Pengaruh Freud
Saat membaca Tafsir Mimpi karya Sigmund Freud, berkali-kali saya dibuat mengangguk-anggukkan kepala seraya tanpa sadar bergumam, iya ya, atau, benar juga ya. Rasanya contoh-contoh yang dikemukakan Freud sangat akrab dan sesuai dengan pengalaman saya. Pengiyaan itu bahkan saya rasakan pada teori Freud yang sangat aneh, bahwa seorang anak menginginkan kematian orang tua yang satu jenis kelamin dengannya. Saya pernah bermimpi ayah saya meninggal dunia, dan saya menangis saat terjaga. Menurut tafsiran Freud, ini adalah petunjuk bahwa jauh di bawah kesadaran saya, jadi tanpa disadari, saya memang menginginkan kejadian itu.
Kalau mendengar teori-teori Freud dari simpulannya saja, orang akan gampang menyalahkan dan menolak. Mana mungkin manusia sejahat itu? Pemikiran Freud memang kontroversial, di kalangan ilmuwan lebih-lebih agamawan. Manusia, katanya, digerakkan oleh insting-insting seksual yang tidak disadari. Ia juga mengatakan bahwa Tuhan adalah proyeksi mental dari sosok ayah yang ditakuti sekaligus dikagumi. Anda boleh tidak menyetujui pendapatnya. Tetapi Tafsir Mimpi menyediakan bukti-bukti yang melimpah. Bacalah bukunya secara utuh, dan rasakan dorongan perlawanan yang sia-sia dalam diri anda.
Ide-ide tokoh pendiri psikoanalisis ini berpengaruh besar terhadap cara kita memahami manusia. Ia membukakan pintu menuju ruang ketidaksadaran. Pengaruhnya bukan hanya dalam bidang psikologi dan psikiatri, tetapi juga dalam filsafat, seni, agama, dan ilmu sosial pada umumnya. Hingga kini, sinar Freud belum menampakkan gejala meredup. Psikoanalisis sebagai teknik psikoterapi mungkin sudah banyak mendapatkan saingan metode-metode baru yang lebih canggih. Tetapi pengaruh psikoanalisis masih luas bahkan telah membuka bidang-bidang baru. Hermeneutika, yang banyak diadopsi para pemikir Muslim liberal dalam penafsiran Alquran, banyak menerima sumbangan Freud. Boleh dikatakan, tidak ada tokoh psikologi yang pengaruhnya lintas batas keilmuan seperti Freud.
Faktor yang membuat pemikiran Sigmund Freud begitu berpengaruh bukan hanya karena bukti yang dia sodorkan terasa kebenarannya dalam pengalaman kita; sebagian pembaca mungkin akan menolaknya meskipun telah membaca utuh. Yang lebih penting adalah bukti-bukti itu diperoleh berkat ketekunan kerja berpuluh tahun, lewat praktik dan penelitian dengan dedikasi yang “tak perlu dibantu”. Ribuan kasus diperiksa, ribuan mimpi dianalisis, dan Freud bisa memberikan penjelasan yang kesemuanya mengafirmasi teori-teorinya.
Sigmund Freud mempunyai ketertarikan tinggi terhadap banyak bidang. Sekolah formalnya kedokteran, tetapi ia juga memelajari psikologi, membaca sastra, filsafat, sejarah, dll. Mengawali praktiknya sebagai psikiater, ia tertarik menangani histeria, penyakit yang belum ada obatnya waktu itu, dan mengembangkan metode pengobatan baru yang disebutnya psikoanalisis. Tiga per empat usianya (atau sekitar 60 dari 83 tahun) ia dedikasikan untuk psikoanalisis. Tentu bukan kuantitas ini yang melambungkan namanya, melainkan penemuannya yang relatif orisinal dalam kajian tentang manusia, dan juga kontroversial. Keseluruhan hidupnya menunjukkan suatu etos keilmuan yang luar biasa, yang hanya terdapat pada orang yang sungguh-sungguh mencintai pengetahuan.
Menandingi Freud
Barangkali hanya ada dua cara untuk terbebas dari cengkraman Freud: tidak membacanya sama sekali atau melakukan kerja yang setara dengannya. Memilih yang pertama berarti membiarkan diri jadi bodoh karena menyia-nyiakan banyak hikmah yang berharga. Dan pula, mustahil bagi kita sekarang untuk tidak membaca Freud. Sedangkan pilihan kedua tidak mungkin dilakukan tanpa membaca Freud, atau kita akan terasing dari tradisi psikologi.
Oleh karena itu, bagaimanapun Freud tetap harus dipelajari, dan etos keilmuan yang mendasari teori-teorinya diserap dan ditiru. J.B. Watson dan B.F. Skinner berhasil mengembangkan behaviorisme sebagai mazhab tandingan psikoanalisis bukan tidak membaca Freud, tetapi karena dia melakukan kerja keilmuan yang setara dengan Freud. Abraham Maslow dan Carl Rogers berhasil lolos dari cengkraman Freud dan melahirkan mazhab humanistik, juga karena mereka melakukan kerja keilmuan dengan etos yang tak kalah dibanding Freud.
Jika di Barat gairah untuk melawan Freud telah menghasilkan dua tandingan kuat, bahkan tiga dengan mazhab transpersonal, di dunia Muslim hal ini tampak sebagai satu arus dari gelombang Islamisasi pengetahuan. Hasilnya memang masih dalam proses. Di Indonesia, sarjana-sarjana Muslim yang menyerap semangat Islamisasi pengetahuan ini mulai mengembangkan konsep-konsep Islam tentang psikologi. Mereka juga mendukung didirikannya Forum Silaturahmi Mahasiswa Muslim Psikologi Indonesia (Fosimamupsi) pada 1992, yang kemudian bermetamorfosis menjadi Ikatan Mahasiswa Muslim Psikologi Indonesia (Imamupsi) pada 2001. Organisasi ini salah satu tujuannya adalah mengembangkan pemikiran dan aplikasi psikologi yang berwawasan Islami.
Inspirasi utama Islamisasi dalam psikologi datang dari Malik B. Badri, seorang profesor Psikologi dari Sudan, lewat bukunya The Dilemma of Muslim Psychologists (1979). Badri melontarkan kritik tajam terhadap psikologi Barat, khususnya psikoanalisis dan behaviorisme, juga terhadap para psikolog Muslim yang dengan sukarela masuk ke “lubang biawak” itu. Psikoanalisis disebutnya tidak ilmiah dan behaviorisme sebagai ilmu jiwa yang tidak memelajari jiwa. Meski secara umum kritik Badri tepat seperti halnya kritik para psikolog Barat penentang psikoanalisis dan behaviorisme, gaya bahasa buku itu cenderung emosional.
Jadi, jika para psikolog Muslim dan kawan-kawan Imamupsi ingin mengembangkan mazhab psikologi baru yang terbebas dari “lubang biawak” psikologi Barat, caranya sederhana: lakukan kerja keilmuan yang setara dengan mereka, kalau bisa lebih. Inilah suatu etos yang menggerakkan Imam Bukhari berkeliling melintasi banyak negeri untuk memeroleh hadis; energi yang membuat Ibnu Sina sanggup menulis 40 halaman dalam sehari. Bukankah etos keilmuan ini juga yang pernah mengawal zaman keemasan peradaban Islam?
Lalu tulis buku-buku secara serius disertai hasil penelitian yang memadai, sehingga ketika orang-orang seperti saya membaca karya-karya psikologi mazhab baru ini, entah namanya psikologi Islam atau psikologi Islami, tanpa sadar kepala saya terangguk-angguk dan mulut saya bergumam membenarkan: iya ya, benar juga. Kita tahu, dari Freud, bahwa sesuatu yang dilakukan tanpa sadar adalah cerminan dari gerak hati yang sesungguhnya.
Tanpa etos ini, juga kreativitas untuk melihat ruang-ruang baru, sampai kapan pun para psikolog dan ilmuwan Muslim tak akan bisa lepas dari bayang-bayang Barat, apalagi sampai membentuk mazhab tersendiri. Dan pola pemikiran yang telah terlanjur merasuki otak orang-orang semacam saya akibat membaca karya-karya besar Sigmund Freud, biarpun baru sedikit, akan sulit dipulihkan oleh buku-buku yang berasal dari kerja setengah-setengah, apalagi yang bersemangat emosional.
Tidak adakah pendidikan agama Islam yang saya peroleh sejak kecil berperan dalam membentengi diri saya dari pengaruh yang datang kemudian? Tentu saja ada, dan kata Freud juga demikian. Tetapi itu berarti dalam diri saya terdapat dua pengaruh yang berlawanan. Di satu sisi, saya meyakini Islam yang mengajarkan manusia mempunyai fitrah berketuhanan, di sisi lain, saya juga banyak dirasuki ajaran Freud yang bercorak ateistis. Bagaimana mendamaikan dua pikiran yang bersitegang ini tanpa menjadikan jiwa saya terbelah?
Bagi saya sendiri, jalan terbaik adalah dengan membaca buku lain yang menyajikan pemikiran berbeda, tetapi dengan bobot yang setara atau lebih dibanding Tafsir Mimpi. Sayangnya, kualitas semacam ini belum saya dapati pada buku karangan psikolog Muslim. (Ditulis tahun 2008 saat masih kuliah di Psikologi UIN Jakarta).