Arief Budiman adalah pribadi yang cukup sering menimbulkan kebingungan dan bahkan kontroversi, tidak saja selama hidupnya, tetapi bahkan setelah akhir hayatnya pada 23 April 2020.
Apa kiranya yang membuat sikap dan pemikirannya selalu jadi perhatian dan perdebatan publik? Sebelum ke Amerika Serikat dan meneruskan studinya, dia banyak terlibat kegiatan seni dan khususnya sastra. Dia banyak berkenalan dengan pelukis dan bahkan turut berlatih melukis meskipun tak pernah membuat pameran lukisannya. Dengan kata lain, Arief tak punya kontribusi karya dalam seni lukis meski dia dikenal dan populer di kalangan pelukis seperti Zaini dan Nashar.
Dalam sastra, nama dia tak bisa dilewatkan karena dia bergiat menulis cukup banyak esai di majalah Star Weekly tempat PK Ojong bekerja sebagai wartawan sebelum mendirikan Kompas. Dia menjadi seorang penanda tangan Manifes Kebudayaan dengan konsep yang disusun Wiratmo Soekito dan diumumkan pada 17 Agustus 1963.
Manifes itu ditandatangani sejumlah seniman, tokoh sastra dan kebudayaan, beberapa pelukis, dan seorang musikus. Arief Budiman turut menandatangani masih dengan nama aslinya, Soe Hok Djin, di samping nama-nama yang dikenal umum seperti HB Jassin, Wiratmo Soekito, Trisno Sumardjo, Goenawan Mohamad, Bur Rasuanto, Boen Sri Oemarjati, pelukis Nashar dan Zaini, muikus Binsar Sitompul, serta sejumalh seniman lain.
Manifes itu mendapat serangan gencar dari seniman-seniman kiri dalam Lekra dan kemudian dilarang oleh Presiden Soekarno. Pelarangan itu menyebabkan beberapa orang yang bekerja di kantor-kantor pemerintah kehilangan pekerjaan, seperti HB Jassin, Wiratmo Soekito, atau Boen Sri Oemarjati.
Sesudah lewat peristiwa G30S, dan suasana sastra dan budaya menjadi tenang dan bebas dari intimidasi seniman kiri akibat dibubarkannya PKI, Arirf Budiman bersama penyair Taufiq Ismail dan cerpenis Ras Siregar menemui Mochtar Lubis membicarakan ide menerbitkan sebuah majalah kebudayaan. Mochtar Lubis ditemui di penjara di Jalan Keagungan pada tahun kesembilan penahanannya, bersama tahanan politik lainnya seperti M Natsir, Syafrudin Prawiranegara, Yunan Nasution, dan beberapa tokoh lain. Ketiga orang muda itu meminta Mochtar Lubis (yang beberapa hari lagi akan bebas) agar mau menjadi pemimpin redaksi dan penanggun jawab majalah kebudayaan yang direncanakan.
Meskipun belum jelas pendanaannya dari mana atau dari siapa, Mochtar Lubis menyetujui permintaan itu. Majalah itu akhirnya diberi nama Horison dengan nomor pertama terbit pada 1 Juli 1966. Yayasan pendiri majalah Horison beranggotakan Mochtar Lubis, PK Ojong, Zaini, Arief Budiman, dan Taufiq Ismail. Redaksi pertama terdiri dari Mochtar Lubis sebagai pemimpin redaksi dan penanggung jawab, dengan anggota redaksi HB Jassin, Zaini, Taufiq Ismail, DS Moeljanto, dan Arief Budiman.
Tahun 2016, Horison genap berusia setengah abad dan menjadi majalah sastra paling tua di Indonesia dan sebuah majalah sastra yang terhitung tua di dunia. Muncul pemikiran untuk mengalihkan majalah ini dari versi cetak menjadi majalah online, terhitung sejak 1 Agustus 2016. Karena tiga pendiri (Mochtar Lubis, PK Ojong, dan Zaini) telah meninggal dunia sebelumnya, tinggal dua pendiri, yaitu Arief Budiman dan Taufiq Ismail, yang memutuskan dilakukannya perubahan besar bentuk dan wujud majalah itu.
Patut dicatat Arief Budiman bukanlah sastrawan dalam arti sempit, karena dia tak menulis sajak, novel, atau cerita pendek yang diterbitkan, meskipun dia banyak menulis esai yang tidak selalu langsung berhubungan dengan sastra, tetapi mengajukan pemikiran yang memengaruhi tanggapan terhadap sastra. Perhatiannnya terhadap kritik sastra dan teori sastra cukup terlihat ketika dia bersama Goenawan Mohamad mengumumkan suatu bentuk kritik berdasarkan Gestaltpsychologie Jerman, yang dirumuskan sebagai kritik Ganzheit.
Langsung atau tidak langsung kritik Ganzheit menjadi alternatif terhadap kritik akademis yang dikembangkan oleh kubu Rawamangun pada waktu itu, yang pada dasarnya bertolak dari analisis karya sastra, oleh pengajar sastra Indonesia. Dalil Ganzheit adalah suatu karya sastra harus ditanggapi sebagai suatu keseluruhan karena hanya dalam keseluruhan karya itu memperlihatkan suatu makna yang hidup.
Sebaliknya, dengan analisis, suatu karya seakan dibedah menjadi bagian-bagian yang terpisah dan membuat karya itu menjadi sesuatu yang mati dan kehilangan maknanya.
Dilihat dari masa sekarang, Ganzheit dan analisis bukanlah dua metode yang perlu dan dapat dipertentangkan secara anatagonistis.
Kontekstualisasi, Dekontekstualisasi, dan Rekontekstualisasi
Seorang filsuf Jerman, Georg Gadamer, dengan memakai teori hermeneutik, menunjukkan tiga tahap pemahaman yang akan selalu ditemukan dalam persepsi setiap orang terhadap suatu obyek. Pada tahap pertama, setiap obyek ditanggapi sebagai suatu Gestalt atau Ganzheit yang bermakna. Gadamer menggunakan istilah bahasa Latin dan menyebutnya subtilitas intelligendi. Orang hanya menangkap dalam persepsi yang dipahaminya, dan sebaliknya, sesuatu yang tidak dipahami akan luput dari persepsi.
Tahap kedua, dinamakannya subtilitas explicandi, yaitu mengeksplisitkan bagian-bagian dari suatu keseluruhan, untuk mempelajari bagaimana bagian-bagian itu membangun suatu keseluruhan. Inilah tahapan yang biasa dikenal dalam kritik sastra sebagai analisis. Dalam teknik otomotif, inilah tahapan meninjau onderdil sebuah mobil atau sepeda motor, misalnya.
Akan tetapi, tahapan analisis itu bermanfaat sebagai persiapan bagi tahapan ketiga yang dinamakannya subtilitas applicandi, berupa kemungkinan untuk menyusun bagian-bagian itu secara lain sehingga menjadi suatu keseluruhan baru. Ibaratnya orang menguraikan berbagai bagian mobil untuk melihat kemungkinan merekonstruksinya menjadi sebuah tank dalam perang. Mobil adalah suatu keseluruhan lama, tetapi melalui uraian bagian-bagiannya dapat dilihat kemungkinan menyusunnya secara lain, sehingga muncul suatu obyek lain yang juga bermakna, tetapi mempunyai makna baru dan maksud baru.
Peran Arief dalam sastra pada dasarnya adalah peran seorang aktivis, yang menggerakkan kehidupan sastra, dengan gagasan yang mengganggu atau mengguncang perasaan puas diri di kalangan sastrawan atau para kritikus sastra. Dalam kegiatan itu, dia tidak selalu melihat secara komprehensif ide yang diusulkannnya, baik dalam aspek-aspek lain yang mungkin penting dalam persoalan itu maupun dalam relasi-relasi yang ada dengan gagasan-gagasan lain tentang masalah yang sama.
Kekhasan Arief adalah memberi fokus pada suatu tema dan memberinya tekanan kuat tanpa banyak sofistikasi sehingga mudah dipahami dan diterima oleh orang lain. Kekhasan lain ialah hal itu dikemukakan dengan suatu kesungguhan, kejujuran, dan kecintaan, yang menyebabkan banyak aspek yang tidak dilihatnya, dengan mudah dimaafkan.
Dalam tulisannya bejudul “Esai tentang Esai”, dia mengutip Ensiklopedi Britanika, yang mendefinisikan esai sebagai “prosa yang mempersoalkan suatu persoalan secara mudah dan sepintas lalu—tepatnya mempersoalkan suatu persoalan sejauh persoalan tersebut merangsang hati penulis”. Saya merasa, Arief menerapkan pengertian esai seperti itu dalam berbagai aktivisme yang dilakukannya, dengan modalitas yang sama, yaitu mudah dan sejauh merangsang hati sang aktivis.
Hal ini berulang kembali dalam diskusi sastra setelah dia kembali dari studinya di Amerika Serikat. Dia memperkenalkan apa yang dinamakan sastra konstekstual, yaitu sastra yang ditulis berdasarkan pengalaman hidup seorang sastrawan dalam konteks hidup yang dialami dan dikenalnya dari dekat. Menurut dia, seorang sastrawan Indonesia lebih meyakinkan menulis tentang kehidupan di desa atau kehidupan urban yang dikenalnya sebagai migran daripada berkhayal tentang salju musim dingin atau pohon-pohon yang seakan meranggas di musim gugur dan kembang yang bermunculan secara serentak pada musim bunga di negara dingin.
Tentu saja ini suatu usul tentang realisme yang dilaksanakan, misalnya, oleh pengarang Rusia, Maxim Gorky (dicalonkan lima kali untuk Hadiah Nobel untuk sastra, tanpa hasil), yang membuat banyak perjalanan ke berbagai tempat di Rusia sebelum menulis novel-novelnya. Kekhasan usul Arief ialah bahwa realisme itu sebaiknya kontekstual, bertolak dari konteks hidup yang dihayati, dan mendalaminya di dalam cerita yang dikembangkan.
Teori tentang konteks dalam sastra diuraikan oleh filsuf post-strukturalis Perancis, Paul Ricoeur. Menurut Ricoeur, konteks tidak pernah bersifat statis, karena sebuah konteks selalu dapat di-dekontekstualisasi-kan dan selanjutnya dapat di-rekontekstualisasi-kan kembali. Ini berlaku dalam sastra, dalam filsafat, dalam politik, dan bahkan dalam ekonomi. Konteks drama Macbeth karya Shakespeare adalah Kerajaan Skotlandia pada abad ke-16. Seorang jenderal kerajaan iru dikenal sukses dan gagah berani dalam tiap pertempuran.
Namanya Macbeth. Suatu ketika tiga tukang sihir meramalkan bahwa sekali waktu dia kan menjadi raja Skotlandia. Terdorong oleh ambisinya sendiri dan setelah dipanas-panasi oleh istrinya, Macbeth akhirnya membunuh Duncan, yang menjadi raja Skotlandia masa itu. Macbeth mengambil alih takhta kerajaan. Tetapi, dia tak dapat menghindari perasaan bersalah dan paranoia yang selalu memburunya. Untuk mengamankan diri dan kekuasaannya, dia membunuh semakin banyak orang dan memerintah sebagai seorang tiran. Muncul kemudian kekacauan dan perang saudara yang membuat Macbeth dan Lady Macbeth gila dan akhirnya meninggal.
Ketika Parfi (Persatuan Artis film Indonesia) mementaskannya di Teater Arena Taman Ismail Marzuki, pada beberapa hari bulan Maret 1980, dapat dilihat dekontekstualisasi yang berani. Suasana kerajaan Skotlandia telah dipindahkan ke Tanah Batak. Kita tak tahu apakah pemindahan konteks itu dilakukan oleh Rendra yang menyadur cerita Macbeth menjadi Makbet, atau dilakukan sutradara pementasan di TIM saat itu. Akan tetapi, jelas konteks itu mengalami dekontekstualisasi, dan rekontekstualisasi dalam pementasan.
Hal yang sama beraku dalam filsafat. Apa gunanya mempelajari teori negara pada Plato yang hidup di Athena antara abad VI dan abad V sebelum Masehi untuk keperluan sebuah negara modern sekarang di abad XXI Masehi? Hal ini mungkin dilakukan hanya apabila konteks Plato dan filsafatnya didekontekstualisasikan dan direkontekstualisasikan untuk keperluan tata negara dan politik suatu negara masa sekarang.
Aktivisme Tanpa Pamrih
Setelah kembali dari Universitas Harvard, aktivisme Arief beralih dari bidang sastra ke bidang sosial politik dan sosial ekonomi. Peralihan ini sangat logis karena peranan aktivis tetap dilaksanakan, hanya berpindah ke sektor lainnya. Namun, yang tetap sama adalah kebiasaan atau bakatnya sebagai seorang aktivis. Dia mampu menerangkan suatu gejala dengan jelas dan sederhana. Sahabatnya, Goenawan Mohamad menulis bahwa hal ini dimungkinkan karena Arief berpikir berdasarkan idealisasi.
Secara lebih teknis, saya kira maksud Goenawan adalah berpikir berdasarkan suatu ideal type, sebagaimana diajarkan oleh Max Weber. Suatu ideal type adalah suatu konstruksi dalam teori yang dibangun sebagai suatu kesempurnaan logis, yang maksudnya adalah menjadi referensi pembanding, tatkala seorang melakukan penelitian empiris. Akan dilihat sejauh mana keadaan empiris mendekati atau malah sangat jauh dari ideal type yang dibangun.
Dengan cara itu, Arief dengan relatif mudah dan sederhana mengatakan kemiskinan di Indonesia tidak akan hilang apabila ekonominya tetap mengikuti jalan kapitalis. Hanya dalam sosialisme kemiskinan dapat diatasi. Pernyataan ini adalah suatu ideal type bukan suat proposisi empiris.
Menurut ideal type ini kapitalisme menghasilkan akumulasi modal karena selalu ada nilai lebih yang diambilnya dari upah tenaga pekerja, yang dibayar kurang dari upah yang seharusnya. Dengan cara ini, kaum pekerja tidak akan meningkat taraf hidup dan kesejahteraannya dan semakin merana.
Meski demikian, dalam sejarah industri di Barat, ternyata taraf hidup pekerja juga diperbaiki dan dapat meningkat, karena hal ini disengaja oleh kaum kapitalis, yang sadar bahwa kaum pekerja harus dicegah dari kejatuhannya ke dalam kemelaratan total, yang dapat membawa mereka kepada semangat revolusioner untuk menghancurkan kapitalisme. Apa yang oleh Karl Marx diramalkan sebagai Verelendung atau immiseration atau kemelaratan kaum pekerja dalam industri tidak terjadi. Yang terjadi adalah perbaikan taraf hidup dan kesejahteraan kaum pekerja.
Sebalinya, di negara sosialis seperti Uni Soviet, kemiskinan dapat terjadi secara parah. Sejak 1928, Stalin memerintahkan dilaksanakan dorong besar (big push) dalam industri di Uni Soviet setelah Stalin mendapat kekuasaan penuh tahun 1927. Dorongan besar itu dilakukan melalui realokasi sumber daya dan tenaga kerja dari pertanian ke industri. Pertumbuhan ekonomi Rusia mencapi 6 persen setahun, yang belum pernah terjadi sebelumnya di Rusia. Akan tetapi, produktivitas terpusat di industri berat, sedangkan pertanian mengalami kolektivitasi yang menghilangkan hak milik para petani, dan itu menghilangkan insentif ekonomi dalam bidang pertanian.
Pada akhirnya, realokasi sumber daya dari pertanian tak mampu dilanjutkan karena sumber daya dalam pertanian sudah terpakai habis. Pertumbuhan ekonomi terhenti, ekonomi macet, kemiskinan menerpa kaum petani, dan enam juta penduduk mati kelaparan. Ini artinya dalam suatu negara sosialis dapat terjadi Verelendung atau immiseration, dan bukan dalam sistem kapitalisme. Namun, kecenderungan Arief sebagai aktivis ialah mengabaikan perkembangan historis dan empiris ini, dan tetap menjelaskan sosialisme berdasarkan suatu ideal type yang sempurna secara logis dan teoritis, tetapi tidak historis dan tidak empiris.
Apa yang menyelamatkan Arief adalah integritas pribadinya sebagai aktivis. Dia tidak berusaha mencari popularitas, apalagi dia tidak berbakat menjadi burung merak seperti Rendra, misalnya. Dia juga tidak mencoba mencari kesempatan untuk memperoleh suatu keuntungan material atau keuntungan politik dari aktivismenya, dan dia adalah seorang yang jujur dalam tindakan dan dalam ucapan-ucapannya. Aktivisme dalam bidang sastra dan dalam bidang sosial politik dan sosial ekonomi telah membangun suatu pengaruh publik melalui pendapat-pendapat dan aksi-aksinya.
Arief bukanlah tokoh yang penting dalam sastra, karena dia tidak mempunyai karya sastra yang dapat kita baca, tetapi sastra menjadi penting karena aktivisme Arief, yang membuat sastra menjadi medan yang hidup dan dinamis. Arief juga bukanlah orang yang mempunyai prestasi menonjol dalam ilmu-ilmu sosial, tetapi teori-teori ilmu sosial menjadi hidup karena aktivisme Arief, yang mahir menerapkannya demi suatu perubahan sosial yang dikehendaki, atas cara yang sederhana, mudah dipahami, dan selalu menarik. Idealisme moral pada Arief menjelma menjadi ideal type dalam sosiologinya. Pada akhirnya, Arief Budiman menjadi tokoh yang dikenang, dihormati, bahkan dicintai, karena dia hidup untuk suatu aktivisme yang tanpa pamrih, yang sanggup menggerakkan diskursus publik, mungkin tanpa dia sendiri sepenuhnya sadar akan peran tersebut.
(Sumber: Kompas, 12 Mei 2020. Tulisan ini diambil dari FB Herry Anggoro Djatmiko tanggal 12 Mei 2024).