berfoto di alun-alun Penang, dan makan malam di Red Garden. Tapi karena tempatnya padat, kami pilih sedikit menahan lapar dan makan malam di kapal pesiar.
Hari ketiga, kami singgah di pulau Phuket, Thailand. Berbeda dengan di Penang di mana kapal merapat langsung ke dermaga, di Phuket tidak ada dermaga untuk kapal besar, jadi kapal pesiar hanya berhenti agak dekat pantai, sedangkan untuk mencapai pantai kami dijemput dengan perahu boat ukuran sedang yang bisa memuat 200 orang.
Waktu yang diberikan di Phuket cukup lama, yaitu sekitar 9 jam. Kami turun dari kapal mulai pukul 10 pagi, dan setelah itu bus kami langsung membawa kami ke rumah makan Kan Eang Seafood. Makanannya sangat enak dan mungkin di sinilah kami menikmati rasa makanan yang paling sesuai dengan lidah orang Indonesia, karena di kapal pesiar makanannya lebih bersifat kompromi internasional.
Setelah makan siang, kami dibawa ke Thep Prasit sebuah tempat peternakan lebah madu. Di sini kami diberikan penjelasan mengenai lebah dan hasil karyanya, yaitu madu, polen, dan royal jelly, lalu disuruh belanja. Aku sendiri tidak beli apa-apa di sini karena harganya mahal-mahal semua, dan pula yang namanya madu banyak di Indonesia.
Lalu kami dibawa ke Wat Chalong, sebuah biara Buddha yang dihormati di Phuket. Di sini hanya sebentar untuk foto-foto. Setelah itu belanja oleh-oleh kerajinan tangan seperti tas dan kaos dan belanja makanan ringan di Dried Food. Awalnya jika waktu masih luang, kami akan diberikan kesempatan jalan-jalan di sepanjang pantai Phatong. Tapi saat kami kembali, waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam sehingga waktu yang kami miliki tak banyak.
Hari keempat, sembari kapal pesiar berlayar kembali ke Singapura, kami menikmati waktu yang panjang di atas kapal. Pagi olahraga (tepatnya menyaksikan orang-orang berolahraga) dan jalan-jalan di dek, siang nonton pertunjukan ice skating, dan malam gala dinner. Selebihnya dalam kamar saja sambil menikmati lautan luas.
Hari kelima, dan hari terakhir, Jumat tanggal 16 Maret 2018. Pagi pukul 8 kapal mendarat di MBCC. Kami keluar kapal sekitar pukul 10. Aku dan istriku berpisah lagi, karena dia harus pulang sementara aku masih akan memperpanjang liburan di Singapura selama dua hari. Aku mendapat tambahan trip dari kontes Early Bird, sementara tiket untuk istriku tidak ada tambahannya. Dengan demikian, berakhirlah bulan madu kami di kapal pesiar Mariner of the Seas.
Istriku agak kecewa dengan hal ini. Dia inginnya bareng juga liburan di Singapuranya. Tapi bagaimana lagi? Semoga kita ada rezeki untuk liburan berdua ke Singapura. Aamiin. []
Berikut foto-foto lainnya: